SEBUAH CERPEN
The End of Romantic Love Story
Kebermulaan Yang Tak Direncana
Kemarin kamu mengatakan untuk alasan kemanusiaan, kebersamaanmu berlangsung
dengannya. Kekhawatiran mu mengganggu fokus ku menjadi alasan atas dusta yang
mengemuka. Aku mencoba membangun faham di kecemburuan tak terkendali. Esok tak
akan terjadi lagi, pungkasmu menenangkanku di 2 (dua) hari lalu. Aku
mempercayaimu saat itu. Namun, sehari sesudahnya kamu mengulanginya. Untuk hari
itu, alasan yang kamu tegaskan adalah karena tidak enak padanya. Aku naik pitam
dan hanya bisa memaki diri sendiri, apalagi semua itu terjadi didepan mataku.
Sore ini kamu mengulangi hal sama. Bahkan kamu tetap mengulangnya ketika aku benar-benar marah lepas kendali.
Bantingan meja oleh tanganku tak mengubah pilihan sikapmu. Kamu hanya berbalik sesaat, mendekat dan
berdiri terpaku diam dalam tatapan tajam. Aku hampir tak bisa menguasai diri.
Di sisa kesadaran, ku persilahkan kamu pergi dengan nada tak bersahabat. Saat
itu, ku harap kamu membatalkan pergi bersamanya. Tetapi aku salah dan terlalu
percaya diri, kamu tetap menuju nya.
Aku meneteskan air mata , menangis untuk pertama kali atas kisah ini. Di kelelahanku mengendalikan emosi, ku paksakan
untuk bisa berdiri dan melangkah walau lunglai.
Aku frustasi karena merasa terdustai dikeberulangan. Terlalu sulit membangun
fikiran positif atas kepergianmu bersamanya untuk kesekian kali. Teruntai tanya
bathin sedang apa kalian saat ini. Ah...tanya itu hanya membuatku makin
terpuruk. Ku putar lagu di sepanjang perjalanan pulang, lagu yang membantuku
memaki kebodohan diri sendiri... lagu yang mendorongku untuk bisa mengabaikanmu.
Di sepanjang sore hingga malam, aku benar-benar gila. Aku memilih mengurung
diri di kesendirian. Fikiranku tak tentu arah dan kecemburuan membimbingku pada bayang
romantisme yang mungkin sedang berlangsung antara dirimu dan dirinya.
Aku sampai tertidur di linangan air mata bermuatan amarah. Ketika terjaga, ku lihat jam menunjukkan
pukul 21.05 wib. Aku menangis lagi dalam
wajah yang tampak kian kusut. Ahhh.....kuputuskan
tuk menyapamu lewat BB, tetapi tak bersahut dan bahkan menandakan pesan tidak
sampai. Ku sapa berkali-kali dengan kalimat bernada cemburu berat, ku dapati
hasil yang sama. Aku makin memuncak, akhirnya ku telepon kamu dan yang ku
dapatkan adalah jawaban operator yang menegaskan HP mu sedang tidak aktif.
Amarahku kian tak terkendali...berkali-kali ku lihat layar BB ku dengan harapan akan mendapati perubahan tanda pesanku sudah terbaca. Akhhhhhh...tak juga. Aku tetep meunggu sambil terus berharap perubahan status pesan BB dari ”D” menjadi ”R”. Akhirnya, 22.14 wib terwujud juga. Aku langsung menyapa mu dengan pesan baru bernada tanya. Baru bangun ya..??. Jawabmu, maaf tadi BB law bat. Ketika sikapku menunjukkan nada tak yakin, kamu pun mengirimkan fhoto hasil screen shoot yang menunjukkan fakta bahwa di layarmu terlihat law bath. Terlihat bahwa memang law bath, tetapi aku berfikir adanya unsur kesengajaan untuk mematikannya, sebab jam 20.00 wib aku masih lihat BB mu nyetel lagu. Artinya, aku meyakini bahwa BB mu memang sudah law bath sejak jam 20.00 wib, kemudian kamu matikan dengan sengaja. Feeling ini membuatku terdorong mencecarmu dengan pertanyaan untuk mengetahui kemana dan dimana keberadaanmu di antara jam 20.00 wib sampai dengan 22.00 wib. Akhirnya kamu jujur, bahwa malam ini kamu jalan lagi sama dia untuk keperluan menjenguk seorang temen. Setelah ku desak lebih jauh, kamu mengatakan bahwa malam ini kamu sudah memilih sikap untuk menerima cinta nya.
Amarahku kian tak terkendali...berkali-kali ku lihat layar BB ku dengan harapan akan mendapati perubahan tanda pesanku sudah terbaca. Akhhhhhh...tak juga. Aku tetep meunggu sambil terus berharap perubahan status pesan BB dari ”D” menjadi ”R”. Akhirnya, 22.14 wib terwujud juga. Aku langsung menyapa mu dengan pesan baru bernada tanya. Baru bangun ya..??. Jawabmu, maaf tadi BB law bat. Ketika sikapku menunjukkan nada tak yakin, kamu pun mengirimkan fhoto hasil screen shoot yang menunjukkan fakta bahwa di layarmu terlihat law bath. Terlihat bahwa memang law bath, tetapi aku berfikir adanya unsur kesengajaan untuk mematikannya, sebab jam 20.00 wib aku masih lihat BB mu nyetel lagu. Artinya, aku meyakini bahwa BB mu memang sudah law bath sejak jam 20.00 wib, kemudian kamu matikan dengan sengaja. Feeling ini membuatku terdorong mencecarmu dengan pertanyaan untuk mengetahui kemana dan dimana keberadaanmu di antara jam 20.00 wib sampai dengan 22.00 wib. Akhirnya kamu jujur, bahwa malam ini kamu jalan lagi sama dia untuk keperluan menjenguk seorang temen. Setelah ku desak lebih jauh, kamu mengatakan bahwa malam ini kamu sudah memilih sikap untuk menerima cinta nya.
Bagai kilat petir yang tiba-tiba, kecemburuanku meledak dan mewujud lelehan
air mata cinta untuk kesekian kali di sepanjang hari hingga malam ini. Serasa
dunia begitu gelap, semua kecemburuan dan kecurigaanku terbukti. Amarahku makin
menjadi ketika semua ini karena keterbatasanku, atas ketidakmampuanku melakukan
pengorbanan penuh untuk sebuah cinta. Atas ketidakberanianku menabrak kalam
Tuhan untuk sebuah romantisme yang kau idamkan. Atas komitmen kuatku untuk
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai sosial yang lazim. Atas ketidakbisaanku
menjadikan kisah ini layaknya kawula muda
di kekinian zaman.
Kau ajukan satu pertanyaan apakah aku tak berkeinginan memilikimu???. Itu
adalah pertanyaan paling bodoh dan akhirnya
kufahami sebagai pembenar bagi mu untuk melukai hatiku dan mendustakan
semua cinta yang ada. Pragmatisme,
realitas hidup dan rasionalitas berharap telah menjadi penguat bagimu
menerimanya untuk memiliki sebuah cinta sempurna.
Aku tersudut di ketiadaan arti, aku menjadi tak berguna dikarenakan
kekuranganku. Aku tak bisa memberontak di keinginan hati untuk melawan. Aku tak bisa menjerit karena faktanya tak bisa mewujudkan defenisi dan
inginmu atas sebuah hubungan kasih. Emosi membawaku pada rasa terdustai begitu
dalam. Amarah ini sungguh bertuan tapi tak bisa bersandar. Aku dipaksa berdiri
sendiri dan mengambil ini sebagai sebuah kekalahan yang pantas.
Aku tak mendapati sedikitpun penyesalan di kalimat mu. Keterbatasanku berulang-ulang
kau kemukakan hingga ku hanya bisa diam seribu bahasa. Tak terlihat lagi
ingatanmu saat terpuruk di cinta yang
lampau, tak ingat lagi bagaimana aku mencoba membimbing dan mengangkatmu mu
dari kubang kesedihan dan mendudukkan mu
di titik yang membuatmu lebih jernih menatap masa depan. Malam ini kamu begitu hebat,
berdiri diatas keputusan dan ketegasan serta rasionalitas langkah yang kamu
ambil.
Mungkin akan lebih mengundang empatiku ketika kamu membicarakan semua ini
dengan baik-baik sehingga tak perlu ada dusta dan luka untuk sebuah ingin mu.
Kamu bisa meminta izin dariku dengan bijak sehingga tak membawaku pada aura
kemarahan tak berkesudahan seperti sekarang ini. Atau mungkin aku saja yang kurang peka dengan
apa yang kau tuliskan di status FB mu. Status itu mengabarkan bahwa kamu sedang
berfikir tenang untuk mengambil
keputusan besar dalam hidupmu. Aku tak faham tadinya dan telanjur berfikir
bahwa itu tentang aku. Malam ini, aku tersadar
bahwa itu tentang dia, tentang perasaan dia yang menunggu jawab dan sikap mu.
Aku benar-benar bodoh dan tak faham mengapa tiba-tiba kamu bertanya apakah ku
ingin memiliki mu seutuhnya di beberapa hari terakhir. Aku fikir pertanyaan itu
mendesakku pada keterdefenisian normatif tentang akhir indah sebuah cinta.
Ternyata, itu bagian dari yang kau pertimbangkan dalam menjawab penantian
panjangnya atas dirimu.
Rasionalitas hidup yang memerlukan jawab dan serangkaian kedekatan &
kejujuran yang teruntai darinya untuk mu tampaknya seperti dua situasi yang
saling mendukung dipersatukan. Ketidaktegasanku, ketidakmampuanku,
keterbatasanku, kebelumbisaanku, menjadi titik simpul bagimu bahwa semua
ini tidak bisa membatasinya di wilayah
kadar dan kualitas cinta saja, tetapi harus menyentuh sisi realitas hidup nyata
yang berpengharapan. Dan hal itu tak mungkin ada padaku....
Sejujurnya, hatiku terdalam bisa menilai bahwa hati dan perasaanmu tetap
mencintaiku, sebagaimana aku merasakan hal sama
tentang mu. Tetapi, karena kamu sudah
memasuki sisi realitas hidup dan masa depan yang memiliki kepastian, maka cinta
langit ku sudah tak bisa menyentuhnya, tak bisa menjadi bagian dari rencana mu
membangun sebuah istana kehidupan beratapkan cinta dan kesempurnaan hidup.
Di kesadaran yang bijak, aku harus mengalah. Aku harus belajar ikhlas dan
mengerti atas ketetapanmu. Aku tak boleh egois dan memelihara amarah, karena
sama saja aku memaksakan kehendak tanpa memperdulikan cita yang kamu dambakan
tentang hidup. Sikap itu hanya membuatku tampak lebih buruk dan kehilangan sentuhan
bijak dan lembut yang selama ini telah menentrakan jiwa mu untuk beberapa waktu
kala masih bersamaku. Aku sadar, aku hanya pencinta yang tak akan pernah bisa
menjadi pendamping. Atas itu, seharusnya ku lebih bersikap sportif dan
mengikhlaskanmu menata kisah baru
yang lebih berarah tanpa perlu ada luka menganga
yang selalu menghantam rasa. Aku tak
boleh lagi mengumandangkan komitmenmu di awal kisah ini bermula untuk membawamu
kembali menjaga dan melanjutkan kisah ini, sebab hal itu sama saja mengatakanmu
pendusta.
Cinta tak harus memiliki, mungkin pepatah itu lah yang harus ku camkan
dalam memaknai realitas tak berpihak ini. Akupun tak perlu lagi menyesali
segenap kebaikan dan pengorbanan yang telah ku berikan untuk mu, sebab itu
hanya memancing emosimu pada untaian ragam pengorbanan dan kepedihan yang kau rasakan
sepanjang menjalani kisah singkat ini. Aku harus berfikir jernih, aku
harus mempertontonkan kebesaran jiwa dan membiarkan rasa dan cinta ini akan
terjaga atau mati dengan sendirinya oleh waktu.
Aku akan memilih untuk memaki diri
sendiri dan terus menyakiti perasaanku sendiri. Aku akan memutar lagu-lagu
cinta bertemakan kebodohan lelaki atau
mengumandangkan lagu-lagu yang memiliki persamaan dengan sikap yang kau ambil. Dengan cara itu, aku akan terus merasa
terlukai dan air mata kesedihanku terus mengalir. Aku berharap menemukan kekuatan di akumulasi
kesedihan yang me-lelah. luka yang terus tersiram oleh asam suatu waktu kan
menemukan kekebalan. Aku akan terus melakukannya hingga terbangun ikhlasku menerima kenyataan ini dengan
lapang dada.
Ku sampaikan hal ini pada mu agar kamu
tak salah memahami perubahan sikapku. Ini bukan tentang memelihara kebencian
atau gundah kepadamu, ini hanya caraku untuk menemukan titik bijak. Aku yakin,
saat aku menggapai kejernihan berfikir, aku akan tetap menyayangimu seperti
biasa sekalipun kau telah bersama dia
merajut cinta. Aku tak akan membunuh rasaku, karena rasa itu lahir bukan dari
rangkaian logika, tetapi oleh perjalanan waktu dan suasana kebathinan yang
tulus. Aku akan biarkan waktu yang akan menjawab apakah kadar cinta ini akan
menipis atau tetap terjaga seperti semula. Kamu tak perlu terbebani dengan
caraku, kamu harus tetap dengan rencana mu, menjalani kisah baru dan
memenuhinya dengan ragam cerita yang
akan memperkuat ikatan bathin diantara kalian. Kamu hanya diam dan tak merespon apapun dari apa yang ku sampaikan.
Ku tandaskan lagi , ini bukan tentang ke egoisanku atau cara ku memainkan
perasaanmu. Pandanglah ini sebagai upayaku membangun pertahanan diri dan semangat hidup serta membentuk keluasan
berpandangan atas apa yang telah kamu lakukan terhadapku. Berjalanlah diatas
keputusanmu malam ini yang telah menerima cintanya. Kamu tak perlu khawatir
atau berfikir tentang perasaan dan
keadaanku. Aku tak akan mengganggu dan tetep menghormati pilihanmu walau ini
sangat menyakitkan perasaanku.
Sejujurnya, ketetapanmu menyisakan siksa bathin yang begitu mendalam,
karena kau tetapkan di saat cinta dan rasa memiliki telah ku bangun dengan
susah payah. Semua tersusun diatas
kepercayaan penuh atas ujarmu yang menerimaku apa adanya. Sikap akhir mu datang
disaat aku sudah tak siap kehilanganmu, saat dimana kamu telah menjadi bagian
hidup yang menentramkan jiwaku. Saat dimana kamu telah merasuk dalam
aliran darah dan nafasku. Saat dimana kamu telah menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari sebuah jiwa yang utuh. Ini menjadi begitu sulit, tetapi falsafah cintaku
berfaham keseimbangan dan keikhlasan.
Memohon atau meyakinkanmu tuk melanjutkan kisah terasa seperti
mengemis, andai pun kamu meg-iyakannya, tak kan pernah bisa menghapus noda
lemahku atas apa yang telah lalu diantara kita. Memulainya lagi membutuhkan
energi lebih dan bahkan pasti berdimensi luka di sisi yang lain.
Kamu harus jaga dia, sebagaimana kamu pernah menjagaku dengan penuh
ketulusan. Cukuplah aku merasakan panasnya api kecemburuan dan jangan pernah
kau ulangi hal sama terhadapnya, karena aku tak yakin reaksinya hanya diam
seperti yang kulakukan. Kamu harus jaga dia sepenuh hatimu,
seperti kamu menjaga dirimu dari ragam godaan yang kan merusak tatanan ikatan
bathin yang kau bangun bersamanya. Tentang rasamu terhadapku, biarlah
kehadirannya di setiap harimu akan menghapusnya perlahan. Jangan pernah
membandingkan apapun, sebab dia bukan lah aku. Kamu tak boleh memaksakan apa
yang kamu suka dariku harus ada padanya. Kamu harus melihat sisi lemahku yang
justru tak akan ada padanya. Jadikan itu
sumber energi bagimu untuk terus memupuk cinta terhadapnya. Aku sadar, 90
prosesn keputusanmu dipengaruhi oleh
realitas ku yang tak berpihak dan berpeluangnya dia menjawab segala apa yang
tidak bisa aku jawab untuk mu. Sementar itu, 10 prosen dilandasi atas empati terhadap kesungguhan dan
kesadarannya mengambil inisiatif untuk membangun sebuah hidup seorang lelaki
mandiri. Aku tahu kamu akan mendorong empati itu mewujud
menjadi cinta.
Aku yakin waktu akan membimbingmu perlahan dan pasti hingga bisa mencintainya
dengan sepenuh hati. Aku sangat yakin itu. Di sakitku yang
terus berjuang untuk bangkit lagi, aku akan berdoa untuk kelanggengan cinta
kalian. Jadilah wanita yang berpendirian dan mempertahankan apa yang sudah kamu
putuskan, sebab dengan cara itu lah kamu akan bernilai”. Libatkan kalam Tuhan dalam membentuk pondasi cinta kalian, hingga
keabadian cinta berjalan di landasan yang tepat dan menentramkan bathin saat
berdekatan maupun berjauhan.
Selamat jalan cinta...ku akan
memulai hidup dengan tertatih-tatih. Aku akan berupaya tersenyum tiap kali
menyaksikan kebersamaan kalian. Aku akan menutupi lukaku tiap kali kalian
tersenyum lepas bahagia. Aku akan membentuk persepsiku sendiri atas kenyataan
pahit ini. Tekadku, aku akan tetap bijak dipandangan mu walau remuknya hatiku
tiada terkira.
Maafkan ku atas kisah yang terpenggal oleh mu sendiri, aku tak berfikir
sikapmu adalah sebuah kebohongan, tetapi kulminasi lelah dan demi sesuatu yang
lebih berpengharapan ketimbang bersama ku. Maafkanku atas ketidaksempurnaan rasamu disepanjang kisah,
karena semua ini bermula dari kesadaran penuh akan ketidaksempurnaan itu akan
hadir di setiap harinya. Maafkanku hanya mewujudkan cinta sebatas imajinasi,
karena ke tingkat aksi memerlukan restu Tuhan dan belum mungkin untuk diraih. Aku hanya bisa menyemangati fikiranmu, aku hanya bisa mengisi harimu dengan
kalimat-kalimat magisku. Aku hanya bisa menatap dan tersenyum tiap kali kau
betindak lebih dalam berekspresi. Jangan berfikir aku tak menginginkannya,
tetapi kesadaranku membawa pada rasa takut yang amat sangat akan luluhnya
pertahananku. Bagiku ini menjadi persoalan iman di dalam faseku yang sedang
belajar ber-Tuhan. Segala yang pernah ada tak kan pernah ku sesali, sebab
bagian indah itu pernah begitu menenangkan, menentramkan bathin di kesumpekan
dinamika hidup yang sering begitu menyesakkan. Ikatan ini tergolong suci karena
selalu berada dikesadaran yang terjaga.
Ku fikir saatnya membuktikan cintaku dengan memberimu ruang untuk
berbahagia walau tidak denganku. Ini tak
mudah bagiku, tetapi pilihan yang tersedia hanyalah ”aku harus bisa”.....
Inginmu Yang Tak Pernah Mungkin Ku Tunaikan
Entah darimana muasal ingin mu ini lahir dan aku hanya membaca simbol
keputusasaanmu untuk bisa memilikiku. Engkau menginginkan bayi dari ku dan
hanya itu... Bahkan kamu berjanji akan membesarkan bayi itu sendirian dan
setelah mendapatkannya akan segera pergi dan menjauh dari hidupku serta tak
akan pernah mempersalahkanku sama sekali. Berkali-kali kamu katakan itu, kamu
menginginkan bayi dari ku. Aku bilang itu tak mungkin kita lakukan kecuali
hanya dalam lingkar halal dan disukai Tuhan. Aku pun tak mau menjadi ayah tak
bertanggungjawab dan berada diperasaan berdosa yang berkepanjangan bila anak
itu lahir dan hanya dibesarkan olehmu. Maaf, aku tak bisa. Aku tak mau
membentuk faktor pembenar amarah Tuhan menghinggapi hidupku. Hanya kalimat itu
yang ku katakan tiap kali kamu memintanya.
Kamu selalu membela pintamu dengan mengatakan bahwa karena kamu yang
menginginkannya, maka tak perlu ada perasaan bersalah di sisiku. Bahkan kamu
mengatakan bahwa bila pun ada dosa karena mewujudkan pintamu, kamu katakan
biarlah semua dosa nya ditanggung oleh mu. Tiap kali aku
menegaskan bahwa aku tak bisa melakukannya, tiap kali kamu akan
marah dan mengataiku tak benar-benar mencintaimu. Kalau sudah hal serupa kamu
katakan, aku kemudian memilih dalam diam.
Aku tak habis fikir kegilaan gagasan mu, kalaupun semua itu karena cinta. Aku tak mengerti apa yang mendorongmu untuk ber-ide seperti itu. Adakah semua itu karena kematian rasionalitamu, ataukah rasamu terhadapku yang
melebihi cintamu terhadap Tuhan?. Aku tidak disituasi kesempurnaan iman, tetapi
dikesadaranku tak menemukan satu alasanpun untuk pantas mengiyakan inginmu,
baik dari sudut sosial maupun spiritual. Aku tak bisa membayangkan hari-hari mu
membesarkan anak itu dan apa yang akan dijawab anak itu ketika teman sebaya
mempertanyakan keberadaan ayah nya??. Nalarku tak menemukan keberanian
melakukannya dan rasaku pun tak
mendorong kalaf untuk egois memaknainya sebagai sebuah peluang kenikmatan.
Aku mencoba untuk tak terpancing ketika kamu meragukan perasaanku padamu
saat aku menolak inginmu. Aku hanya mencoba bersabar dan sering
tak peduli saat pertanyaan dan pinta sama kau ulang. Aku rasa kesungguhan cinta
tak berarti menghalalkan apa yang disebut dosa. Mungkin kamu kecewa terhadapku
ketika selalu membangun kesadaran ber-Tuhan saat inginmu atas bayi itu begitu
tak terkendali. Aku sadar sedalam apa rasamu terhadapku dan betapa inginnya
kamu menjadikan bayi itu sebagai perwakilan ku di hidupmu selanjutnya. Tetapi,
aku tak berfikir itu jalan terbaik untuk mewujudkan penghormatan kita atas rasa
yang tumbuh tak sengaja ini. Aku yakin kamu tidak sedang berencana
menjebakkanku bila inginmu ku setujui, hanya saja aku tak ingin menjadi ayah
paling tidak bertanggungjawab di dunia ini. Kelelakianku mengajarkan
tanggungjawab dan akal sehatku masih membentuk pertahanan untuk tak
menurutimu.
Kamu harus faham bahwa rasa kita terlahir tanpa rencana. Andai itu difahami
sebagai sesuatu dari Sang Pencippta, maka rasa syukur itu seharusnya tak meniadakan
kalam Nya. Aku mencintaimu dan mewujudkannya dalam bimbingan yang mengarah pada
mendekatkan diri pada Tuhan, karena keyakinanku tentang kebahagiaan dan
ketentraman adalah lewat cara tak berjarak dengan Tuhan. Aku sering tersenyum
dikesendirian bila mengingat hasratmu untuk memiliki bayi dariku, tetapi ku
bangun keyakinan bahwa geliat rasamu adalah sebentuk cara Tuhan untuk mencoba
seberapa jauh aku tetap berkomitmen di lingkar Nya saat ada peluang kenikmatan keliru yang terbuka lebar.
Aku pun merasa gagal bila kamu terus menginginkan hal itu, sebab apa-apa yang
ku perdengarkan padamu menjadi sia-sia. Aku tak mengajarimu tentang dosa,
tetapi aku mendorongmu dan mengajak belajar bersama bagaimana hidup
berkalangkan sabda Tuhan. Aku pun sesungguhnya tak berada di kesempurnaan iman,
tetapi ku fikir mengajamu ber Tuhan adalah bagian caraku untuk lebih mengenal
Tuhan di keseharianku dan juga untuk menunjukkan cintaku bermuara pada kebaikan
di diri kita berdua.
Sejujurnya aku sangat bangga atas pintamu saat aku berdiri di ego
kelelakian, tetapi bergelimang di kekeliruan hanya melahirkan kenikmatan
sesaat, karena ku yakin bencana panjang akan menghampiri hidupku. Aku tak bisa
meniadakan Tuhan dirasaku yang membuncah. Aku tak bisa mendefenisikan taubat sebagai
jalan untuk kembali setelah melakukan kekliruan yang di sengaja dan di rencana.
Aku tak bisa melogikakan maaf Tuhan seperti karet penghapus yang bisa untuk
mengkoreksi tulisan yang salah.
Aku Kan Menikah
Kau meminta waktuku untuk bicara. Ku tawarkan via telepon saja, tetapi kamu
menginginkan untuk bertemu langsung. Aku katakan, aku tak bisa dibuat
penasaran, sehingga ku coba meneleponmu. Ku dapati kau menangis atas kejadian
yang baru saja menimpamu. Ku coba membangun sabar mu, ikhlas mu atas semua yang
menyakitkan perasaanmu teramat dalam. Aku sadar, itu tak semudah membalikkan
tangan. Namun, itulah hal terbaik yang terfikir olehku. Ku coba menghiburmu
dengan mencoba sedikit bercanda, sesekali kamu tersenyum dan mengeluarkan tawa
lirih menandakan sepenuhnya rasa mu masih dikepedihan yang luar biasa. Ku
kembalikan pembicaraan di temamu, dengan harap keterkurasan air matamu kan
mencukupkan amarahmu atas musabab amarah yang membangkirkan dendammu. Aku faham
itu tentang harga diri dan sejujurnya bila aku disisimu akan berbuat lebih dari
sekedar menangis. Tetapi membiarkanmu menangis terus diseberang sana bukanlah
hal bijak, betapa ingin ku ada dihadapanmu saat itu.....tetapi jarak memisahkan
dan tak mungkin ku susul dirimu dalam sekejap.
Ada yang lalai dan tak terfikirkan olehku sama sekali, saat kamu begitu
ingin membicarakan sesuatu secara langsung hanya untuk satu alasan, ingin
melihat ekspresi jujurku. Aku fikir itu tak teralu penting dan fokus pada
kepenasaranku yang amat sangat tentang hal yang sedang kau rasakan.
Hari ini, kamu benar-benar datang ke hadapanku membawa satu berita yang tak
bisa ku fahami. ”Aku akan menikah”, katamu dengan tegas. Aku mencoba untuk
meyakinkan bahwa yang baru saja ku dengar adalah benar. Air matamu
seketika mengalir dan mengulang perkataan yang sama...”aku akan menikah”. Serasa mendengar
berita kematian, aku lemes seketika dan memandangmu lama tak berkedip. Mungkin
aku shock dan serasa semua gelap. Aku tak pernah mendengarmu bertunangan atau
lamaran, tetapi kini aku mendengarmu akan segera mendefenisikan jalan hidupmu
ke depan dalam satu ikatan suci. Aku tak berfikir akan secepat itu.
Setelah kesadaranku pulih, aku mencoba bertanya tentang keseriusanmu dengan
kalimat itu. Sekali lagi, kamu mengatakan akan menikah. Ku katakan apakah
karena sesuatu telah terjadi denganmu???. Kamu kemudian bersumpah demi Tuhan
bahwa kamu dalam keadaan baik-baik saja. Aku terdiam.....terdiam dan menatapmu
kian dalam sampai kamu menyadarkanku dengan tanya, mengapa memandangimu seperti
itu???.
Aku tarik nafas dalam-dalam, mencoba menguasai keadaan dengan istighar dan
bertasbih. Ku coba membangun suasana berbeda walau dihadapanku adalah sebuah
wajah banjir air mata. Terfikir semua ini kamu lakukan atas dasar emosi, bukan
dasar cinta sebagaimana kamu sering dengungkan kepadaku. Ku minta kamu
bersumpah kalau kamu menikah karena
mencintainya. Kamu berkeberatan melakukannya dan bahkan air matamu kian deras.
Aku katakan kalau kamu melakukan semua ini karena emosi, tetapi kamu mengatakan
dengan terbata-bata bahwa karena cinta, tanpa berani menatapku saat berucap. Aku tanyakan kembali pertanyaan sama, lagi-lagi kamu mengatakannya menikah
karena cinta tanpa berani menatapku. Aku terdiam....aku tak bisa berkata
apalagi. Aku tak mngerti jalan fikiranmu untuk mengambil langkah berani tanpa
didasarkan atas sebuah cinta. Aku melihat cincin dijemarimu dan mencoba
bertanya apakah itu cincin pertunanganmu, kamu hanya diam dan menjawabnya
dengan linangan air mata yang kian menjadi. Aku memintamu melepasnya dan ingin
melihat cincin itu. Kamu menuruti pintaku. Aku genggap cincin itu dan sesaat
membuka genggamanku dan memandanginya dengan seksama. Aku tak kuasa menahan
diri dan kemudian memasukkan cincin itu ke mulutku. Ku kitari cincin itu dengan
lidahku di kedua bibirku yang mengatup. Ku lakukan sambil memandangmu dengan
dalam...lebih dalam...lebih dalam menyaksikan linangan air matamu saat ku
melakukannya. Kemudian ku keluarkan cincin itu dari mulutku dan menwarkan untuk
memasang dijemarimu....engkau tak berkenan dan hanya menunduk sambil menangis.
Aku meminta jemarimu untuk kupasangkan cincin itu, kamu hanya diam
terpatung.....setelah lama kamu mengatakan tak bisa menerima kalau aku yang
memasangkannya. Aku menyerah dan menyerahkan
cincin itu untuk kamu pasang sendiri.
Ku tahu dia begitu mencintaimu dan rela berkorban
apapun juga demi hidupmu. Dia rela mengorbankan apapun untuk mendapatkan
cintamu, untuk mendapatkan restu berlabuhnya hatinya di sanubarimu. Aku tak
pernah mampu melakukannya untukmu. Aku tak sebaik dia, walau kamu melakukan apa
yang dilakukannya untuk mendapatkan cintamu kepadaku. Kamu selalu ragu tentang
ketulusanku mencintaimu dan kamu selalu berontak dengan kebisaanku hanya
sebatas membentuk kisah romatika tanpa pernah bisa mendefenisikan sebuah akhir
perjalanan. Kamu tahu semua itu karena aku sangat menghormati, kamu tahu itu
aku tak bisa berromantisme ria seperti kebiasaan buruk banyak anak muda karena
aku selalu berjuang menjaga kedekatanku pada Tuhan. Kamu tak cukup merasa indah
ketika secara nyata aku mencintaimu dengan hatiku. Kamu tak bisa hidup
disebatas perhatian tulusku, sebab keinginan memiliki ku membawamu pada amarah-amarah serupa, bahkan saat –saat
dimana perasaan saling merindu begitu dalam dan menguat. Kamu tak bisa
mencukupkan itu sebagai bahan untuk bersyukur. Kamu tak bisa mendefenisikan itu
sebagai capaian cinta yang terbangun dari proses berjalannya waktu.
Aku telah berdoa untuk semua rasa ini, sebagaimana aku berdo’a untuk
kebaikanmu. Aku telah menguntaikan rasa ku di sajadah dan mengharap Tuhan
membimbing semua ini ke jalan yang seharusnya. Akhirnya, kamu memilih untuk
menikah dan itu sangat membuatku shock dan berada di kegelapan hidup. Amarahku
tak mungkin ku umbarkan, karena faktanya aku tak pernah membicarakan sebuah rumah
kecil untuk masa depan kita. Aku tak pernah mau berjanji sebab aku takut
berdusta dan membuatmu terluka dalam waktu yang lama. Bulir air mataku akhirnya
pecah juga setelah dengan sekuat tenaga aku tahan.
Andai engkau tahu sesungguhnya, mungkin banyak hal yang kamu pertimbangkan
untuk melangkah seperti itu. Tapi, hidupku adalah sisi lain yang tak
bisa kau masuki seutuhnya. Aku terlalu egois tak penah bisa memasukkan mu
secara utuh d kehidupanku, tetapi itulah yang terbaik karena aku adalah lelaki
yang tak biasa. Aku tak bisa menjelaskan bahwa aku hidup diluar akalku. Aku tak
mungkin menjelaskan hanya untuk membentuk empati mu, tetapi semua ini aku
lakukan karena perasaan sayangku terhadapmu, rasa cintaku yang teramat dalam
padamu. Aku tak yakin kamu mampu berada di sisiku saat hal sesungguhnya engkau
tahu. Aku tak bijak membuatmu menderita berkepanjangan oleh karena semua itu
memerlukan kekebalan dalam menjalaninya.
Aku tak tahu haruskah mendefenisikan kebahagianku adalah ketika melihatmu
bahagia, karena membangun ikhlas ini memerlukan sebuah kekhidmatan. Aku tak
tahu apakah sabarku akan terbentuk hingga aku bijak di berlangsungnya
pernikahanmu. Aku pun tak berani berkhayal untuk menjemputmu saat aku dititik
memungkinkan mendampingimu, sebab bisa jadi itu akan menyakiti orang lain yang
bersemayam disisi hidupmu. Aku tak tahu...aku hanya bisa menangis dan
membiarkanmu meninggalkanku sendirian disini. Aku tak mengecup tanganmu dengan
segenap rasaku, karena sepertinya hal itu mungkin terakhir kali aku bisa melakukannya.
Mungkin aku harus mendefenisikan ini sebagai cara Tuhan memaknai doaku
selama ini. Aku menyerah dan memaknainya sebagai ketetapan Tuhan, walau
kesedihan dan luka rasa ini tak terceritakan betapa menyiksa. Tetapi, ketika
ini adalah sebuah kenyataan, aku harus bisa berdiri dan tetep melangkah,
melanjutkan sisa hidup yang dipercyakan Tuhan untuk ku. Aku akan mencari hikmah
dari perjalanan hidupku, termasuk mencari hikmah disepanjang aku dan kamu
saling jujur tentang ragam warna dan dinamika perasaan diantara kita. Aku
minta maaf untuk ketidakterpenuhan hal
yang kau inginkan. Semoga ini jalan terbaik untukmu mendapatkan hak atas
kebahagiaan sempurna di hidupmu. Aku tahu kamu baru akan memulai belajar
mencintainya sejak pernikahanmu dengannya nanti, tetapi ku yakin kesempurnaan
cintanya akan membawamu pada kenyamanan dalam proses belajar mencintainya.
Semoga dia adalah lelaki terbaik persembahan Tuhan untukmu. Dikepengecutanku
dalam pandangmu, ku mohonkan doa mu untukku dalam menjalani hidup di tanpa
mu. Terima kasihku atas segala keindahan dan pengorbanan yang engkau berikan.
Aku tak bisa menyempurnakan imajinasiku tentangmu, seperti katamu hanya akan menyempurnakannya ketika kamu
bersuamiku. Aku ikhlas itu harga yang pantas untuk ketidakmampuanku, semoga
Allah menyempurnakannya di mimpiku. Mengabdilah padanya atas nama istri yang
solehah, krena itulah jalan terbaik untukmu mendapatkan hak untuk memasuki dan
menikmati sorga. Selamat jalan cintaku, selamat belajar mencintai dan jangan
pernah membandingkan, karena kesempurnaan itu hanya terletak di imajinasimu dan
setiap manusia memiliki sisi lebih dan kurang dalam hidupnya. Aku pun akan
menyempurnakan asaku ditingkatan imajinasiku, walau ku coba hormati caramu
meraih sebuah kesempurnaan .
Kalau ternyata semua ini adalah sebentuk jawaban dari Tuhan atas segenap doa kita, ku yakin
Allah mempunyai maksud baik di keterpisahan rasa dan nyata ini. Kemarin adalah
kisah yang tak sesiapapun mampu mengubahnya, hari ini adalah kemyataan yang
harus ikhlas diterima dan hari esok adalah hal ghaib yang wujudnya tergantung
pada otoritas sang Kuasa. Doaku menyertai pernikahan sucimu. Ku kan mulai
bangun keikhlasan disaat akalku mengatakan bahwa kamu sedang mulai membentuk
kisah baru di tatapan yang menuntun pada pergulatan ingin dua insan yang
bermakna ibadah dan berimplikasi pahala. Air mataku akan menyertai saat semua
itu berlangsung dan doakan ku bisa melaluinya dengan bijak dan tersenyum walau
air mata emosi ini pasti tak
terkendalikan derasnya.
di ruang kesedihan
keterpenggalan kisah
THE END
Posting Komentar
.