KULIAH DADAKAN “KEBANGSAAN ”
DARI SANG JENDERAL (PURN) SUNARTO
“Pagi Jenderal Sunarto….” sapaku dan langsung mengambil sikap sempurna sambil memberi hormat ketika melihat beliau berdiri didepan pintu. setelah membalas hormatku, beliaupun mempersilahkan duduk kembali dan perbincanganpun bermula. Ku coba me-remain memory beliau tentang pertemuan pertama dulu saat bareng isi acara yang di gelar sebuah komunitas dalam rangka Hari Pahlawan 10 November di Purwokerto beberapa tahun lalu. Sepertinya beliau belum berhasil mengingatnya. Akupun menyebutkan nama lengkapku dan coba mengkaitkan dengan beberapa nama sahabat beliau yang kebetulan akrab dan tempatku berguru, seperti Bapak (alm) Subijakto Tjakra werdaja (Mentri Koperasi di zaman orde baru) dan Prof. Rubijanto Misman, Rektor Unsoed di penghujung 1990 sampai 2000 awal . Seketika beliaupun tersenyum dan kehangatan perbincangan pun bermula.
Mendapati suasana cair, akupun mulai menyampaikan “special message” dari temen sejawat beliau saat berdinas dulu yang kebetulan bertemu denganku di Jakarta di satu meeting minggu lalu. Target utama terselesaikan dan respon hangat beliau atas message itu pun ikut menyemangatiku. Aku pun melihat semangat beliau membuncah hingga perbincangan pun mengalir demikian derasnya. Perbincangan lanjutan ini lebih tepat disebut “kuliah dadakan tentang kebangsaan” dari sang jenderal. “Ini sebuah keberkahan dan juga kehormatan bisa mendapat pencerahan langsung dari seorang Purnawirawan Jenderal tentang kebangsaan dan nasionalisme”, ungkapku dalam hati.
“Pancasila, NKRI, UUD’45 dan bhinneka tungggal ika itu bukan pilar negara”, ungkap beliau memulai kuliah dadakan itu. “Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga falsafah negara; filosofi negara; pandangan hidup bangsa; pedoman hidup bangsa dan; pegangan hidup bangsa”, lanjut beliau dengan nada khas seorang jenderal. Mendadak serasa seperti sedang berada di antara barisan batalyon lengkap dengan persenjataannya. Selanjutnya, beliau menegaskan bahwa surutnya Majapahit karena mengabaikan "bhina ika tunggal ika tan hana dharma mangrowa". “Anda tahu arti maknanya secara menyeluruh?”, tanya beliau tiba-tiba. Saya hanya menggelengkan kepala pertanda benar-benar tidak tahu.“Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa” berarti berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua. “Kita harus mengabdi pada kebenaran takdir, kebenaran yang adil dan kebenaran yang bulat. Kita harus menjunjung sabdo kodrat (ucapan tinggi yang istimewa)”, tegas beliau dipenghujung kuliah singkat nan dadakan itu.
Sebelum beranjak pamit, beliau menitip salam kepada teman sejawatnya pemberi pesan dan juga sahabat-sahabat beliau yang antara lain; Bapak Mamet Marjono, dirjen koperasi perkotaan di zaman orde baru dan; juga sahabat beliau lainnya yang kebetulan sudah seperti orang tuaku sendiri, Prof. Rubijanto Misman, rektor fenomenal Unsoed di tahun 90-an sampai awal tahun 2000. “siapp Jenderal..insha Allah akan saya sampaikan”, ungkapku sambil berpamitan. Pertemuan itu pun diakhiri dengan salam komando dan akupun mengambil sikap sempurna dan memberikan hormat sebelum berpamitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
.