BELAJAR BERSAMA
“MENDALAMI KESALEHAN SOSIAL”
A. Prolog

Oleh karena
itu, saya mengingatkan kepada segenap anggota majelis untuk mencermati hal-hal
yang tersampaikan dalam tulisan ini maupun dalam proses penyampaian secara
lisan, dengan demikian setiap orang memiliki keyakinan yang cukup dan tidak
terjebak pada taqlid (ikut-ikutan) dalam melakukan segala bentuk ibadah.
Alhamdulillah, pada majelis ini juga akan dihadiri guru dan sekaligus
pembimbing majelis yaitu Gus Imam Ma’rif
(Pengasuh Ponpes Nurul Huda Langgonsari Cilongok). Disamping membimbing kita
semua dalam belajar agama islam, kehadiran beliau juga bisa memperkuat atau mengoreksi
sekiranya ada hal-hal yang kurang tepat atau keliru baik dalam tulisan ini
maupun saat penyampaian.
B. Men-maknai Kesalehan.
Kesalehan bisa
dimaknai sebagai bentuk ketaatan/kesungguhan dalam menjalankan ajaran Islam
secara utuh. Kesalehan akan membimbing individu senantiasa menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Insan-insan yang saleh akan menjadikan keimanannnya
sebagai pemandu dalam segala fikiran, ucapan dan tindakannya. Dalam banyak bahasan tentang kesalehan, ada 3
(tiga) istilah yang selalu mengemuka yaitu : (i) kesalehan spiritual; (ii)
kesalehan sosial dan; (iii) kesalehan alam. 3 (tiga) hal ini merupakan satu
kesatuan yang idealnya ter-integrasi dalam diri setiap muslim/muslimah. Dalam
pemaknaannya, kesalehan spiritual digambarkan sebagai aktivitas-aktivitas yang bersifat
individul dan mempertinggi kualitas hubungan seorang hamba dengan Sang Khalik,
seperti sholat, puasa, zikir dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kesalehan
spiritual sering dikaitkan dengan Hablummninallah (hubungan hamba dengan
Allah). Sementara itu, kesalehan sosial biasanya dikaitkan dengan tindakan
sosial yang berhubungan dengan manusia lainnya. Hal ini pula yang kemudian bisa
dikaitkan dengan istilah Hablumminannas (hubungan antar manusia). Sementara
itu, kesalehan alam berkaitan dengan segala kebijaksanaan dalam memanfaatkan,
menjaga, memelihara, melestarikan dan memakmurkan alam sehingga tidak terjadi
kerusakan dan akibat lainnya yang melahirkan persoalan serius seperti polusi, kegundulan hutan, banjir,
longsor dan lain sebagainya.
Ketiga
kesalehan ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan, mempengaruhi satu
sama lain dan tidak terpisahkan. Kesalehan spiritual seharusnya men-stimulan
lahirnya kesalehan sosial dan juga kesalehan alam. Kalau kemudian ada yang
terlalu fokus dengan satu kesalehan saja, maka kesempurnaannya dalam ber-islam
masih dalam tanya. Sebagai contoh, seorang individu, yang memiliki kesalehan
spiritual yang baik dan rajin melaksanakan sholat, namun masih suka menggunjing
dan atau mencari-cari kelemahan orang
lain, maka ke-khusu’an sholatnya dalam
tanda tanya besar. Sebab, sholat itu pada dasarnya mencegah perbuatan keji dan
mungkar (Q.S. Al-Ankabut : 45). Demikian juga bila orang yang rajin puasa
tetapi tidak memiliki kepekaan sosial dan kepedulian terhadap fakir miskin dan
kaum dhuafa, maka bisa jadi puasa orang itu hanya sekedar menahan dahaga dan
lapar sehingga puasa belum berhasil membentuk pribadinya menjadi lebih responsif terhadap
persoalan-persoalan disekitarnya. Demikian pula pada mereka yang memiliki kesalehan
spiritual seharusnya lebih bijak untuk berlaku terhadap alam. Dalam contoh
kecil saja, seorang yang memiliki kesalehan spiritual yang baik tidak akan
membuang sampah di sungai sembarangan karena hal itu berpotensi menyebabkan terjadinya
banjir.
Penjelasan
diatas juga menjadi salah satu penegas bahwa
islam itu agama yang mendatangkan
rahmat bagi sekalian alam beserta isinya (rahmatan lil ’alamin). Ada
pertanyaan menarik mengapa bukan rahmat bagi kamu muslim saja (rahmatan lil
muslimin)?. Disinilah letak kebijaksanaan dan keluasan Islam yang tidak hanya mengatur tentang bagaimana
hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga menuntun bagaimana seorang muslim
berinteraksi dengan manusia lainnya secara harmonis dan bagaimana manusia seharusnya
bersikap bijak terhadap alam beserta isinya.
C. Lebih Dalam membahas kesalehan
sosial
Sebagaimana
dijelaskan pada bahasan sub tema sebelumnya, kesalehan sosial berhubungan
dengan kepedulian terhadap manusia lainnya. Kepedulian yang dimaksud tidaklah
sebatas memberikan bantuan materi
semacam sumbangan, tetapi juga menyangkut tentang sikap bijaksana, suka
menolong, empati, berbagi ilmu untuk saling mencerdaskan, concern pada persoalan
ummat dan lain sebagainya. Kesemuanya itu terangkum dalam spirit mempeluas
kebermanfaatan diri terhadap manusia
lainnya. Oleh karena itu, kesalehan sosial perlu dipupuk dan dikembangkan agar
seorang muslim tidak terjebak dengan ke egois an dan asik dengan dirinya
sendiri.
Berbicara
tentang kepedulian sebagai kata kunci dari “kesalehan sosial”, hal
ini sesungguhnya dipengaruhi oleh kondisi keimanan seseorang. Sebab, keimanan itu mencakup 3
(tiga) hal, yaitu membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan
mewujudkannya dalam perbuatan/tindakan. Oleh karena itu, ketika seseorang
meng-imani Alqur’an (sebagai salah satu dari enam rukun iman, yaitu beriman
kepada ktab-kitab Allah SWT), maka seharusnya isi Al-qur’an itu menjadi pedoman
atau tuntunan dalam keseharian hidupnya. Sebagai contoh, ketika satu ayat
memerintahkan untuk peduli terhadap anak yatim dan bersedekah harta dijalan
yang baik, maka seharusnya keimanan ayat ini diwujudkan sampai ketingkat
tindakan nyata dan dilakukan dengan ikhlas serta hanya berharap ridho Allah
SWT. Jadi, keimanan seharusnya menjadi
dasar dalam menumbuhkembangkan kesalehan sosial.
Kaitannya
dengan menumbuhkembangkan kesalehan sosial, berikut ini dijabarkan beberapa hal
yang sekiranya menjadi stimulan atau penyemangat, yaitu :
1.
Memaknai tujuan Keterciptaan
Manusia. Keterciptaan manusia dan jin hanyalah untuk ber-ibadah
kepada Nya (Q.S. Adz
Dzaariyaat:56). Ibadah dalam hal ini tidak hanya dalam bentuk ritual seperti
sholat, puasa, zakat, haji, zikir dan
lain sebagainya, tetapi juga menyangkut tentang segala tindakan baik yang membantu
mendekatkan seorang hamba pada Sang Khaliq, termasuk kesalehan sosial di
dalamnya. Ketika hal ini disadari dan diyakini dengan sesungguhnya, maka
seharusnya segala tindakan yang dilakukan dalam hidup hanyalah hal-hal yang
termasuk dalam kategori ibadah, mulai dari membangun hubungan dengan Allah SWT
(Hablumminannas) , membangun kehidupan pribadi dan keluarga, membangun hubungan
harmonis dengan manusia lainnya (Hablumminannas) dan termasuk membangun hubungan bijak dengan
alam beserta isinya. Satu hal yang menjadi catatan, kesalehan sosial akan masuk dalam kategori ibadah apabila
dilakukan dengan ikhlas (semata-mata karena mengharap ridho Allah) dan sesuai
dengan syari’at (aturan yang berlaku dalam islam). Bila kesalehan sosial sudah
difahami sebagai bagian dari ibadah, maka menumbuhkembangkan kesalehan sosial
akan dirasa menjadi satu bagian yang harus diltumbuhkembangkan dalam keseharian
hidup dari setiap diri seorang muslim/muslimah.
2.
Mebangun Ketauladanan. membentuk kesalehan sosial seharusnya diawali dari semangat ketauladananan,
sebab ketauladanan merupakan salah satu cara efektif untuk mengembangkan
kepedulian sosial. Pribadi yang rendah hati akan membuat pengajaran tentang
kerendahan hati lebih efektif. Pribadi yang suka berbagi akan lebih memudahkan
mengajak orang lain untuk berbuat sama. Pribadi yang suka cinta damai akan
lebih mudah dalam menengahi pertikaian. Pribadi yang menyukai hidup bersih akan
mempemudah untuk mengajak orang lain untuk mencintai kebersihan lingkungan.
Pribadi yang peduli pada orang lain akan mempermudah untuk mengajak orang lain
mengembangkan kepedulian. Pribadi yang tidak suka menghardik orang lain akan
mempermudah untuk mengingatkan orang lain yang suka bergunjing atau ghibah.
Intinya, kesalehan sosial akan menjadi mudah untuk dikembangkan bila seseorang
sudah memulai dari dirinya sendiri. Ini memerlukan komitmen kuat dan
pembelajaran yang terus menerus.
3.
Belajar Mengambil
Inisiatif memikirkan orang lain secara bertahap dan berkesinambungan. Mengambil inisiatif memikirkan orang lain hanya bisa lahir dari pribadi
yang suka berbagi dan memiliki kepedulian, baik dalam bentuk materi maupun
immateril. Pribadi yang suka berbagi adalah pribadi yang memaknai apa yang ada
pada dirinya hanyalah titipan Allah SWT dan harus dimanfaatkan ke dalam tindakan-tindakan
bijak dan mendatangkan kemanfaatan luas bagi diri dan juga lingkungannya.
Pribadi yang peduli juga adalah pribadi yang meng-imani bahwa berbuat baik
adalah sebuah kemuliaan dipandangan Allah SWT. Pribadi semacam itu meyakini
bahwa Allah SWT sebagai penghitung yang maha adil, dimana sebiji zarroh
kebaikanpun akan berbalas. Artinya, tidak satu pun kebaikan akan luput dari
penilaian Allah SWT , termasuk mengambil inisiatif untuk memikirkan orang
lain.
4.
Belajar berfikir terbalik. Dalam tulisan ini
mencoba mengajak segenap majelis untuk belajar berfikir terbalik dalam beberapa
hal, antara lain :
- Yang memberi berterima kasih pada yang menerima. Dalam kehidupan nyata, biasanya yang diberi berterima kasih kepada yang menerima. Mungkin ada baiknya, pemikiran ini mulai dibalik dimana yang memberi yang berterima kasih kepada yang menerima. Setidaknya ada beberapa alasan yang pantas untuk mencobanya:
- andai tidak ada yang berkenan menerima kebaikan yang anda lakukan, bukankah ini sebuah persoalan dalam menunaikan sebuah kebaikan?.
- cara baca ini sebagai bagian dari upaya menghilangkan “ria” dalam melakukan sebuah kebaikan.
- Tidak merasa hebat, karena berbuat baik adalah kebutuhan. Beberapa penjelasan dibawah ini mungkin bisa membantu untuk memahaminya:
- Membantu sama dengan menolong diri sendiri. Tanpa disadari, terkadang kita terjebak dalam perasaan hebat ketika melakukan sesuatu yang baik terhadap orang lain, seperti memberikan sedekah materi atau membantu menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi orang tersebut. Untuk memelihara sebuah kekikhlasan dalam berbuat baik, ada kalimat bijak yang menyerukan “sebaiknya tangan kiri tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanan”. Secara kasat mata mungkin saja dari apa yang diberikan bisa menyelesaikan persoalan orang tersebut . Akan tetapi, bukankah Allah SWT akan mempermudah urusan seorang hamba yang suka menyelesaikan kesulitan orang lain?. Kalau demikian, siapakah sesungguhnya yang membutuhkan pertolongan?. Semoga tanya ini bisa memantik fikiran untuk memandang berbuat baik pada orang lain sesungguhnya juga bermakna menolong diri sendiri. Kalau begitu, dimanakah hebatnya berbuat baik?. Bukankah hanya Allah yang maha penolong?.
- Memberi bermakna pelipat gandaan. Dalam Q.S. Al Baqarah :261 dijelaskan bahwa : Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Ayat ini menjelaskan adanya ganjaran berupa pelipatgandaan dan sekaligus menegaskan bahwa berbagi tidak sama dengan berkurang tetapi justru sama dengan bertambah. Kalau demikian adanya, siapakah sesungguhnya yang membutuhkan?. Apakah hanya si penerima ataukah juga si pemberi?.
5. Belajar memaknai
setiap hal yang datang dalam hidup. Hidup adalah perjalanan yang berisi ragam dinamika, terkadang
menyenangkan dan terkadang melelahkan. Kemampuan seseorang mengambil hikmah
positif atas segala sesuatunya akan melahirkan energi tersendiri untuk
melangkah berikutnya. Demikian juga berita-berita kesusahan atau kesedihan yang
di perdengarkan ke telinga atau diperlihatkan dihadapan kita. Ketika hal itu
dimaknai sebagai sesuatu yang harus disikapi dengan bijak, maka hal ini akan
melahirkan energi untuk berbuat sesuatu. Misalnya, ketika mendengar ada
tetangga yang lapar dan kemudian memaknainya sebagai bentuk pesan baik dari Tuhan
berbentuk peluang untuk berbuat kebaikan, maka hal ini akan mendorong inisiatif
untuk mengatasi kelaparan yang sedang melanda sang tetangga. Begitu pula ketika
kita diperlihatkan sebuah kecelakaan lalu lintas dan memaknainya sebagai
peluang kebaikan, maka hal ini akan mendorong untuk langsung memberikan
pertolongan. Demikian seterusnya dimana intinya adalah pola pemaknaan segala
hal yang datang ke hidup kita akan mempengaruhi sikap dan tindakan kita
berikutnya.
D. Beberapa Catatan Kecil Seputar Kesalehan Sosial
Nilai-nilai
kebaikan dan semakin tingginya kemuliaan dipandangan Allah SWT menjadi sumber
motivasi dalam menumbuhkembangkan kesalehan sosial bagi setiap pribadi. Ada beberapa catatan
kecil seputar kesalehan sosial yang mungkin layak diertimbangkan :
1.
Sisi Edukatif dari Tindakan
Sosial. Bersedekah materi pada seseorang adalah sangat baik
bagi si pemberi, tetapi bisa berdampak buruk bagi si penerima. Beberapa kasus
menunjukkan sedekah materi yang dilakukan oleh orang-orang baik telah
melemahkan semangat si penerima untuk membentuk kemandiriannya. Akibatnya, si
penerima tidak hanya terjebak pada kemiskinan materi tetapi juga tergiring pada
kemiskinan mental. Oleh karena itu, akan
lebih bijaksana untuk mengkombinasi pemberian dengan edukasi, sehingga sang
penerima terketuk hatinya untuk melawan kemiskinannya dengan mengerahkan
segenap fikiran dan tenaganya. Bahkan akan menjadi luar biasa ketika si
penerima juga membangun mimpi untuk bisa memberi di suatu waktu.
2.
Berorientasi pada
pemberdayaan. Kesalehan sosial semacam ini
bisa membentuk sesuatu yang belum ada menjadi ada melalui penyelesaian
persoalan secara komprehensif. Sebagai contoh kasus, banyak pengrajin gula
kelapa terjebak pada rentenir. Pertanyaannya adalah apakah keterjebakan itu
karena efektivitas strategi rentenir, ataukah karena mindset para pengrajin
gula kelapa yang keliru sehingga terjebak lebih dalam lagi dengan para rentenir
itu?. Disinilah pola kepedulian memerlukan
formulasi yang memberdayakan dan tidak hanya menyelesaikan persoalan
jangka pendek saja, tetapi juga persoalan-persoalan jangka panjang dimana
terbentuk kemandirian dari obyek-obyek yang di tolong.
3. Menginspirasi dan motivasional. Persoalan-persoalan sosial begitu banyak sehingga diperlukan lebih banyak
insan melakukan hal serupa. Artinya, semakin banyak insan yang berbuat kebaikan
akan semakin cepat persoalan-persoalan sosial
terselesaikan. Oleh karena itu, pola-pola kesalehan sosial yang
dilakukan sebaiknya bisa menginspirasi dan memotivasi lebih banyak orang lagi untuk
mengembangkan kepedulian. “Pola syiar tanpa ria didalamnya”
atas kesalehan-kesalaehan sosial yang dilakukan perlu dikabarkan secara efektif
sehingga melahirkan keinginan untuk bergabung. Ruang-ruang kepedulian harus
terbangun sebanyak mungkin sehingga tidak satupun dari anggota masyarakat merasa sendirian dalam kesusahannya.
4.
dsb
E. Peringatan Sebagai Inspirasi
Dalam Q.S. Al
Ma’un dijelaskan tentang tindakan-tindakan yang mendustakan agama, yaitu :
1.
Menghardik anak yatim
2. Tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin.
3.
Celaka bagi
orang-orang yang lalai dalam sholatnya.
4.
Ria.
5.
Enggan menolong dengan
barang yang berguna.
Q.S. Al Ma’un
ini mengandung beberapa pesan bijak kuhususnya yang berkaitan dengan kepedulian
kepada anak yatim, orang miskin dan suka menolong. Sementara itu, dipesankan
secara tegas ragam kepedulian yang dilakukan haruslah atas dasar ikhlas dalam
arti semata-mata karena Allah SWT dan menjauhkan dari ria seperti pengakuan
atau penghormatan dari manusia lainnya.
F. Penghujung
Semua berawal
dari keimanan yang kemudian mendorong kemauan dan kesadaran setiap orang untuk mengambil
inisiatif membentuk kesalehan sosial dalam dirinya. Menyadari bahwa segala
sesuatunya dari Allah SWT dan kembalinya juga kepada Allah SWT, seharusnya
mampu meningkatkan keinginan kuat untuk terus memperluas ibadah yang dilakukan
semata-mata karena Allah SWT , termasuk dalam
konteks menterjemahkan segala kebendaan dan ke-bisa-an yang dititipkan Allah
SWT kepada setiap manusia. Disamping itu, selalu berada di lingkungan yang
sarat dengan kepedulian efektif mempercepat tumbuh kembangnya kepedulian itu
sendiri dalam diri setiap manusia.
Demikian
disampaikan sebagai sebuah pemantik dalam diskusi seputar kesalehan sosial.
Semoga majelis ini akan meningkatkan keimanan kita dan juga mempetinggi nilai
dihadapan Sang Khalik. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
lampiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
.