BER-DERMA DI KETIADAAN | ARSAD CORNER

BER-DERMA DI KETIADAAN

Kamis, 06 Februari 20250 komentar

BER-DERMA DI KETIADAAN
  
A.  Pengantar
Tulisan ini ter-ide dari perjalanan hidup seseorang yang sangat inspiratif, khususnya dalam berkepedulian terhadap sesama. Secara ekonomi, beliau hidup seadanya, namun energi-nya seolah tidak pernah habis dalam men-temakan persoalan dan keresahan yang sedang menimpa orang lain. Semua dilakukan dengan tulus dan terbangun kesan kuat komitmen untuk membahagiakan orang lain disekitarnya. Hari-harinya disibukkan dengan urusan orang lain. Kalimat yang keluar darinya hampir dipastikan tidak luput dalam urusan kebermaknaan yang diikuti sederetan pengungkapan fakta ragam penderitaan atau keresahan orang di suatu tempat atau di suatu wilayah. Uniknya lagi, beliau tidak pernah mau disebut kyai, ustadz, guru, atau sebutan apapun yang memposisikan dirinya menjadi istimewa. Alasannya pun cukup men-cengangkan, apapun yang dia lakukan sama sekali bukan atas dasar niat atau keinginan untuk dibilang hebat. “Ini tentang aku dan Tuhan-ku, kalaupun aku melakukan sesuatu tampak baik secara kasat mata, semua itu hanya media bagiku untuk lebih di cintai dan disayang Sang Khalik”, tandasnya suatu waktu saat penulis bersilaturrahmi ke rumahnya. Atas hal itu, untuk menghormati prinsip dan niatnya, tulisan ini pun tidak mengungkap jati diri orang baik yang satu ini. Semoga saja, hal-hal yang tersaji dalam tulisan sederhana ini mendatangkan hikmah, baik bagi penulis maupun segenap pembaca.


B.  Bermula dari ketauhidan
“Seringkali kita terlalu asik dengan diri sendiri dan tak jarang hal itu membuat kita abai dan bahkan kehilangan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain dan lingkungan sekitar. Kita sering lupa kalau satu helai daun yang jatuh sesungguhnya atas izin Allah SWT, sebagaimana sama halnya dengan kesedihan dan keresahan yang kita saksikan, dengar atau diperlihatkan. Kita tidak tertarik lagi memaknai itu sebagai pesan Tuhan yang kemudian membuat kita berfikir, mencari hikmah dan atau mengambil inisiatif untuk menjadi bagian dari solusi atas setiap persoalan yang ada. Terkadang, kita terlalu takut besok makan apa bila harus berbagi pada tetangga yang sedang lapar. Kita terlalu sayang pada mobil, sehingga menjadi terasa berat  meminjamkan tetangga atau sanak saudara kala mereka sedang sangat membutuhkannya. Kita juga lebih memilih menumpuk kekayaan untuk 7 (tujuh) turunan, ketimbang menjadikan harta yang dimiliki sebagai mesin penjawab bagi kesusahan yang sedang menimpa orang-orang disekitar kita. Kita tidak tertarik menjadikan segala keresahan dan kesedihan orang lain sebagai inspirasi  berkepedulian dan atau menolong antar sesama. Sikap-sikap kerdil semacam ini dikarenakan terlalu hubbuddunya dan bahkan tidak sedikit dari mereka telah terjebak men-Tuhan kan harta diluar kesadarannya. Mereka lupa kebahagiaan adalah cobaan sebagaimana kesedihan juga adalah cobaan. Mereka lupa kalau harta adalah titipan semata. Mereka terjebak memaknai kalam Allah yang mendefenisikan “semua kesusahan adalah akibat perbuatan sendiri”, sehingga pembiaran lebih dipilih ketimbang berkepedulian ketika kesusahan atau kesediahan sedang menimpa orang lain. Hebatnya lagi, kala kesusahan hadir dan mendera hidupnya, tanpa merasa malu seketika langsung menengadahkan tangan berlinang air mata menyampaikan permohonan pada Tuhan-nya. Dia lupa bagaimana ketidakpeduliannya saat penderitaan orang lain sedang terjadi dihadapannya. Untung saja, Tuhan maha pemaaf walau itu bukan pembenar bagi siapapun pada kebiasaan-kebiasaan buruk seperti pelit, kikir dan atau sejenisnya yang bernada ke-cuekan dan ketidakpedulian”, demikian kalimat pengingat nan bijak yang beliau sampaikan di suatu waktu .


C.  Memakna Kenikmatan Sebagai Mula
Bagi penghamba logika, hadirnya keni’matan hidup sering dibaca semata-mata karena hasil kerja keras dan cerdasnya. Mereka memahami kebendaan yang mereka miliki saat ini adalah hasil logis dari serentetan panjang perjuangan yang telah dia lakukan dalam hidupnya. Akibatnya, segala rintihan kesedihan yang datang kepadanya dimaknai sebagai sesuatu yang tidak penting untuk diperhatikan karena menganggap hal itu sebagai akibat dari kesalahan, kemalasan dan kebodohannya sendiri. Walau mungkin analisa itu benar, tetapi menghindarkan diri  berpenilaian demikian sehingga tidak menambah kesedihan yang sedang melanda. Mungkin orang tersebut melewatkan satu hal, yaitu mencoba mencari hikmah mengapa kesedihan itu diperdengarkan padanya, bukan pada hamba-hamba Tuhan lainnya dibelahan bumi luas ini. Pada orang semacam ini, bisa jadi ibadah dimaknai secara sempit sebatas ritual yang lebih bersifat personal antara dirinya dengan Tuhan-nya, seperti sholat, puasa, ber-haji dan lain sebagainya. Mereka tidak tertarik belajar memaknai kata “ibadah” ke dimensi lebih luas seperti persoalan-persoalan kemanusiaan yang memerlukan uluran tangan dan kepedulian. Mereka alfa memaknai kalam Allah SWT yang menjelaskan “manusia yang baik adalah yang mendatangkan manfaat bagi manusia lainnya”. Mereka lalai  menjadikannya sebagai inspirasi energi dalam mengembangkan ragam gagasan berwujud aksi kepedulian.

Mungkin hal berbeda akan didapati pada pribadi yang memaknai segala keni’matan hidup ini semata-mata titipan atau bahkan cobaan Allah SWT yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban pada waktunya. Pribadi semacam ini  selalu mewujudkan rasa syukurnya  dalam bentuk kesalehan sosial berwujud kesetiakawanan, kepekaan dan kepedulian.  Semua dilakukan atas  keyakinan kuat bahwa ni’mat Allah justru akan berlipat ketika dibagi sebagaimana janji Allah SWT. Tidak ada sedikitpun keraguan padanya karena memberi bukan bermakna berkurang, tetapi justru akan bertambah. 


D.  Bekepedulian Tak Selalu Berwujud Materi
Ni’mat atau rezeki tidaklah selamanya harus berwujud materi, tetapi juga bisa im-materil seperti kesehatan, terhindar dari kecelakaan, dijauhkan dari ragam fitnah, dikarunia anak-anak yang sholeh/sholehah, memiliki istri sholehah, memiliki suami yang setia, memiliki tetangga baik dan lain sebagaiya. Demikian halnya dengan berkepedulian yang bisa berwujud apa saja.  Bisa jadi, sekedar bersedekah  untuk  mendengar keluh kesah mampu menenangkan hati seseorang  yang sedang galau atau gelap hati. Bisa jadi,  sekedar memberi akses  dapat mempermudah anak tetangga dalam memperoleh pekerjaan yang layak,  Memberikan peta atau arah jalan pun bisa menghindarkan seseorang dari salah arah. Mengabarkan kemiskinan kepada si kaya juga  berpeluang menyelesaikan kesulitan yang sedang membelit si miskin. Mendamaikan orang-orang yang sedang berselisih faham juga merupakan wujud kepedulian. Menyarankan untuk tidak membuang sampah sembarangan pun juga bentuk penjagaan lingkungan dari kotor dan bahaya banjir. Bahkan, sekedar memberi senyum saja bisa menenangkan hati yang lagi resah. Beberapa contoh itu menggambarkan betapa banyak hal yang bisa dilakukan ketika ada niat, kemauan dan keikhlasan untuk membahagiakan orang lain.  Dengan kata lain, dalam ketiadaan materi sekalipun, setiap orang berpeluang  men-derma kebaikan sepanjang niat dan kemauan itu benar-benar hadir. Hal

semacam itulah yang disaksikan penulis dari keseharian hidup figur inspiratif satu ini. Segala keresahan dan kesusahan yang beliau dengar selalu menjadi inspirasi untuk selalu ber-energi  melakukan sesuatu sehinga solusi tertemukan. Terkadang, beliau hanya mengajak diskusi atau bertukar fikiran sehingga orang yang sedang bermasalah  menjadi tercerahkan dan lebih semangat berusaha sendiri dengan gigih agar bisa keluar dari kesulitanya.  Bahkan, tidak jarang beliau memerankan sebagai makelar kebaikan.  Beliau mengabarkan ragam persoalan dengan gaya bahasa yang berujung hadirnya  kepedulian orang-orang potensial berkontribusi langsung memberi solusi. Hasilnya pun memang luar biasa dan sudah tidak terhitung berapa banyak persoalan  dan keresahan orang lain terselesaikan lewat cara beliau yang begitu kreatif.

Suatu waktu penulis mengekspresikan decak kagumnya, beliau hanya terdiam sejenak dan sesaat kemudian mengucapkan istighfar. Beliau menandaskan bahwa apa yang dia lakukan bukanlah sesuatu yang hebat. “Kalaupun hal itu tergolong perbuatan baik, saya-lah yang butuh berbuat baik agar lebih disayang Allah SWT”, tandas beliau. Beliau juga mengatakan kepada penulis bahwa siapapun sesungguhnya bisa melakukan kebaikan sepanjang adanya kemauan.  Beliau  jua pernah menyampaikan pesan  bijak, “Bersyukurlah kalau ada orang miskin yang datang minta makan ke rumah anda, itu artinya Allah SWT memberi kesempatan bagi anda untuk berbuat baik. Sambutlah dengan hati yang tulus atas setiap orang yang datang berkeluh kesah, sebab hal itu merupakan bentuk kepercayaan Allah SWT bahwa anda adalah orang yang paling tepat dijadikan untuk bersandar. Maknailah dengan bijak kala anda dijadikan tempat curhat seputar kesedihan, kesusahan dan atau keresahan, sebab banyak orang diluar sana  tidak diperlihatkan atau diperdengarkan pada setiap orang”. Bergetar hati penulis saat mendengar  pesan yang tersampaikan dengan nada yang penuh penjiwaan.  


E.  Andai Saja Meng-Imani Matematika Sang Khalik
Sebiji Zarroh pun kebaikan pasti berbalas; Allah adalah Maha Penghitung yang cermat dan adil; tidak ada rezeki yang tertukar; setiap pemberian satu akan tumbuh menjadi 7 (tujuh) tangkai  dan masing-masing tangkai berisi 100 bulir. Beberapa kalimat itu adalah bagian dari kalam Allah SWT yang seharusnya menjadi inspirasi kepedulian bagi setiap insan yang ber-iman. Artinya,  ketika kalimat-kalimat Allah itu diyakini sepenuhnya, maka tidak perlu ada ketakutan untuk berbagi dan tidak perlu ada kekhawatiran tentang hari esok atau  lusa. Alasannya sederhana saja, dengan sifat Rohman & Rahim-Nya, Allah SWT akan memenuhi segala apa yang dibutuhkan (bukan yang diinginkan) hamba-Nya. Bahkan, dalam satu hadist Qudsi dikatakan bahwa Allah SWT seperti prasangka hamba-Nya. Artinya, Allah SWT itu akan sebaik yang disangkakan hamba-Nya. Hanya saja, pertanyaan menariknya adalah apakah setiap dari kita sudah terdefenisi sebagai “hamba Allah SWT” sesuai dengan defenisi “hamba” yang sesungguhnya. Bisa jadi, masih ber-jarak dengan Tuhantelah menjadikan kenyataan hidup belum seperti yan diimpikan. Keber-Jarak-an yang dimaksud dalam hal ini adalah masih jauhnya keseharian sang hamba dengan kalam Allah SWT, sehingga ni’mat  itu pun masih berjarak dengan hidupnya.

Oleh karena itu, setiap dari kita selayaknya untuk terus melakukan instrospeksi (ber-muhasabah) guna menemukan hal-hal yang masih memerlukan perbaikan agar lebih disayang Allah SWT dan agar pransangka-prsangka kita tentang hidup lebih di ridhoi oleh Allah SWT.  Dengan demikian, dari hati yang bersih, niat yang terjaga karena Allah SWT, kepedulian-kepedulian yang dilakukan dalam ragam bentuk akan semakin menambah ni’mat dan hidayah dari Allah SWT.    


F.  Penghujung

Demikian tulisan sederhana ini tersaji sebagai satu pembelajaran bersama dan sekaligus melakukan pencarian hikmah. Semoga kita semua  mendapat manfaat, hikmah dan sekaligus meng-inspirasi lipatan energi dalam menumbuhkembangkan kepedulian dan kesetiakawanan dalam judul “meningkatkan kemuliaan dipandangan Allah SWT”. Amin Ya Robbal ‘Alamin
Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved