BER-DERMA DI KETIADAAN
A. Pengantar
Tulisan ini ter-ide dari
perjalanan hidup seseorang yang sangat inspiratif, khususnya dalam
berkepedulian terhadap sesama. Secara ekonomi, beliau hidup seadanya, namun energi-nya
seolah tidak pernah habis dalam men-temakan persoalan dan keresahan yang sedang
menimpa orang lain. Semua dilakukan dengan tulus dan terbangun kesan kuat
komitmen untuk membahagiakan orang lain disekitarnya. Hari-harinya disibukkan
dengan urusan orang lain. Kalimat yang keluar darinya hampir dipastikan tidak luput
dalam urusan kebermaknaan yang diikuti sederetan pengungkapan fakta ragam
penderitaan atau keresahan orang di suatu tempat atau di suatu wilayah. Uniknya
lagi, beliau tidak pernah mau disebut kyai, ustadz, guru, atau sebutan apapun
yang memposisikan dirinya menjadi istimewa. Alasannya pun cukup men-cengangkan,
apapun yang dia lakukan sama sekali bukan atas dasar niat atau keinginan untuk
dibilang hebat. “Ini
tentang aku dan Tuhan-ku, kalaupun aku melakukan sesuatu tampak baik secara kasat
mata, semua itu hanya media bagiku untuk lebih di cintai dan disayang Sang
Khalik”, tandasnya suatu waktu saat penulis bersilaturrahmi ke
rumahnya. Atas hal itu, untuk menghormati prinsip dan niatnya, tulisan ini pun
tidak mengungkap jati diri orang baik yang satu ini. Semoga saja, hal-hal yang
tersaji dalam tulisan sederhana ini mendatangkan hikmah, baik bagi penulis
maupun segenap pembaca.
B. Bermula
dari ketauhidan
“Seringkali kita terlalu asik dengan diri sendiri dan tak
jarang hal itu membuat kita abai dan bahkan kehilangan kepekaan dan kepedulian
terhadap orang lain dan lingkungan sekitar. Kita sering lupa kalau satu helai
daun yang jatuh sesungguhnya atas izin Allah SWT, sebagaimana sama halnya
dengan kesedihan dan keresahan yang kita saksikan, dengar atau diperlihatkan.
Kita tidak tertarik lagi memaknai itu sebagai pesan Tuhan yang kemudian membuat
kita berfikir, mencari hikmah dan atau mengambil inisiatif untuk menjadi bagian
dari solusi atas setiap persoalan yang ada. Terkadang, kita terlalu takut besok
makan apa bila harus berbagi pada tetangga yang sedang lapar. Kita terlalu
sayang pada mobil, sehingga menjadi terasa berat meminjamkan tetangga atau sanak saudara kala
mereka sedang sangat membutuhkannya. Kita juga lebih memilih menumpuk kekayaan
untuk 7 (tujuh) turunan, ketimbang menjadikan harta yang dimiliki sebagai mesin
penjawab bagi kesusahan yang sedang menimpa orang-orang disekitar kita. Kita
tidak tertarik menjadikan segala keresahan dan kesedihan orang lain sebagai
inspirasi berkepedulian dan atau
menolong antar sesama. Sikap-sikap kerdil semacam ini dikarenakan terlalu
hubbuddunya dan bahkan tidak sedikit dari mereka telah terjebak men-Tuhan kan
harta diluar kesadarannya. Mereka lupa kebahagiaan adalah cobaan sebagaimana
kesedihan juga adalah cobaan. Mereka lupa kalau harta adalah titipan semata. Mereka
terjebak memaknai kalam Allah yang mendefenisikan “semua kesusahan adalah
akibat perbuatan sendiri”, sehingga pembiaran lebih dipilih ketimbang
berkepedulian ketika kesusahan atau kesediahan sedang menimpa orang lain.
Hebatnya lagi, kala kesusahan hadir dan mendera hidupnya, tanpa merasa malu seketika
langsung menengadahkan tangan berlinang air mata menyampaikan permohonan pada
Tuhan-nya. Dia lupa bagaimana ketidakpeduliannya saat penderitaan orang lain
sedang terjadi dihadapannya. Untung saja, Tuhan maha pemaaf walau itu bukan
pembenar bagi siapapun pada kebiasaan-kebiasaan buruk seperti pelit, kikir dan
atau sejenisnya yang bernada ke-cuekan dan ketidakpedulian”, demikian kalimat pengingat
nan bijak yang beliau sampaikan di suatu waktu .
C. Memakna
Kenikmatan Sebagai Mula
Bagi penghamba logika,
hadirnya keni’matan hidup sering dibaca semata-mata karena hasil kerja keras
dan cerdasnya. Mereka memahami kebendaan yang mereka miliki saat ini adalah hasil logis dari serentetan panjang
perjuangan yang telah dia lakukan dalam hidupnya. Akibatnya, segala rintihan
kesedihan yang datang kepadanya dimaknai sebagai sesuatu yang tidak penting untuk
diperhatikan karena menganggap hal itu sebagai akibat dari kesalahan, kemalasan
dan kebodohannya sendiri. Walau mungkin analisa itu benar, tetapi menghindarkan
diri berpenilaian demikian sehingga
tidak menambah kesedihan yang sedang melanda. Mungkin orang tersebut melewatkan
satu hal, yaitu mencoba mencari hikmah mengapa kesedihan itu diperdengarkan
padanya, bukan pada hamba-hamba Tuhan lainnya dibelahan bumi luas ini. Pada
orang semacam ini, bisa jadi ibadah dimaknai secara sempit sebatas ritual yang
lebih bersifat personal antara dirinya dengan Tuhan-nya, seperti sholat, puasa,
ber-haji dan lain sebagainya. Mereka tidak tertarik belajar memaknai kata “ibadah”
ke dimensi lebih luas seperti persoalan-persoalan kemanusiaan yang memerlukan
uluran tangan dan kepedulian. Mereka alfa memaknai kalam Allah SWT yang menjelaskan
“manusia yang baik adalah yang
mendatangkan manfaat bagi manusia lainnya”. Mereka lalai menjadikannya sebagai inspirasi energi dalam mengembangkan
ragam gagasan berwujud aksi kepedulian.
Mungkin hal berbeda akan
didapati pada pribadi yang memaknai segala keni’matan hidup ini semata-mata titipan
atau bahkan cobaan Allah SWT yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban pada
waktunya. Pribadi semacam ini selalu
mewujudkan rasa syukurnya dalam bentuk kesalehan
sosial berwujud kesetiakawanan, kepekaan dan kepedulian. Semua dilakukan atas keyakinan kuat bahwa ni’mat Allah justru akan
berlipat ketika dibagi sebagaimana janji Allah SWT. Tidak ada sedikitpun
keraguan padanya karena memberi bukan
bermakna berkurang, tetapi justru
akan bertambah.
D. Bekepedulian
Tak Selalu Berwujud Materi
Ni’mat atau rezeki
tidaklah selamanya harus berwujud materi, tetapi juga bisa im-materil seperti
kesehatan, terhindar dari kecelakaan, dijauhkan dari ragam fitnah, dikarunia
anak-anak yang sholeh/sholehah, memiliki istri sholehah, memiliki suami yang
setia, memiliki tetangga baik dan lain sebagaiya. Demikian halnya dengan berkepedulian
yang bisa berwujud apa saja. Bisa jadi, sekedar
bersedekah untuk mendengar keluh kesah mampu menenangkan hati seseorang
yang sedang galau atau gelap hati. Bisa
jadi, sekedar memberi akses dapat mempermudah anak tetangga dalam
memperoleh pekerjaan yang layak, Memberikan
peta atau arah jalan pun bisa menghindarkan seseorang dari salah arah. Mengabarkan
kemiskinan kepada si kaya juga berpeluang
menyelesaikan kesulitan yang sedang membelit si miskin. Mendamaikan orang-orang
yang sedang berselisih faham juga merupakan wujud kepedulian. Menyarankan untuk
tidak membuang sampah sembarangan pun juga bentuk penjagaan lingkungan dari
kotor dan bahaya banjir. Bahkan, sekedar memberi senyum saja bisa menenangkan
hati yang lagi resah. Beberapa contoh itu menggambarkan betapa banyak hal yang
bisa dilakukan ketika ada niat, kemauan dan keikhlasan untuk membahagiakan
orang lain. Dengan kata lain, dalam ketiadaan
materi sekalipun, setiap orang berpeluang men-derma kebaikan sepanjang niat dan kemauan
itu benar-benar hadir. Hal
semacam itulah yang
disaksikan penulis dari keseharian hidup figur inspiratif satu ini. Segala
keresahan dan kesusahan yang beliau dengar selalu menjadi inspirasi untuk
selalu ber-energi melakukan sesuatu
sehinga solusi tertemukan. Terkadang, beliau hanya mengajak diskusi atau bertukar
fikiran sehingga orang yang sedang bermasalah
menjadi tercerahkan dan lebih semangat berusaha sendiri dengan gigih
agar bisa keluar dari kesulitanya.
Bahkan, tidak jarang beliau memerankan sebagai makelar kebaikan. Beliau mengabarkan
ragam persoalan dengan gaya bahasa yang berujung hadirnya kepedulian orang-orang potensial berkontribusi
langsung memberi solusi. Hasilnya pun memang luar biasa dan sudah tidak
terhitung berapa banyak persoalan dan
keresahan orang lain terselesaikan lewat cara beliau yang begitu kreatif.
Suatu waktu penulis
mengekspresikan decak kagumnya, beliau hanya terdiam sejenak dan sesaat
kemudian mengucapkan istighfar. Beliau menandaskan bahwa apa yang dia lakukan
bukanlah sesuatu yang hebat. “Kalaupun hal
itu tergolong perbuatan baik, saya-lah yang butuh berbuat baik agar lebih
disayang Allah SWT”, tandas beliau. Beliau juga mengatakan kepada penulis
bahwa siapapun sesungguhnya bisa melakukan kebaikan sepanjang adanya
kemauan. Beliau jua pernah menyampaikan pesan bijak, “Bersyukurlah
kalau ada orang miskin yang datang minta makan ke rumah anda, itu artinya Allah
SWT memberi kesempatan bagi anda untuk berbuat baik. Sambutlah dengan hati yang
tulus atas setiap orang yang datang berkeluh kesah, sebab hal itu merupakan
bentuk kepercayaan Allah SWT bahwa anda adalah orang yang paling tepat
dijadikan untuk bersandar. Maknailah dengan bijak kala anda dijadikan tempat
curhat seputar kesedihan, kesusahan dan atau keresahan, sebab banyak orang
diluar sana tidak diperlihatkan atau
diperdengarkan pada setiap orang”. Bergetar hati penulis saat mendengar pesan yang tersampaikan dengan nada yang penuh
penjiwaan.
E. Andai
Saja Meng-Imani Matematika Sang Khalik
Sebiji Zarroh pun
kebaikan pasti berbalas; Allah adalah Maha Penghitung yang cermat dan adil;
tidak ada rezeki yang tertukar; setiap pemberian satu akan tumbuh menjadi 7
(tujuh) tangkai dan masing-masing
tangkai berisi 100 bulir. Beberapa kalimat itu adalah bagian dari kalam Allah
SWT yang seharusnya menjadi inspirasi kepedulian bagi setiap insan yang
ber-iman. Artinya, ketika
kalimat-kalimat Allah itu diyakini sepenuhnya, maka tidak perlu ada ketakutan
untuk berbagi dan tidak perlu ada kekhawatiran tentang hari esok atau lusa. Alasannya sederhana saja, dengan sifat
Rohman & Rahim-Nya, Allah SWT akan memenuhi segala apa yang dibutuhkan
(bukan yang diinginkan) hamba-Nya. Bahkan, dalam satu hadist Qudsi dikatakan
bahwa Allah SWT seperti prasangka hamba-Nya. Artinya, Allah SWT itu akan sebaik
yang disangkakan hamba-Nya. Hanya saja, pertanyaan menariknya adalah apakah
setiap dari kita sudah terdefenisi sebagai “hamba Allah SWT” sesuai dengan
defenisi “hamba” yang sesungguhnya. Bisa jadi, masih ber-jarak dengan Tuhantelah
menjadikan kenyataan hidup belum seperti yan diimpikan. Keber-Jarak-an yang
dimaksud dalam hal ini adalah masih jauhnya keseharian sang hamba dengan kalam
Allah SWT, sehingga ni’mat itu pun masih
berjarak dengan hidupnya.
Oleh karena itu, setiap
dari kita selayaknya untuk terus melakukan instrospeksi (ber-muhasabah) guna
menemukan hal-hal yang masih memerlukan perbaikan agar lebih disayang Allah SWT
dan agar pransangka-prsangka kita tentang hidup lebih di ridhoi oleh Allah SWT. Dengan demikian, dari hati yang bersih, niat
yang terjaga karena Allah SWT, kepedulian-kepedulian yang dilakukan dalam ragam
bentuk akan semakin menambah ni’mat dan hidayah dari Allah SWT.
F.
Penghujung
Demikian tulisan sederhana
ini tersaji sebagai satu pembelajaran bersama dan sekaligus melakukan pencarian
hikmah. Semoga kita semua mendapat manfaat,
hikmah dan sekaligus meng-inspirasi lipatan energi dalam menumbuhkembangkan
kepedulian dan kesetiakawanan dalam judul “meningkatkan kemuliaan dipandangan
Allah SWT”. Amin Ya Robbal ‘Alamin
Posting Komentar
.