Kamis, 02 Oktober 2014

BELAJAR BERSAMA “MENDALAMI KESALEHAN SOSIAL”



BELAJAR BERSAMA

“MENDALAMI KESALEHAN SOSIAL”


Disampaikan pada pengajian rutin yang diselenggarakan oleh Zona Bombong, di Pendopo Wakil Bupati Kabupaten Banyumas, 02 Oktober 2014



A.  Prolog

Ada perasaan takut dan senang yang datang bersamaan saat “zona bombong” meminta kesediaan untuk mengisi acara di majelis yang mulia ini dengan tema “kesalehan sosial”. Perasaan takut dikarenakan beberapa hal, antara lain : (i) masih minimnya ketauladanan secara pribadi; (ii) masih minimnya ilmu agama sehingga khawatir salah dalam menyampaikan kepada majelis dan; (iii) kekhawatiran yang amat sangat terjebak pada ri’a, sebab bila hal ini terjadi akan membuat segala sesuatunya menjadi sia-sia. Disaat bersamaan, rasa senang hadir juga karena datangnya satu peluang kebaikan, sebuah kesempatan untuk ikut belajar dengan komunitas zoba bombong khususnya dalam mendalami ilmu agama secara luas. Sebuah hadist yang menyatakan “ sampaikanlah dariku walau satu ayat”, telah menginspirasi satu keberanian untuk hadir di tengah-tengah segenap majelis dalam judul “belajar bersama”. Dengan demikian, apa-apa yang tertuliskan dan tersampaikan sesungguhnya hanya pemantik bagi kita semua  untuk belajar bersama dan lebih bergairah memperdalam keilmuan islam kita. Amin Ya Robbal ‘Alamin.   



Oleh karena itu, saya mengingatkan kepada segenap anggota majelis untuk mencermati hal-hal yang tersampaikan dalam tulisan ini maupun dalam proses penyampaian secara lisan, dengan demikian setiap orang memiliki keyakinan yang cukup dan tidak terjebak pada taqlid (ikut-ikutan) dalam melakukan segala bentuk ibadah. Alhamdulillah, pada majelis ini juga akan dihadiri guru dan sekaligus pembimbing majelis  yaitu Gus Imam Ma’rif (Pengasuh Ponpes Nurul Huda Langgonsari Cilongok). Disamping membimbing kita semua dalam belajar agama islam, kehadiran beliau juga bisa memperkuat atau mengoreksi sekiranya ada hal-hal yang kurang tepat atau keliru baik dalam tulisan ini maupun saat penyampaian. 




B.  Men-maknai Kesalehan.

Kesalehan bisa dimaknai sebagai bentuk ketaatan/kesungguhan dalam menjalankan ajaran Islam secara utuh. Kesalehan akan membimbing individu senantiasa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Insan-insan yang saleh akan menjadikan keimanannnya sebagai pemandu dalam segala fikiran, ucapan dan tindakannya.  Dalam banyak bahasan tentang kesalehan, ada 3 (tiga) istilah yang selalu mengemuka yaitu : (i) kesalehan spiritual; (ii) kesalehan sosial dan; (iii) kesalehan alam. 3 (tiga) hal ini merupakan satu kesatuan yang idealnya ter-integrasi dalam diri setiap muslim/muslimah. Dalam pemaknaannya, kesalehan spiritual digambarkan sebagai aktivitas-aktivitas yang bersifat individul dan mempertinggi kualitas hubungan seorang hamba dengan Sang Khalik, seperti sholat, puasa, zikir dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kesalehan spiritual sering dikaitkan dengan Hablummninallah (hubungan hamba dengan Allah). Sementara itu, kesalehan sosial biasanya dikaitkan dengan tindakan sosial yang berhubungan dengan manusia lainnya. Hal ini pula yang kemudian bisa dikaitkan dengan istilah Hablumminannas (hubungan antar manusia). Sementara itu, kesalehan alam berkaitan dengan segala kebijaksanaan dalam memanfaatkan, menjaga, memelihara, melestarikan dan memakmurkan alam sehingga tidak terjadi kerusakan dan akibat lainnya yang melahirkan persoalan serius  seperti polusi, kegundulan hutan, banjir, longsor dan lain sebagainya.



Ketiga kesalehan ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan, mempengaruhi satu sama lain dan tidak terpisahkan. Kesalehan spiritual seharusnya men-stimulan lahirnya kesalehan sosial dan juga kesalehan alam. Kalau kemudian ada yang terlalu fokus dengan satu kesalehan saja, maka kesempurnaannya dalam ber-islam masih dalam tanya. Sebagai contoh, seorang individu, yang memiliki kesalehan spiritual yang baik dan rajin melaksanakan sholat, namun masih suka menggunjing  dan atau mencari-cari kelemahan orang lain,  maka ke-khusu’an sholatnya dalam tanda tanya besar. Sebab, sholat itu pada dasarnya mencegah perbuatan keji dan mungkar (Q.S. Al-Ankabut : 45). Demikian juga bila orang yang rajin puasa tetapi tidak memiliki kepekaan sosial dan kepedulian terhadap fakir miskin dan kaum dhuafa, maka bisa jadi puasa orang itu hanya sekedar menahan dahaga dan lapar sehingga puasa belum berhasil  membentuk pribadinya  menjadi lebih responsif terhadap persoalan-persoalan disekitarnya. Demikian pula pada mereka yang memiliki kesalehan spiritual seharusnya lebih bijak untuk berlaku terhadap alam. Dalam contoh kecil saja, seorang yang memiliki kesalehan spiritual yang baik tidak akan membuang sampah di sungai sembarangan karena hal itu berpotensi menyebabkan terjadinya banjir.  



Penjelasan diatas juga menjadi salah satu penegas bahwa  islam itu  agama yang mendatangkan rahmat bagi sekalian alam beserta isinya (rahmatan lil ’alamin). Ada pertanyaan menarik mengapa bukan rahmat bagi kamu muslim saja (rahmatan lil muslimin)?. Disinilah letak kebijaksanaan dan keluasan Islam yang  tidak hanya mengatur tentang bagaimana hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga menuntun bagaimana seorang muslim berinteraksi dengan manusia lainnya secara harmonis dan bagaimana manusia seharusnya bersikap bijak terhadap alam beserta isinya.




C.  Lebih Dalam membahas kesalehan sosial 

Sebagaimana dijelaskan pada bahasan sub tema sebelumnya, kesalehan sosial berhubungan dengan kepedulian terhadap manusia lainnya. Kepedulian yang dimaksud tidaklah sebatas memberikan bantuan materi  semacam sumbangan, tetapi juga menyangkut tentang sikap bijaksana, suka menolong, empati, berbagi ilmu untuk saling mencerdaskan, concern pada persoalan ummat dan lain sebagainya. Kesemuanya itu  terangkum dalam spirit mempeluas kebermanfaatan diri  terhadap manusia lainnya. Oleh karena itu, kesalehan sosial perlu dipupuk dan dikembangkan agar seorang muslim tidak terjebak dengan ke egois an dan asik dengan dirinya sendiri.



Berbicara tentang kepedulian sebagai kata kunci dari “kesalehan sosial”, hal ini sesungguhnya dipengaruhi oleh kondisi keimanan  seseorang. Sebab, keimanan itu mencakup 3 (tiga) hal, yaitu membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mewujudkannya dalam perbuatan/tindakan. Oleh karena itu, ketika seseorang meng-imani Alqur’an (sebagai salah satu dari enam rukun iman, yaitu beriman kepada ktab-kitab Allah SWT), maka seharusnya isi Al-qur’an itu menjadi pedoman atau tuntunan dalam keseharian hidupnya. Sebagai contoh, ketika satu ayat memerintahkan untuk peduli terhadap anak yatim dan bersedekah harta dijalan yang baik, maka seharusnya keimanan ayat ini diwujudkan sampai ketingkat tindakan nyata dan dilakukan dengan ikhlas serta hanya berharap ridho Allah SWT.  Jadi, keimanan seharusnya menjadi dasar dalam menumbuhkembangkan kesalehan sosial.



Kaitannya dengan menumbuhkembangkan kesalehan sosial, berikut ini dijabarkan beberapa hal yang sekiranya menjadi stimulan atau penyemangat, yaitu :

1.      Memaknai tujuan Keterciptaan Manusia. Keterciptaan manusia dan jin hanyalah untuk ber-ibadah kepada Nya (Q.S. Adz Dzaariyaat:56). Ibadah dalam hal ini tidak hanya dalam bentuk ritual seperti sholat, puasa, zakat, haji, zikir  dan lain sebagainya, tetapi juga menyangkut tentang segala tindakan baik yang membantu mendekatkan seorang hamba pada Sang Khaliq, termasuk kesalehan sosial di dalamnya. Ketika hal ini disadari dan diyakini dengan sesungguhnya, maka seharusnya segala tindakan yang dilakukan dalam hidup hanyalah hal-hal yang termasuk dalam kategori ibadah, mulai dari membangun hubungan dengan Allah SWT (Hablumminannas) , membangun kehidupan pribadi dan keluarga, membangun hubungan harmonis dengan manusia lainnya (Hablumminannas)  dan termasuk membangun hubungan bijak dengan alam beserta isinya. Satu hal yang menjadi catatan, kesalehan sosial  akan masuk dalam kategori ibadah apabila dilakukan dengan ikhlas (semata-mata karena mengharap ridho Allah) dan sesuai dengan syari’at (aturan yang berlaku dalam islam). Bila kesalehan sosial sudah difahami sebagai bagian dari ibadah, maka menumbuhkembangkan kesalehan sosial akan dirasa menjadi satu bagian yang harus diltumbuhkembangkan dalam keseharian hidup dari setiap diri seorang muslim/muslimah. 

2.      Mebangun Ketauladanan. membentuk kesalehan sosial seharusnya diawali dari semangat ketauladananan, sebab ketauladanan merupakan salah satu cara efektif untuk mengembangkan kepedulian sosial. Pribadi yang rendah hati akan membuat pengajaran tentang kerendahan hati lebih efektif. Pribadi yang suka berbagi akan lebih memudahkan mengajak orang lain untuk berbuat sama. Pribadi yang suka cinta damai akan lebih mudah dalam menengahi pertikaian. Pribadi yang menyukai hidup bersih akan mempemudah untuk mengajak orang lain untuk mencintai kebersihan lingkungan. Pribadi yang peduli pada orang lain akan mempermudah untuk mengajak orang lain mengembangkan kepedulian. Pribadi yang tidak suka menghardik orang lain akan mempermudah untuk mengingatkan orang lain yang suka bergunjing atau ghibah. Intinya, kesalehan sosial akan menjadi mudah untuk dikembangkan bila seseorang sudah memulai dari dirinya sendiri. Ini memerlukan komitmen kuat dan pembelajaran yang terus menerus.

3.      Belajar Mengambil Inisiatif memikirkan orang lain secara bertahap dan berkesinambungan. Mengambil inisiatif memikirkan orang lain hanya bisa lahir dari pribadi yang suka berbagi dan memiliki kepedulian, baik dalam bentuk materi maupun immateril. Pribadi yang suka berbagi adalah pribadi yang memaknai apa yang ada pada dirinya hanyalah titipan Allah SWT dan  harus dimanfaatkan ke dalam tindakan-tindakan bijak dan mendatangkan kemanfaatan luas bagi diri dan juga lingkungannya. Pribadi yang peduli juga adalah pribadi yang meng-imani bahwa berbuat baik adalah sebuah kemuliaan dipandangan Allah SWT. Pribadi semacam itu meyakini bahwa Allah SWT sebagai penghitung yang maha adil, dimana sebiji zarroh kebaikanpun akan berbalas. Artinya, tidak satu pun kebaikan akan luput dari penilaian Allah SWT , termasuk mengambil inisiatif untuk memikirkan orang lain.   

4.      Belajar berfikir terbalik. Dalam tulisan ini mencoba mengajak segenap majelis untuk belajar berfikir terbalik dalam beberapa hal, antara lain :

  1. Yang memberi berterima kasih pada yang menerima. Dalam kehidupan nyata, biasanya yang diberi berterima kasih kepada yang menerima. Mungkin ada baiknya, pemikiran ini mulai dibalik dimana yang memberi yang berterima kasih kepada yang menerima. Setidaknya ada beberapa alasan yang pantas untuk mencobanya:
  • andai tidak ada yang berkenan menerima kebaikan yang anda lakukan, bukankah ini sebuah persoalan dalam menunaikan sebuah kebaikan?.
  • cara baca ini sebagai bagian dari upaya menghilangkan “ria” dalam melakukan sebuah kebaikan.

  1. Tidak merasa hebat, karena berbuat baik adalah kebutuhan. Beberapa penjelasan dibawah ini mungkin bisa membantu untuk memahaminya:

  • Membantu sama dengan menolong diri sendiri. Tanpa disadari, terkadang kita terjebak dalam perasaan hebat ketika melakukan sesuatu yang baik terhadap orang lain, seperti memberikan sedekah materi atau membantu menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi orang tersebut. Untuk memelihara sebuah kekikhlasan dalam berbuat baik, ada kalimat bijak yang menyerukan “sebaiknya tangan kiri tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanan”. Secara kasat mata mungkin saja dari apa yang  diberikan bisa menyelesaikan persoalan orang tersebut . Akan tetapi, bukankah Allah SWT akan mempermudah urusan seorang hamba yang suka menyelesaikan kesulitan orang lain?. Kalau demikian, siapakah sesungguhnya yang membutuhkan pertolongan?. Semoga tanya ini bisa memantik fikiran untuk memandang berbuat baik pada orang lain sesungguhnya juga bermakna menolong diri sendiri. Kalau begitu, dimanakah hebatnya berbuat baik?. Bukankah hanya Allah yang maha penolong?.
  • Memberi bermakna pelipat gandaan. Dalam Q.S. Al Baqarah :261 dijelaskan bahwa : Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah  adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Ayat ini menjelaskan adanya ganjaran berupa pelipatgandaan dan sekaligus menegaskan bahwa berbagi tidak sama dengan berkurang tetapi justru sama dengan bertambah. Kalau demikian adanya, siapakah sesungguhnya yang membutuhkan?. Apakah hanya si penerima ataukah juga si pemberi?.
5. Belajar memaknai setiap hal yang datang dalam hidup. Hidup adalah perjalanan yang berisi ragam dinamika, terkadang menyenangkan dan terkadang melelahkan. Kemampuan seseorang mengambil hikmah positif atas segala sesuatunya akan melahirkan energi tersendiri untuk melangkah berikutnya. Demikian juga berita-berita kesusahan atau kesedihan yang di perdengarkan ke telinga atau diperlihatkan dihadapan kita. Ketika hal itu dimaknai sebagai sesuatu yang harus disikapi dengan bijak, maka hal ini akan melahirkan energi untuk berbuat sesuatu. Misalnya, ketika mendengar ada tetangga yang lapar dan kemudian memaknainya sebagai bentuk pesan baik dari Tuhan berbentuk peluang untuk berbuat kebaikan, maka hal ini akan mendorong inisiatif untuk mengatasi kelaparan yang sedang melanda sang tetangga. Begitu pula ketika kita diperlihatkan sebuah kecelakaan lalu lintas dan memaknainya sebagai peluang kebaikan, maka hal ini akan mendorong untuk langsung memberikan pertolongan. Demikian seterusnya dimana intinya adalah pola pemaknaan segala hal yang datang ke hidup kita akan mempengaruhi sikap dan tindakan kita berikutnya.




D. Beberapa Catatan Kecil Seputar Kesalehan Sosial

Nilai-nilai kebaikan dan semakin tingginya kemuliaan dipandangan Allah SWT menjadi sumber motivasi dalam menumbuhkembangkan kesalehan sosial  bagi setiap pribadi. Ada beberapa catatan kecil seputar kesalehan sosial yang mungkin layak diertimbangkan :

1.      Sisi Edukatif dari Tindakan Sosial. Bersedekah materi pada seseorang adalah sangat baik bagi si pemberi, tetapi bisa berdampak buruk bagi si penerima. Beberapa kasus menunjukkan sedekah materi yang dilakukan oleh orang-orang baik telah melemahkan semangat si penerima untuk membentuk kemandiriannya. Akibatnya, si penerima tidak hanya terjebak pada kemiskinan materi tetapi juga tergiring pada kemiskinan mental.  Oleh karena itu, akan lebih bijaksana untuk mengkombinasi pemberian dengan edukasi, sehingga sang penerima terketuk hatinya untuk melawan kemiskinannya dengan mengerahkan segenap fikiran dan tenaganya. Bahkan akan menjadi luar biasa ketika si penerima juga membangun mimpi untuk bisa memberi di suatu waktu.

2.   Berorientasi pada pemberdayaan. Kesalehan sosial semacam ini bisa membentuk sesuatu yang belum ada menjadi ada melalui penyelesaian persoalan secara komprehensif. Sebagai contoh kasus, banyak pengrajin gula kelapa terjebak pada rentenir. Pertanyaannya adalah apakah keterjebakan itu karena efektivitas strategi rentenir, ataukah karena mindset para pengrajin gula kelapa yang keliru sehingga terjebak lebih dalam lagi dengan para rentenir itu?. Disinilah pola kepedulian memerlukan  formulasi yang memberdayakan dan tidak hanya menyelesaikan persoalan jangka pendek saja, tetapi juga persoalan-persoalan jangka panjang dimana terbentuk kemandirian dari obyek-obyek yang di tolong.

3. Menginspirasi dan motivasional. Persoalan-persoalan sosial begitu banyak sehingga diperlukan lebih banyak insan melakukan hal serupa. Artinya, semakin banyak insan yang berbuat kebaikan akan semakin cepat persoalan-persoalan sosial  terselesaikan. Oleh karena itu, pola-pola kesalehan sosial yang dilakukan sebaiknya bisa menginspirasi dan memotivasi lebih banyak orang lagi untuk mengembangkan kepedulian. “Pola syiar tanpa ria didalamnya” atas kesalehan-kesalaehan sosial yang dilakukan perlu dikabarkan secara efektif sehingga melahirkan keinginan untuk bergabung. Ruang-ruang kepedulian harus terbangun sebanyak mungkin sehingga tidak satupun dari anggota masyarakat  merasa sendirian dalam kesusahannya.

4.      dsb




E. Peringatan Sebagai Inspirasi

Dalam Q.S. Al Ma’un dijelaskan tentang tindakan-tindakan yang mendustakan agama, yaitu :

1.      Menghardik anak yatim

2.     Tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

3.     Celaka bagi orang-orang  yang lalai dalam sholatnya.

4.     Ria.

5.     Enggan menolong dengan barang yang berguna. 



Q.S. Al Ma’un ini mengandung beberapa pesan bijak kuhususnya yang berkaitan dengan kepedulian kepada anak yatim, orang miskin dan suka menolong. Sementara itu, dipesankan secara tegas ragam kepedulian yang dilakukan haruslah atas dasar ikhlas dalam arti semata-mata karena Allah SWT dan menjauhkan dari ria seperti pengakuan atau penghormatan dari manusia lainnya.




F. Penghujung

Semua berawal dari keimanan yang kemudian mendorong kemauan dan kesadaran setiap orang untuk mengambil inisiatif membentuk kesalehan sosial dalam dirinya. Menyadari bahwa segala sesuatunya dari Allah SWT dan kembalinya juga kepada Allah SWT, seharusnya mampu meningkatkan keinginan kuat untuk terus memperluas ibadah yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT ,  termasuk dalam konteks menterjemahkan segala kebendaan dan ke-bisa-an yang dititipkan Allah SWT kepada setiap manusia. Disamping itu, selalu berada di lingkungan yang sarat dengan kepedulian efektif mempercepat tumbuh kembangnya kepedulian itu sendiri dalam diri setiap manusia.



Demikian disampaikan sebagai sebuah pemantik dalam diskusi seputar kesalehan sosial. Semoga majelis ini akan meningkatkan keimanan kita dan juga mempetinggi nilai dihadapan Sang Khalik. Amin Ya Robbal ‘Alamin. 


lampiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.