Merenda Takdir Cinta
Bagian 01 dari novel berjudul “Penantian Takdir Cinta” yang mulai di susun
Andai kamu yang tertulis sebagai jodohku dalam catatan itu, tak perlu keresahan ini bergelayut lama, tak perlu juga keraguan ini bersemayam di hamparan tanya tak berjawab dan tak perlu juga amarah dan kediamanmu menguras energy dan benar-benar menguji kesabaranku. Akal fikirku pun sampai di titik lelah untuk bisa mengembalikan suasana senyaman sebelumnya. Artinya, kebisuan panjang ini bisa kupastikan hanya bagian dinamika sebuah hubungan sehingga tak perlu ada kegusaran berkepanjangan sampai hari ini. Sayangnya, jodoh adalah hal ghoib dan hanya Sang Pemilik hidup yang memiliki kekuasaan untuk mengungkap catatan takdir itu. Jadi, kebimbangan ini tetep berujung perjuangan menghadirkan ketenangan dalam keheningan.
Sampai hari ini, logikaku tak mampu lagi bekerja untuk merasionalkan keadaan. Sikapmu yang berubah 360 drajat sudah berlangsung tiga minggu lamanya. Kalau ini amarah, ini adalah yang terpanjang selama kita menjalin dan manjalani hubungan ini. Untungnya, kamu masih menyapaku walau hanya pada saat memerlukan support untuk pekerjaanmu. Kamu memintanya dengan cara tidak biasa,hanya dengan kalimat singkat dan padat. Kamu pun tak menyertakan “sapa khas manjamu” yang biasa mengawali setiap kalimat WA mu. Kamu juga tak pernah lagi menyebutkan dirimu dengan sebutan kesukaanku. Kamu mewakilkannya dengan kata “saya” dan sesekali “aku”, bagian penanda kejengkelan dan kekesalan hatimu masih di titik sama. Awalnya terasa begitu aneh dan membuat sangat tidak nyaman, namun ketika kamu semakin terbiasa dengan cara barumu, kupilih untuk tidak protes dan diam. Alasannya sederhana saja, sapa singkatmu aja sudah menjadi peredam rindu berat yang udah diambang mampuku dalam mengelola gejolak dan dampaknya.
Dalam mengirimkan “support” yang engkau butuhkan, kadang kusertakan caption sebagai pengantar, namun tak jarang sengaja tanpa caption untuk mengimbangi kebisuanmu atas beberapa pesanku yang intinya berisi betapa kelabakannya aku dalam kondisi komunikasi yang buruk ini. Kamu pun hanya menerima kiriman support dariku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kamu hanya protes singkat ketika support yang ku kirimkan tidak sesuai dengan permintaanmu. Kadang aku sedikit jengkel bercampur geli dengan caramu meminta support, tanpa penjelasan detail yang jelas. Lucunya lagi, aku pun selalu menyiapkannya dengan semangat 45 walau beberapa kali salah tafsir dan harus mengalami koreksi total. Kalimat ketusmu pun keluar kala aku salah. Sementara itu, kala engkau diam saja, ku simpulkan sendiri kalau support yang ku kirimkan udah sesuai harapanmu.
Kemarin malam, aku sengaja tidak merespon ketika kamu share loc yang menunjukkan sedang berposisi di luar kota berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan dari kotamu. Sebenarnya aku sudah bisa menduga kamu sedang ikut acara lepas-sambut pimpinan daerah. Aku pun sudah bisa mengira kamu berangkat dengan siapa saja ke acara seremonial itu. Aku memilih diam agar tak salah dalam merespon. Sesast emosiku sempet ndak stabil karena dugaan kuatku atas beberapa nama yang biasa membuatku cemburu pasti ikut serta . Aku menghindari tantrum yang menggangu kemeriahan suasana pesta kemenangan, karena itu bisa memperburuk keadaan kita yang tengah tidak baik-baik saja.
Aku ndak tahu apakah kamu kecewa karena aku hanya diam atas kiriman share loc itu, sebab diam bukan kebiasaanku setiap kali kamu berkirim WA . Yang jelas, di pagi tadi aku mengirimkan support yang engkau minta kemarin sore. Kali ini terulang lagi, aku salah total men-tafsir permintaanmu. Aku fikir kamu meminta dibuatkan materi presentasi, ternyata hanya memintaku membuat konsep sambutan yang akan kamu sampaikan beberapa hari lagi di pembukaan sebuah acara penting. Aku menertawakan ke-semangatan dan sekaligus kebodohanku. Bagaimana tidak, aku menghabiskan waktu sampai dini hari untuk mempelajari bahan dan menyiapkan drat materi presentasi itu. “Tapi tak apa, setidaknya aku tambah ilmu”, ku coba menghadirkan kalimat itu untuk sekedar menghibur diri dan melepas lelahku yang seolah terasa begitu percuma. Setelah memperbaikinya, aku pun mengirim support via WA tanpa caption. Hebatnya lagi, kamu pun tak merespon kirimanku. Setidaknya, centang biru menandakan kiriman support ku sudah terkirim dan terbaca olehmu
Orang bilang, hubungan yang mencirikan perjodohan itu kalau sering putus-nyambung. Adakah itu kita?. Ku tanya Tuhan tak kunjung peroleh jawab. Akhirnya ku perbanyak istighfar, sholawat dan zikir serta mengalunkan do’a yang sama untuk masa depan kita bertema “samara”. Yang jelas, ketidakramahan sapa dan kekakuan komunikasi ini begitu terasa menyiksa. Namun diatas semua itu, tak sedikitpun keraguanku tentang hari esok kita. Ku titipkan rindu ini dalam do’a dan semoga Tuhan membimbing ke arah mana seharusnya.
NB : gambar dalam tulisan ini merupakan illustrasi hasil searching di google
Posting Komentar
.