The End of Romantic Love Story | ARSAD CORNER

The End of Romantic Love Story

Senin, 03 Februari 20250 komentar


SEBUAH CERPEN
The End of Romantic Love Story


Kebermulaan Yang Tak Direncana

"Seharusnya aku tak pernah jujur atas perasaan ini padamu", ucapmu penuh penyesalan. Ku katakan tak ada yg perlu disesali, karena bagaimanapun juga kisah seumur jagung ini tlah pernah mengisi hari2mu, menyemangatimu disaat  kehilangan gairah, menerangimu saat kehilangan arah, membawamu ke titik gairah menatap hidup ke depan. Kalaupun kamu memilih mencukupkannya, itu hal berbeda dan lebih di dorong oleh kebutuhan akan sebuah kesempurnaan. ketidakbisaanku mengikuti naluri dan ingin mu, telah menyudutkanku pada ketidakberdayaan, diketiadaan pilihan kecuali mengikhlaskan pilihan sikap akhirmu.  

Kemarin kamu mengatakan untuk alasan kemanusiaan,  kebersamaanmu berlangsung dengannya. Kekhawatiran mu mengganggu fokus ku menjadi alasan atas dusta yang mengemuka. Aku mencoba membangun faham di kecemburuan tak terkendali. Esok tak akan terjadi lagi, pungkasmu menenangkanku di 2 (dua) hari lalu. Aku mempercayaimu saat itu. Namun, sehari sesudahnya kamu mengulanginya. Untuk hari itu, alasan yang kamu tegaskan adalah karena tidak enak padanya. Aku naik pitam dan hanya bisa memaki diri sendiri, apalagi semua itu terjadi didepan mataku.

Sore ini kamu mengulangi hal sama. Bahkan kamu tetap mengulangnya  ketika aku benar-benar marah lepas kendali. Bantingan meja oleh tanganku tak mengubah pilihan sikapmu.  Kamu hanya berbalik sesaat, mendekat dan berdiri terpaku diam dalam tatapan tajam. Aku hampir tak bisa menguasai diri. Di sisa kesadaran, ku persilahkan kamu pergi dengan nada tak bersahabat. Saat itu, ku harap kamu membatalkan pergi bersamanya. Tetapi aku salah dan terlalu percaya diri, kamu tetap menuju nya.

Aku meneteskan air mata , menangis untuk pertama kali atas kisah ini.  Di kelelahanku mengendalikan emosi, ku paksakan untuk bisa berdiri  dan melangkah walau lunglai. Aku frustasi karena merasa terdustai dikeberulangan. Terlalu sulit membangun fikiran positif atas kepergianmu bersamanya untuk kesekian kali. Teruntai tanya bathin sedang apa kalian saat ini. Ah...tanya itu hanya membuatku makin terpuruk. Ku putar lagu di sepanjang perjalanan pulang, lagu yang membantuku memaki kebodohan diri sendiri... lagu yang mendorongku untuk bisa mengabaikanmu.

Di sepanjang sore hingga malam, aku benar-benar gila. Aku memilih mengurung diri di kesendirian. Fikiranku tak tentu arah dan kecemburuan membimbingku pada bayang  romantisme yang mungkin sedang berlangsung antara dirimu dan dirinya. Aku sampai tertidur di linangan air mata bermuatan amarah.  Ketika terjaga, ku lihat jam menunjukkan pukul 21.05 wib.  Aku menangis lagi dalam wajah yang tampak kian kusut.   Ahhh.....kuputuskan tuk menyapamu lewat BB, tetapi tak bersahut dan bahkan menandakan pesan tidak sampai. Ku sapa berkali-kali dengan kalimat bernada cemburu berat, ku dapati hasil yang sama. Aku makin memuncak, akhirnya ku telepon kamu dan yang ku dapatkan adalah jawaban operator yang menegaskan  HP mu sedang tidak aktif. 

Amarahku kian tak terkendali...berkali-kali ku lihat layar BB ku dengan harapan akan mendapati perubahan tanda pesanku sudah terbaca. Akhhhhhh...tak juga.  Aku tetep meunggu sambil terus berharap perubahan status pesan BB dari D menjadi R.  Akhirnya, 22.14 wib terwujud juga. Aku langsung menyapa mu dengan pesan baru bernada tanya. Baru bangun ya..??. Jawabmu, maaf tadi BB law bat. Ketika sikapku menunjukkan nada tak yakin, kamu pun mengirimkan fhoto hasil screen shoot yang menunjukkan fakta bahwa di layarmu terlihat law bath. Terlihat bahwa memang law bath, tetapi aku berfikir adanya unsur kesengajaan untuk mematikannya, sebab jam 20.00 wib aku masih lihat BB mu nyetel lagu. Artinya, aku meyakini bahwa BB mu memang sudah law bath sejak jam 20.00 wib, kemudian kamu matikan dengan sengaja. Feeling ini membuatku terdorong mencecarmu dengan pertanyaan untuk mengetahui kemana dan dimana keberadaanmu di antara jam 20.00 wib sampai dengan 22.00 wib.   Akhirnya kamu jujur, bahwa malam ini kamu jalan lagi  sama dia untuk keperluan menjenguk seorang temen. Setelah ku desak lebih jauh, kamu mengatakan bahwa malam ini kamu sudah memilih sikap untuk menerima cinta nya.

Bagai kilat petir yang tiba-tiba, kecemburuanku meledak dan mewujud lelehan air mata cinta untuk kesekian kali di sepanjang hari hingga malam ini. Serasa dunia begitu gelap, semua kecemburuan dan kecurigaanku terbukti. Amarahku makin menjadi ketika semua ini karena keterbatasanku, atas ketidakmampuanku melakukan pengorbanan penuh untuk sebuah cinta. Atas ketidakberanianku menabrak kalam Tuhan untuk sebuah romantisme yang kau idamkan. Atas komitmen kuatku untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai sosial yang lazim. Atas ketidakbisaanku menjadikan kisah ini layaknya kawula muda  di kekinian zaman.

Kau ajukan satu pertanyaan apakah aku tak berkeinginan memilikimu???. Itu adalah pertanyaan paling bodoh dan akhirnya  kufahami sebagai pembenar bagi mu untuk melukai hatiku dan mendustakan semua cinta yang ada. Pragmatisme,  realitas hidup dan rasionalitas berharap telah menjadi penguat bagimu menerimanya untuk memiliki sebuah cinta sempurna.

Aku tersudut di ketiadaan arti, aku menjadi tak berguna dikarenakan kekuranganku. Aku tak bisa memberontak di keinginan hati untuk melawan. Aku tak bisa menjerit karena faktanya tak bisa mewujudkan defenisi dan inginmu atas sebuah hubungan kasih. Emosi membawaku pada rasa terdustai begitu dalam. Amarah ini sungguh bertuan tapi tak bisa bersandar. Aku dipaksa berdiri sendiri dan mengambil ini sebagai sebuah kekalahan yang pantas.

Aku tak mendapati sedikitpun penyesalan di kalimat mu. Keterbatasanku berulang-ulang kau kemukakan hingga ku hanya bisa diam seribu bahasa. Tak terlihat lagi ingatanmu saat  terpuruk di cinta yang lampau, tak ingat lagi bagaimana aku mencoba membimbing dan mengangkatmu mu dari kubang kesedihan  dan mendudukkan mu di titik yang  membuatmu  lebih jernih menatap  masa depan. Malam ini kamu begitu hebat, berdiri diatas keputusan dan ketegasan serta rasionalitas langkah yang kamu ambil.

Mungkin akan lebih mengundang empatiku ketika kamu membicarakan semua ini dengan baik-baik sehingga tak perlu ada dusta dan luka untuk sebuah ingin mu. Kamu bisa meminta izin dariku dengan bijak sehingga tak membawaku pada aura kemarahan tak berkesudahan seperti sekarang ini.  Atau mungkin aku saja yang kurang peka dengan apa yang kau tuliskan di status FB mu. Status itu mengabarkan bahwa kamu sedang berfikir tenang  untuk mengambil keputusan besar dalam hidupmu. Aku tak faham tadinya dan telanjur berfikir bahwa itu tentang aku. Malam ini, aku  tersadar bahwa itu tentang dia, tentang perasaan dia yang menunggu jawab dan sikap mu. Aku benar-benar bodoh dan tak faham mengapa tiba-tiba kamu bertanya apakah ku ingin memiliki mu seutuhnya di beberapa hari terakhir. Aku fikir pertanyaan itu mendesakku pada keterdefenisian normatif tentang akhir indah sebuah cinta. Ternyata, itu bagian dari yang kau pertimbangkan dalam menjawab penantian panjangnya atas dirimu.

Rasionalitas hidup yang memerlukan jawab dan serangkaian kedekatan & kejujuran yang teruntai darinya untuk mu tampaknya seperti dua situasi yang saling mendukung dipersatukan. Ketidaktegasanku, ketidakmampuanku, keterbatasanku, kebelumbisaanku, menjadi titik simpul bagimu bahwa semua ini  tidak bisa membatasinya di wilayah kadar dan kualitas cinta saja, tetapi harus menyentuh sisi realitas hidup nyata yang berpengharapan. Dan hal itu tak mungkin ada padaku....

Sejujurnya, hatiku terdalam bisa menilai bahwa hati dan perasaanmu tetap mencintaiku, sebagaimana aku merasakan hal   sama tentang mu. Tetapi,  karena kamu sudah memasuki sisi realitas hidup dan masa depan yang memiliki kepastian, maka cinta langit ku sudah tak bisa menyentuhnya, tak bisa menjadi bagian dari rencana mu membangun sebuah istana kehidupan beratapkan cinta dan kesempurnaan hidup. 

Di kesadaran yang bijak, aku harus mengalah. Aku harus belajar ikhlas dan mengerti atas ketetapanmu. Aku tak boleh egois dan memelihara amarah, karena sama saja aku memaksakan kehendak tanpa memperdulikan cita yang kamu dambakan tentang hidup. Sikap itu hanya membuatku tampak lebih buruk dan kehilangan sentuhan bijak dan lembut yang selama ini telah menentrakan jiwa mu untuk beberapa waktu kala masih bersamaku. Aku sadar, aku hanya pencinta yang tak akan pernah bisa menjadi pendamping. Atas itu, seharusnya ku lebih bersikap sportif dan mengikhlaskanmu  menata kisah baru yang  lebih berarah tanpa perlu ada luka menganga yang  selalu menghantam rasa. Aku tak boleh lagi mengumandangkan komitmenmu di awal kisah ini bermula untuk membawamu kembali menjaga dan melanjutkan kisah ini, sebab hal itu sama saja mengatakanmu pendusta.

Cinta tak harus memiliki, mungkin pepatah itu lah yang harus ku camkan dalam memaknai realitas tak berpihak ini. Akupun tak perlu lagi menyesali segenap kebaikan dan pengorbanan yang telah ku berikan untuk mu, sebab itu hanya memancing emosimu pada untaian ragam pengorbanan dan kepedihan yang  kau rasakan  sepanjang menjalani kisah singkat ini. Aku harus berfikir jernih, aku harus mempertontonkan kebesaran jiwa dan membiarkan rasa dan cinta ini akan terjaga atau mati dengan sendirinya oleh waktu.

Aku akan memilih untuk  memaki diri sendiri dan terus menyakiti perasaanku sendiri. Aku akan memutar lagu-lagu cinta bertemakan  kebodohan lelaki atau mengumandangkan lagu-lagu yang memiliki persamaan dengan sikap yang kau ambil.  Dengan cara itu, aku akan terus merasa terlukai dan air mata kesedihanku terus mengalir.  Aku berharap menemukan kekuatan di akumulasi kesedihan yang me-lelah. luka yang terus tersiram oleh asam suatu waktu kan menemukan kekebalan. Aku akan terus melakukannya hingga  terbangun ikhlasku menerima kenyataan ini dengan lapang dada. 

Ku sampaikan hal ini pada mu agar kamu tak salah memahami perubahan sikapku. Ini bukan tentang memelihara kebencian atau gundah kepadamu, ini hanya caraku untuk menemukan titik bijak. Aku yakin, saat aku menggapai kejernihan berfikir, aku akan tetap menyayangimu seperti biasa sekalipun  kau telah bersama dia merajut cinta. Aku tak akan membunuh rasaku, karena rasa itu lahir bukan dari rangkaian logika, tetapi oleh perjalanan waktu dan suasana kebathinan yang tulus. Aku akan biarkan waktu yang akan menjawab apakah kadar cinta ini akan menipis atau tetap terjaga seperti semula. Kamu tak perlu terbebani dengan caraku, kamu harus tetap dengan rencana mu, menjalani kisah baru dan memenuhinya dengan ragam cerita yang  akan memperkuat ikatan bathin diantara kalian. Kamu hanya diam dan tak merespon apapun dari apa yang ku sampaikan.

Ku tandaskan lagi , ini bukan tentang ke egoisanku atau cara ku memainkan perasaanmu. Pandanglah ini sebagai upayaku membangun pertahanan diri  dan semangat hidup serta membentuk keluasan berpandangan atas apa yang telah kamu lakukan terhadapku. Berjalanlah diatas keputusanmu malam ini yang telah menerima cintanya. Kamu tak perlu khawatir atau berfikir  tentang perasaan dan keadaanku. Aku tak akan mengganggu dan tetep menghormati pilihanmu walau ini sangat menyakitkan perasaanku. 

Sejujurnya, ketetapanmu menyisakan siksa bathin yang begitu mendalam, karena kau tetapkan di saat cinta dan rasa memiliki telah ku bangun dengan susah payah.  Semua tersusun diatas kepercayaan penuh atas ujarmu yang menerimaku apa adanya. Sikap akhir mu datang disaat aku sudah tak siap kehilanganmu, saat dimana kamu telah menjadi bagian hidup yang menentramkan jiwaku. Saat dimana kamu telah merasuk dalam aliran darah dan nafasku. Saat dimana kamu telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah jiwa yang utuh. Ini menjadi begitu sulit, tetapi falsafah cintaku berfaham keseimbangan dan keikhlasan. 
Memohon atau meyakinkanmu  tuk melanjutkan kisah terasa seperti mengemis, andai pun kamu meg-iyakannya, tak kan pernah bisa menghapus noda lemahku atas apa yang telah lalu diantara kita. Memulainya lagi membutuhkan energi lebih dan bahkan pasti berdimensi luka di sisi yang lain.  

Kamu harus jaga dia, sebagaimana kamu pernah menjagaku dengan penuh ketulusan. Cukuplah aku merasakan panasnya api kecemburuan dan jangan pernah kau ulangi hal sama terhadapnya, karena aku tak yakin reaksinya hanya diam seperti yang kulakukan. Kamu harus jaga dia sepenuh hatimu, seperti kamu menjaga dirimu dari ragam godaan yang kan merusak tatanan ikatan bathin yang kau bangun bersamanya. Tentang rasamu terhadapku, biarlah kehadirannya di setiap harimu akan menghapusnya perlahan. Jangan pernah membandingkan apapun, sebab dia bukan lah aku. Kamu tak boleh memaksakan apa yang kamu suka dariku harus ada padanya. Kamu harus melihat sisi lemahku yang justru tak akan ada padanya.  Jadikan itu sumber energi bagimu untuk terus memupuk cinta terhadapnya. Aku sadar, 90 prosesn  keputusanmu dipengaruhi oleh realitas ku yang tak berpihak dan berpeluangnya dia menjawab segala apa yang tidak bisa aku jawab untuk mu. Sementar itu, 10 prosen  dilandasi atas empati terhadap kesungguhan dan kesadarannya mengambil inisiatif untuk membangun sebuah hidup seorang lelaki mandiri. Aku tahu kamu akan mendorong empati itu mewujud menjadi cinta.

Aku yakin waktu akan membimbingmu perlahan dan pasti hingga bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Aku sangat yakin itu. Di sakitku yang terus berjuang untuk bangkit lagi, aku akan berdoa untuk kelanggengan cinta kalian. Jadilah wanita yang berpendirian dan mempertahankan apa yang sudah kamu putuskan, sebab dengan cara itu lah kamu akan bernilai. Libatkan kalam Tuhan dalam membentuk pondasi cinta kalian, hingga keabadian cinta berjalan di landasan yang tepat dan menentramkan bathin saat berdekatan maupun berjauhan.

Selamat  jalan cinta...ku akan memulai hidup dengan tertatih-tatih. Aku akan berupaya tersenyum tiap kali menyaksikan kebersamaan kalian. Aku akan menutupi lukaku tiap kali kalian tersenyum lepas bahagia. Aku akan membentuk persepsiku sendiri atas kenyataan pahit ini. Tekadku, aku akan tetap bijak dipandangan mu walau remuknya hatiku tiada terkira.

Maafkan ku atas kisah yang terpenggal oleh mu sendiri, aku tak berfikir sikapmu adalah sebuah kebohongan, tetapi kulminasi lelah dan demi sesuatu yang lebih berpengharapan ketimbang bersama ku. Maafkanku atas  ketidaksempurnaan rasamu disepanjang kisah, karena semua ini bermula dari kesadaran penuh akan ketidaksempurnaan itu akan hadir di setiap harinya. Maafkanku hanya mewujudkan cinta sebatas imajinasi, karena ke tingkat aksi memerlukan restu Tuhan dan belum mungkin untuk diraih. Aku hanya bisa menyemangati fikiranmu, aku hanya bisa mengisi harimu dengan kalimat-kalimat magisku. Aku hanya bisa menatap dan tersenyum tiap kali kau betindak lebih dalam berekspresi. Jangan berfikir aku tak menginginkannya, tetapi kesadaranku membawa pada rasa takut yang amat sangat akan luluhnya pertahananku. Bagiku ini menjadi persoalan iman di dalam faseku yang sedang belajar ber-Tuhan. Segala yang pernah ada tak kan pernah ku sesali, sebab bagian indah itu pernah begitu menenangkan, menentramkan bathin di kesumpekan dinamika hidup yang sering begitu menyesakkan. Ikatan ini tergolong suci karena selalu berada dikesadaran yang terjaga.   

Ku fikir saatnya membuktikan cintaku dengan memberimu ruang untuk berbahagia walau tidak denganku.  Ini tak mudah bagiku, tetapi pilihan yang tersedia hanyalah aku harus bisa..... 


Inginmu Yang Tak Pernah Mungkin Ku Tunaikan
Entah darimana muasal ingin mu ini lahir dan aku hanya membaca simbol keputusasaanmu untuk bisa memilikiku. Engkau menginginkan bayi dari ku dan hanya itu... Bahkan kamu berjanji akan membesarkan bayi itu sendirian dan setelah mendapatkannya akan segera pergi dan menjauh dari hidupku serta tak akan pernah mempersalahkanku sama sekali. Berkali-kali kamu katakan itu, kamu menginginkan bayi dari ku. Aku bilang itu tak mungkin kita lakukan kecuali hanya dalam lingkar halal dan disukai Tuhan. Aku pun tak mau menjadi ayah tak bertanggungjawab dan berada diperasaan berdosa yang berkepanjangan bila anak itu lahir dan hanya dibesarkan olehmu. Maaf, aku tak bisa. Aku tak mau membentuk faktor pembenar amarah Tuhan menghinggapi hidupku. Hanya kalimat itu yang ku katakan tiap kali kamu memintanya.
Kamu selalu membela pintamu dengan mengatakan bahwa karena kamu yang menginginkannya, maka tak perlu ada perasaan bersalah di sisiku. Bahkan kamu mengatakan bahwa bila pun ada dosa karena mewujudkan pintamu, kamu katakan biarlah semua dosa nya ditanggung oleh mu. Tiap kali aku menegaskan bahwa aku tak bisa melakukannya, tiap kali kamu akan marah dan mengataiku tak benar-benar mencintaimu. Kalau sudah hal serupa kamu katakan, aku kemudian memilih dalam diam.

Aku tak habis fikir kegilaan gagasan mu, kalaupun semua itu karena cinta. Aku tak mengerti apa yang mendorongmu untuk ber-ide seperti itu. Adakah semua itu karena kematian rasionalitamu, ataukah rasamu terhadapku yang melebihi cintamu terhadap Tuhan?. Aku tidak disituasi kesempurnaan iman, tetapi dikesadaranku tak menemukan satu alasanpun untuk pantas mengiyakan inginmu, baik dari sudut sosial maupun spiritual. Aku tak bisa membayangkan hari-hari mu membesarkan anak itu dan apa yang akan dijawab anak itu ketika teman sebaya mempertanyakan keberadaan ayah nya??. Nalarku tak menemukan keberanian melakukannya dan  rasaku pun tak mendorong kalaf untuk egois memaknainya sebagai sebuah peluang kenikmatan.

Aku mencoba untuk tak terpancing ketika kamu meragukan perasaanku padamu saat aku menolak inginmu. Aku hanya mencoba bersabar dan sering tak peduli saat pertanyaan dan pinta sama kau ulang. Aku rasa kesungguhan cinta tak berarti menghalalkan apa yang disebut dosa. Mungkin kamu kecewa terhadapku ketika selalu membangun kesadaran ber-Tuhan saat inginmu atas bayi itu begitu tak terkendali. Aku sadar sedalam apa rasamu terhadapku dan betapa inginnya kamu menjadikan bayi itu sebagai perwakilan ku di hidupmu selanjutnya. Tetapi, aku tak berfikir itu jalan terbaik untuk mewujudkan penghormatan kita atas rasa yang tumbuh tak sengaja ini. Aku yakin kamu tidak sedang berencana menjebakkanku bila inginmu ku setujui, hanya saja aku tak ingin menjadi ayah paling tidak bertanggungjawab di dunia ini. Kelelakianku mengajarkan tanggungjawab dan akal sehatku masih membentuk pertahanan untuk tak menurutimu.  

Kamu harus faham bahwa rasa kita terlahir tanpa rencana. Andai itu difahami sebagai sesuatu dari Sang Pencippta, maka rasa syukur itu seharusnya tak meniadakan kalam Nya. Aku mencintaimu dan mewujudkannya dalam bimbingan yang mengarah pada mendekatkan diri pada Tuhan, karena keyakinanku tentang kebahagiaan dan ketentraman adalah lewat cara tak berjarak dengan Tuhan. Aku sering tersenyum dikesendirian bila mengingat hasratmu untuk memiliki bayi dariku, tetapi ku bangun keyakinan bahwa geliat rasamu adalah sebentuk cara Tuhan untuk mencoba seberapa jauh aku tetap berkomitmen di lingkar Nya saat ada  peluang kenikmatan keliru yang terbuka lebar. Aku pun merasa gagal bila kamu terus menginginkan hal itu, sebab apa-apa yang ku perdengarkan padamu menjadi sia-sia. Aku tak mengajarimu tentang dosa, tetapi aku mendorongmu dan mengajak belajar bersama bagaimana hidup berkalangkan sabda Tuhan. Aku pun sesungguhnya tak berada di kesempurnaan iman, tetapi ku fikir mengajamu ber Tuhan adalah bagian caraku untuk lebih mengenal Tuhan di keseharianku dan juga untuk menunjukkan cintaku bermuara pada kebaikan di diri kita berdua.

Sejujurnya aku sangat bangga atas pintamu saat aku berdiri di ego kelelakian, tetapi bergelimang di kekeliruan hanya melahirkan kenikmatan sesaat, karena ku yakin bencana panjang akan menghampiri hidupku. Aku tak bisa meniadakan Tuhan dirasaku yang membuncah. Aku tak bisa mendefenisikan taubat sebagai jalan untuk kembali setelah melakukan kekliruan yang di sengaja dan di rencana. Aku tak bisa melogikakan maaf Tuhan seperti karet penghapus yang bisa untuk mengkoreksi tulisan yang salah.


Aku Kan Menikah
Kau meminta waktuku untuk bicara. Ku tawarkan via telepon saja, tetapi kamu menginginkan untuk bertemu langsung. Aku katakan, aku tak bisa dibuat penasaran, sehingga ku coba meneleponmu. Ku dapati kau menangis atas kejadian yang baru saja menimpamu. Ku coba membangun sabar mu, ikhlas mu atas semua yang menyakitkan perasaanmu teramat dalam. Aku sadar, itu tak semudah membalikkan tangan. Namun, itulah hal terbaik yang terfikir olehku. Ku coba menghiburmu dengan mencoba sedikit bercanda, sesekali kamu tersenyum dan mengeluarkan tawa lirih menandakan sepenuhnya rasa mu masih dikepedihan yang luar biasa. Ku kembalikan pembicaraan di temamu, dengan harap keterkurasan air matamu kan mencukupkan amarahmu atas musabab amarah yang membangkirkan dendammu. Aku faham itu tentang harga diri dan sejujurnya bila aku disisimu akan berbuat lebih dari sekedar menangis. Tetapi membiarkanmu menangis terus diseberang sana bukanlah hal bijak, betapa ingin ku ada dihadapanmu saat itu.....tetapi jarak memisahkan dan tak mungkin ku susul dirimu dalam sekejap.

Ada yang lalai dan tak terfikirkan olehku sama sekali, saat kamu begitu ingin membicarakan sesuatu secara langsung hanya untuk satu alasan, ingin melihat ekspresi jujurku. Aku fikir itu tak teralu penting dan fokus pada kepenasaranku yang amat sangat tentang hal yang sedang kau rasakan.

Hari ini, kamu benar-benar datang ke hadapanku membawa satu berita yang tak bisa ku fahami. Aku akan menikah, katamu dengan tegas. Aku mencoba untuk  meyakinkan bahwa yang baru saja ku dengar adalah benar. Air matamu seketika mengalir dan mengulang perkataan yang sama...aku akan menikah. Serasa mendengar berita kematian, aku lemes seketika dan memandangmu lama tak berkedip. Mungkin aku shock dan serasa semua gelap. Aku tak pernah mendengarmu bertunangan atau lamaran, tetapi kini aku mendengarmu akan segera mendefenisikan jalan hidupmu ke depan dalam satu ikatan suci. Aku tak berfikir akan secepat itu.

Setelah kesadaranku pulih, aku mencoba bertanya tentang keseriusanmu dengan kalimat itu. Sekali lagi, kamu mengatakan akan menikah. Ku katakan apakah karena sesuatu telah terjadi denganmu???. Kamu kemudian bersumpah demi Tuhan bahwa kamu dalam keadaan baik-baik saja. Aku terdiam.....terdiam dan menatapmu kian dalam sampai kamu menyadarkanku dengan tanya, mengapa memandangimu seperti itu???.

Aku tarik nafas dalam-dalam, mencoba menguasai keadaan dengan istighar dan bertasbih. Ku coba membangun suasana berbeda walau dihadapanku adalah sebuah wajah banjir air mata. Terfikir semua ini kamu lakukan atas dasar emosi, bukan dasar cinta sebagaimana kamu sering dengungkan kepadaku. Ku minta kamu bersumpah kalau kamu menikah  karena mencintainya. Kamu berkeberatan melakukannya dan bahkan air matamu kian deras. Aku katakan kalau kamu melakukan semua ini karena emosi, tetapi kamu mengatakan dengan terbata-bata bahwa karena cinta, tanpa berani menatapku saat berucap. Aku tanyakan kembali pertanyaan sama, lagi-lagi kamu mengatakannya menikah karena cinta tanpa berani menatapku. Aku terdiam....aku tak bisa berkata apalagi. Aku tak mngerti jalan fikiranmu untuk mengambil langkah berani tanpa didasarkan atas sebuah cinta. Aku melihat cincin dijemarimu dan mencoba bertanya apakah itu cincin pertunanganmu, kamu hanya diam dan menjawabnya dengan linangan air mata yang kian menjadi. Aku memintamu melepasnya dan ingin melihat cincin itu. Kamu menuruti pintaku. Aku genggap cincin itu dan sesaat membuka genggamanku dan memandanginya dengan seksama. Aku tak kuasa menahan diri dan kemudian memasukkan cincin itu ke mulutku. Ku kitari cincin itu dengan lidahku di kedua bibirku yang mengatup. Ku lakukan sambil memandangmu dengan dalam...lebih dalam...lebih dalam menyaksikan linangan air matamu saat ku melakukannya. Kemudian ku keluarkan cincin itu dari mulutku dan menwarkan untuk memasang dijemarimu....engkau tak berkenan dan hanya menunduk sambil menangis. Aku meminta jemarimu untuk kupasangkan cincin itu, kamu hanya diam terpatung.....setelah lama kamu mengatakan tak bisa menerima kalau aku yang memasangkannya.  Aku menyerah dan menyerahkan cincin itu untuk kamu pasang sendiri.

Ku tahu dia begitu mencintaimu dan rela berkorban apapun juga demi hidupmu. Dia rela mengorbankan apapun untuk mendapatkan cintamu, untuk mendapatkan restu berlabuhnya hatinya di sanubarimu. Aku tak pernah mampu melakukannya untukmu. Aku tak sebaik dia, walau kamu melakukan apa yang dilakukannya untuk mendapatkan cintamu kepadaku. Kamu selalu ragu tentang ketulusanku mencintaimu dan kamu selalu berontak dengan kebisaanku hanya sebatas membentuk kisah romatika tanpa pernah bisa mendefenisikan sebuah akhir perjalanan. Kamu tahu semua itu karena aku sangat menghormati, kamu tahu itu aku tak bisa berromantisme ria seperti kebiasaan buruk banyak anak muda karena aku selalu berjuang menjaga kedekatanku pada Tuhan. Kamu tak cukup merasa indah ketika secara nyata aku mencintaimu dengan hatiku. Kamu tak bisa hidup disebatas perhatian tulusku, sebab keinginan memiliki ku membawamu  pada amarah-amarah serupa, bahkan saat –saat dimana perasaan saling merindu begitu dalam dan menguat. Kamu tak bisa mencukupkan itu sebagai bahan untuk bersyukur. Kamu tak bisa mendefenisikan itu sebagai capaian cinta yang terbangun dari proses berjalannya waktu.

Aku telah berdoa untuk semua rasa ini, sebagaimana aku berdo’a untuk kebaikanmu. Aku telah menguntaikan rasa ku di sajadah dan mengharap Tuhan membimbing semua ini ke jalan yang seharusnya. Akhirnya, kamu memilih untuk menikah dan itu sangat membuatku shock dan berada di kegelapan hidup. Amarahku tak mungkin ku umbarkan, karena faktanya aku tak pernah membicarakan sebuah rumah kecil untuk masa depan kita. Aku tak pernah mau berjanji sebab aku takut berdusta dan membuatmu terluka dalam waktu yang lama. Bulir air mataku akhirnya pecah juga setelah dengan sekuat tenaga aku tahan.

Andai engkau tahu sesungguhnya, mungkin banyak hal yang kamu pertimbangkan untuk melangkah seperti itu. Tapi, hidupku adalah sisi lain yang tak bisa kau masuki seutuhnya. Aku terlalu egois tak penah bisa memasukkan mu secara utuh d kehidupanku, tetapi itulah yang terbaik karena aku adalah lelaki yang tak biasa. Aku tak bisa menjelaskan bahwa aku hidup diluar akalku. Aku tak mungkin menjelaskan hanya untuk membentuk empati mu, tetapi semua ini aku lakukan karena perasaan sayangku terhadapmu, rasa cintaku yang teramat dalam padamu. Aku tak yakin kamu mampu berada di sisiku saat hal sesungguhnya engkau tahu. Aku tak bijak membuatmu menderita berkepanjangan oleh karena semua itu memerlukan kekebalan dalam menjalaninya.

Aku tak tahu haruskah mendefenisikan kebahagianku adalah ketika melihatmu bahagia, karena membangun ikhlas ini memerlukan sebuah kekhidmatan. Aku tak tahu apakah sabarku akan terbentuk hingga aku bijak di berlangsungnya pernikahanmu. Aku pun tak berani berkhayal untuk menjemputmu saat aku dititik memungkinkan mendampingimu, sebab bisa jadi itu akan menyakiti orang lain yang bersemayam disisi hidupmu. Aku tak tahu...aku hanya bisa menangis dan membiarkanmu meninggalkanku sendirian disini. Aku tak mengecup tanganmu dengan segenap rasaku, karena sepertinya hal itu mungkin terakhir kali aku bisa melakukannya. 

Mungkin aku harus mendefenisikan ini sebagai cara Tuhan memaknai doaku selama ini. Aku menyerah dan memaknainya sebagai ketetapan Tuhan, walau kesedihan dan luka rasa ini tak terceritakan betapa menyiksa. Tetapi, ketika ini adalah sebuah kenyataan, aku harus bisa berdiri dan tetep melangkah, melanjutkan sisa hidup yang dipercyakan Tuhan untuk ku. Aku akan mencari hikmah dari perjalanan hidupku, termasuk mencari hikmah disepanjang aku dan kamu saling jujur tentang ragam warna dan dinamika perasaan diantara kita. Aku minta  maaf untuk ketidakterpenuhan hal yang kau inginkan. Semoga ini jalan terbaik untukmu mendapatkan hak atas kebahagiaan sempurna di hidupmu. Aku tahu kamu baru akan memulai belajar mencintainya sejak pernikahanmu dengannya nanti, tetapi ku yakin kesempurnaan cintanya akan membawamu pada kenyamanan dalam proses belajar mencintainya. Semoga dia adalah lelaki terbaik persembahan Tuhan untukmu. Dikepengecutanku dalam pandangmu, ku mohonkan doa mu untukku dalam menjalani hidup di tanpa mu.  Terima kasihku atas segala keindahan dan pengorbanan yang engkau berikan. Aku tak bisa menyempurnakan imajinasiku tentangmu, seperti katamu  hanya akan menyempurnakannya ketika kamu bersuamiku. Aku ikhlas itu harga yang pantas untuk ketidakmampuanku, semoga Allah menyempurnakannya di mimpiku. Mengabdilah padanya atas nama istri yang solehah, krena itulah jalan terbaik untukmu mendapatkan hak untuk memasuki dan menikmati sorga. Selamat jalan cintaku, selamat belajar mencintai dan jangan pernah membandingkan, karena kesempurnaan itu hanya terletak di imajinasimu dan setiap manusia memiliki sisi lebih dan kurang dalam hidupnya. Aku pun akan menyempurnakan asaku ditingkatan imajinasiku, walau ku coba hormati caramu meraih sebuah kesempurnaan .

Kalau ternyata semua ini adalah sebentuk jawaban  dari Tuhan atas segenap doa kita, ku yakin Allah mempunyai maksud baik di keterpisahan rasa dan nyata ini. Kemarin adalah kisah yang tak sesiapapun mampu mengubahnya, hari ini adalah kemyataan yang harus ikhlas diterima dan hari esok adalah hal ghaib yang wujudnya tergantung pada otoritas sang Kuasa. Doaku menyertai pernikahan sucimu. Ku kan mulai bangun keikhlasan disaat akalku mengatakan bahwa kamu sedang mulai membentuk kisah baru di tatapan yang menuntun pada pergulatan ingin dua insan yang bermakna ibadah dan berimplikasi pahala. Air mataku akan menyertai saat semua itu berlangsung dan doakan ku bisa melaluinya dengan bijak dan tersenyum walau air mata emosi ini  pasti tak terkendalikan derasnya.    

di ruang kesedihan 
 keterpenggalan kisah

THE END
Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved