BELAJAR
BERSAMA TENTANG KOPERASI
“MEMPERLUAS
MAKNA BERMODALKAN KESAMAAN PERSEPSI”
A. Pemulaan Bernada Tanya
Popularitas koperasi di
ingatan banyak orang sepertinya baru sebatas “kata”, belum pada “kekaryaan” dalam makna senyatanya. Hal
ini mungkin dikarenakan masih jarangnya karya koperasi yang masuk dalam
kategori spektakuler atau belum tergeraknya insan
berstatus anggota koperasi menjadi agen yang mengkampanyekan nilai-nilai
kebaikan dan kemanfaatan berkoperasi yang dia rasakan kepada insan lainnya sehingga
menumbuhkan gairah . Sikap apatis
anggota semacam ini cukup memprihatiankan walau mungkin saja hal ini sebagai
ekspresi atas akumulasi kegalauan berjaraknya keseharian koperasi dengan anggotanya.
Kemungkinan-kemungkinan itu
menarik dijadikan bahan telaah dan diskusi untuk mendapati kesimpulan yang
sahih. Hasil penelusuran ini juga layak menjadi referensi dalam tahap me-reformula pola pengembangan koperasi, baik
dari aspek semangat maupun manajemen organisasi dan perusahaan koperasi.
Hasil re-formula tersebut selanjutnya menjadi guide line dalam membentuk
perwajahan
baru yang lebih berpengharapan bagi segenap stake holder.
B. Sekilas Menilik Defenisi
Defenisi koperasi versi Induk
Koperasi Dunia (ICA/International Koperasi adalah kumpulan orang yang otonom untuk memenuhi aspirasi
dan kebutuhan ekonomi sosial budaya melalui perusahaan yang mereka
miliki bersama dan kendalikan secara demokratis.
Ada beberapa catatan penting
dari defenisi ini, yaitu :
1.
Koperasi adalah kumpulan orang yang otonom. Hal ini juga penegasan koperasi
bukanlah kumpulan uang/modal.
2.
Koperasi lahir untuk memenuhi
aspirasi dan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya anggotanya.
3.
Perusahaan, yang mereka miliki
bersama dan kendalikan secara demokratis, adalah alat/media untuk mencapai
tujuan koperasi.
Sebagai kumpulan orang, yang
terlahir dari sejarah dan karakter yang beragam, koperasi selalu menjadikan
“semangat kebersamaan” menjadi pemersatu perbedaan. Dalam hal ini, keberagaman
tidak dipandang sebagai sebuah hambatan, tetapi sebagai potensi yang akan
mempertinggi nilai-nilai dan kebermanfaatn dari kebersamaan itu sendiri. Dalam
semangat kebersamaan, setiap orang dipandang memiliki potensi sehingga kumpulan
orang difahami sebagai kumpulan potensi. Dalam cara baca semacam ini, kebersamaan
dimaknai sebagai bagian dari upaya memperkuat diri dan saling melengkapi.
Kebersamaan pun harus melahirkan produktifitas sehingga setiap orang didalamnya
bisa merasakan manfaat menjadi bagian dari barisan koperasi.
Keterpenuhan aspirasi ekonomi sosial
dan budaya, yang merupakan tujuan pendirian, menjadikan koperasi sebagai sebuah
kumpulan berdimensi juang luas dan
memiliki posisi penting dalam kehidupan anggotanya. Dalam perjuangannya yang
berazaskan kekeluargaan, koperasi melakukan penyatuan potensi untuk
memberdayakan dirinya secara kolektif dimana anggota berposisi sebagai subyek
dan obyek pembangunan koperasi itu sendiri.
Dalam menjaga semangat
kekeluargaan dan kebersamaan, koperasi mengarusutamakan aspirasi sebagai penentu
arah. Atas dasar itu, mengingat bahwa kualitas
aspirasi akan menjadi sangat menentukan maka diperlukan upaya-upaya
konstruktif dalam membangun kualitas dari orang-orang yang terlibat dalam
koperasi. Artinya, koperasi harus mencerdaskan anggotanya sehingga akan
terbentuk aspirasi brilian yang akan membawa koperasi pada kemampuan membentuk
kebermanfaatan secara bertahap dan berkesinambungan bagi seluruh anggotanya.
Dengan demikian, tidak terlalu berlebihan ketika berkesimpulan bahwa kebesaran
koperasi sangat ditentukan oleh kecerdasan dari segenap anggotanya.
Cara baca ini pula yang kemudian membentuk pembacaan bahwa fokus perjuangan
koperasi adalah membangun
manusia-manusia di dalamnya dan menempatkan pertumbuhan atau perkembangan perusahaan
adalah imbas dan bukan tujuan. Hal senada juga terlihat dari defenisinya
dimana perusahaan diposisikan sebagai media atau sarana bagi perwujudan segala
dinamika aspirasi dan kebutuhan yang berkembang.
C. Pendidikan sebagai muasal keterlahiran
gairah
Dalam terjemahan bebas, koperasi
merupakan kumpulan orang yang berkomitmen untuk berbahagia melalui upaya bersama.
Untuk tujuan itu, mereka melakukan penyatuan potensi sumber daya atas setiap aktivitas
yang dislenggarakan koperasi, Mereka pun berbagi peran secara proporsional sehingga terbentuk irama kolektivitas yang ciamik . Demkian
seterusnya dan konsistensi kebersamaan semacam itu akan membentuk
capaian-capaian baru secara bertahap dan berkesinambungan yang akan mempetinggi
nilai kebermanfaatan yang bisa dirasakan anggota.
Persepsi atas koperasi
sebagaimana dijelaskan pada alinea sebelumnya perlu disosialisasikan dan di
edukasikan pada setiap anggota, sehingga terbentuk persepsi sama dari setiap
orang yang akan bergabung dalam koperasi. Hal ini sangat penting, sebab
kesamaan persepsi adalah muasal keberpihakan yang beimbas
pada kesadaran
untuk mengambil inisiatif dan tanggungjawab ikut membesarkan organisasi dan
perusahaan koperasi. Pada titik ini, banyak koperasi yang luput. Kepesertaan
individu menjadi bagian koperasi lebih menekankan pada kemampuan seseorang
dalam memenuhi persyaratan administratif, sementara persepsi tidak dibentuk dan
ekspekstasi (harapan) dibiarkan meliar. Akibatnya, anggota cenderung egois
dan berdiri diatas kepentingannya danbahkan kurang peduli dengan kebutuhan anggota
lainnya. Tak pelak, amarah sering mengemuka saat apa yang dibutuhkannya belum
bisa dipenuhi koperasi. Dalam bahasa lain, anggota memposisikan kopererasi
seperti sinterklas tanpa peduli bagaimana perusahaan koperasi membangun
kemampuannya dalam melayani segala kebutuhan anggota. Semua itu berawal dari
kebelumfahaman tentang apa, mengapa dan bagaimana seharusnya berkoperasi.
Oleh karena itu,
penyelenggaraan pendidikan dalam koperasi menjadi satu kebutuhan bila ingin
tumbuh dan berkembang. Pendidikan perkoperasian tidak hanya sebatas pembentukan
penyamaan persepsi dan rasionalitas ekspektasi
(baca : harapan), tetapi juga merupakan
gerbang
strategis dalam membangun mimpi
jauh yang diikuti dengan semangat semua orang untuk
bersama-sama dalam mewujudkannnya.
D. Mengenal 3 (Tiga) Tahap Kebersamaan Yang Berulang

1.
Kebersamaan dalam menyusun rencana
dan format distribusi peran. Pada tahap ini, segenap unsur
organisasi duduk bersama menyusun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan
mendasarkan diri pada keinginan dan segala potensi sumber daya yang mungkin
untuk dioprimalkan. Setelah tujuan sudah terumuskan, selanjutnya dirumuskan
distribusi peran efektif diantara pengurus, pengawas dan anggota.
2.
Kebersamaan dalam mewujudkannya.
Pada tahap ini, semua orang bergerak sesuai dengan porsinya masing-masing
sebagaimana terumuskan dalam tahap pertama. Inilah yang kemudian mencirikan
koperasi sebagai institusi pemberdayaan dimana setiap orang memiliki tanggungjawab atas ketercapaian
tujuan. Dalam tahap ini berlaku prinsip diam akan menjadi beban bagi lainnya.
3.
Kebersamaan dalam melakukan auto
koreksi berjama’ah. Tahap ini adalah momen dimana segenap unsur
organisasi duduk bersama dalam menilik pencapaian. Apapun capaiannya harus
dibaca sebagai hasil kolektif dan refresentasi dari kualitas kebersamaan yang
terbangun. Dengan demikian, sesi evaluasi berlangsung dalam
semangat auto koreksi berjama’ah. Dari sesi evalusi diharapkan akan
menghasilkan beberapa hal antara lain; (i) terdeteksinya musabab atas
deviasi/penyimpangan dari apa yang direncanakan sebelumnya; (ii) terumuskannya
solusi; (iii) terakomodirnya gagasan-gagasan baru dan; (iv) terbangunnnya
semangat dan kesadaran baru sebagai modal untuk meng-akselerasi perluasan
kebermanfaatan koperasi.
Tiga tahapan ini akan berjalan
efektif bila semua insan koperasi sudah dalam kondisi terdidik dalam arti semua
orang memiliki persepsi yang sama dan ekspektasi yang rasional. Jika tidak,
maka hal ini berpotensi menimbulkan kekisruhan yang berakibat rusaknya
stabilitas iklim organisasi.
E. Azas Subsisdiary Sebagai Inspirasi Perumusan Aktivitas Perusahaan
Sebagaimana dijelaskan diatas,
“perusahaan koperasi” berposisi sebagai media untuk mememenuhi aspirasi dan
kebutuhan anggotanya. Atas dasar itu, dalam merumuskan aktivitas yang akan
dijalankan perusahaan koperasi, dikenal kode etik yang disebut azas
subsidiary.
Dalam azas subsidisary ditegaskan bahwa;
1.
apa-apa yang bisa dikerjakan anggota
sebaiknya tidak dikerjakan koperasi dan;
2.
(ii) apa-apa yang tidak bisa dikerjakan
anggota, maka itulah sebaiknya yang sebaiknya dikerjakan koperasi.
Azas ini menandaskan hal-hal
sebagai berikut :
1.
aktivitas yang dijalankan oleh
koperasi akan berfungsi sebagai menjadi mesin penjawab kebutuhan para
anggotanya.
2.
Aktivitas yang dijalankan oleh
koperasi tidak akan pernah bersaing dengan anggotanya.
3.
akan terbentuk ikatan emosional yang
kuat antara koperasi dan anggotanya, sebab setiap anggota bisa merasakan
langsung manfaat dari aktivitas-aktivitas yang dijalankan perusahaan koperasi.
Dalam prakteknya, banyak
koperasi yang luput dengan azas ini. Hal ini terutama diakibatkan oleh mindset
pertumbuhan uang/modal, sehingga koperasi cenderung bergerak atas dasar peluang
usaha yang diyakini memiliki potensi keuntungan tinggi sehingga abai dengan
filosopi keberadaannya sebagai mesin penjawab kebutuhan anggota. Hal ini pula
yang kemudian mengakibatkan koperasi tak ubahnya perusahaan non-koperasi dan
hubungan yang terbentuk diantara koperasi dan anggotanya seperti hubungan
pemodal dan perusahaan. Artinya, anggota sebagai pemodal dan juga pengguna
jasa tidak lagi mewujud di dalam
keseharian perusahaan koperasi. Inilah musabab berjaraknya anggota dengan
koperasi yang notabene adalah perusahaannya sendiri. Dalam kondisi demikian,
koperasi telah gagal memerankan diri sebagai sebuah institusi
pemberdayaan.
F. Sekelumit Mimpi Yang Mencerdaskan
Untuk meningkatkan pemahaman
dan sekaligus menumbuhkan gairah berkoperasi, berikut disajikan beberapa cerita
singkat yang mungkin bisa menginspirasi gagasan :
1.
Dalam diskusi beberapa petinggi KUD
ada fakta menarik dimana banyak petani
yang menjual padi nya kepada tengkulak saat padi baru akan menguning. Setelah
dilakukan penelusuran ternyata faktor penyebabnya adalah karena petani membutuhkan uang cepat
untuk membiayai kelanjutan hidupnya. Atas kondisi ini, petani berstatus pemilik
lahan seolah menjadi pekerja bagi tengkulak tersebut. Rasa kesetiakawanan telah
membawa mereka pada pembicaraan serius untuk mencari solusi integratif
atas permasalahan para petani tersebut yang mayoritas juga merupakan anggota
KUD. Di akhir diskusi, tersepakati
melakukan beberapa hal baik bersama-sama, maupun dilakukan oleh
masing-masing KUD yaitu :
a.
mengintensifikan toko saprotan
(sarana produksi pertanian) dengan sistem pengelolaan profesional;
b.
menjadikan KUD sebagai pilihan utama
menjual gabahnya dengan menawarkan harga yang lebih layak;
c.
meng-intensifkan simpan pinjam.
Disamping menumbuhkan semangat untuk menabung, juga diselenggarakan pinjaman
yang diberikan kepada anggota untuk mendukung pengadaan saprotan
d.
menyelenggarakan “rice
mill” baik yang kelilingan maupun yang standby di tempat;
e.
secara bersama-sama menjalin
kemitraan dengan koperasi lainnya dalam hal pemasaran beras.
Setalah
dilakukan upaya-upaya tersebut, KUD-KUD tersebut kemudian menjelma menjadi satu
kekuatan yang sangat berpengaruh, khususnya dalam hal ketahanan pangan. Di sisi
lain, kesejahteraan petani dalam arti
luas meningkat tajam.
2.
Suatu ketika, seorang yang kebetulan
berprofesi PNS merasa “ jengkel sendiri” saat berjalan-jalan di sebuah tempat
perbelanjaan modern. Hal ini dikarenakan dia melihat label harga baju yang sama
dengan yang dipakainya ternyata jauh lebih murah dibanding dengan di
kota asalnya. Pada akhirnya, kejengkelan itu
menginspirasinya untuk berfikir bijak dengan mengambil kesimpulan bahwa
setiap toko memilki strategi harga berbeda-beda. Persoalan baru muncul saat satu
tanya hadir di kepalanya. “mengapa
dia menjadi obyek dari strategi ini?”. Di akhir lamunannya, dia berfikir hal ini
bisa di selesaikan dengan cara bijak yaitu mengkomunikasikannya dengan koperasi
yang kebetulan dia berstatus sebagai anggota. Ternyata komunikasi ini
membuahkan hasil dan kemudian membentuk komitmen di segenap unsur organisasi
untuk membangun unit layanan berbentuk “toko khusus fashion” yang di kelola
dengan cara modern. Sejak saat itu, segenap anggota selalu mentransaksikan
kebutuhan fashion nya di koperasi dengan harga yang lebih murah.
3.
Sekelompok mahasiswa/i sebuah
universitas berlatar ekonomi setara (pas-pasan) berkumpul untuk mencari cara mengingkatkan “pendapatan
riil” dari uang saku mereka yang
tergolong pas-pasan. Ter-ide membuat dapur umum sebagai strategi untuk
memastikan bisa makan 3 (tiga) kali sehari. Kemudian mereka berinisiatif membawa peralatan makan (gelas, piring, sendok
dan garpu) dari rumahnya masing-masing. Selanjutnya, mereka mengumpulkan
sebagian dari uang saku mereka untuk membeli peralatan masak dan juga mengangkat seorang “staf rumah tangga” yang
bertugas “belanja dan sekaligus memasak”. Cara ini sukses menjamin mereka
bisa makan 3 (tiga) kali sehari secara teratur.
Hidup mereka juga menjadi lebih sehat di perantauan. Ternyata,
kebersamaan tak sampai di situ, mereka mulai berfikir bagaimana seandainya
mereka urunan/iuran lagi dan bulan ketiga mereka sukses membeli “mesin
cuci” sehingga mereka mencuci tidak lagi dengan cara manual
seperti sebelumnya . Setahun kemudian
“cara hidup mereka” ini tercium oleh temen-temen lainnya dan kemudian
menyatakan minat bergabung . Setelah musyawarah internal, akhirnya diambil
keputusan untuk menerima teman-teman yang berniat bergabung itu dengan catatan
“sepakat
dan siap” dengan prinsip dan
aturan yang ada. Disamping itu, mereka “mewajibkan”
setiap calon anggota mengikuti agenda “sosialisasi dan edukasi”
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang diperjuangkan kelompok mahasiswa tersebut.
Akhirnya kian hari kian banyak yang bergabung dan tanpa di sadari anggota
mereka sudah berjumlah besar. Awalnya hanya sekedar “dapur umum”, mereka
tingkatkan menjadi sebentuk “warung
makan”. Bagi anggota kelompok dipastikan gratis karena sudah membayar
iuran bulanan dan bagi mereka berstatus non- anggota diperlakukan sebagai
konsumen umum dan harus bayar sesuai harga standar yang ditetapkan. Demikian
halnya dengan mesin cuci jumlahnya menjadi lebih banyak sehingga akhirnya mereka pun membuat usaha
laundry dengan menggunakan prinsip yang sama dengan “warung
makan”. Tak lama berselang, akhirnya mereka mempunyai unit layanan fhoto copy , pulsa centre dan rental komputer sekaligus warnet.
Semua menggunakan prinsip pengelolaan yang sama, yaitu “perlakuan khusus pada anggota”.
4.
Sekelompok pengrajin tahu
yang juga berprofesi sebagai petani bersepakat merubah cara mereka berbelanja bahan baku.
Kalau tadinya mereka membeli sendiri-sendiri, mereka ingin mengubahnya dengan
cara membeli bersama-sama (join buying) dengan harapan : (i)
harga akan menjadi lebih murah karena membeli dalam skala lebih besar; (ii)
waktu menjadi lebih efisien karena dilakukan pembagian tugas belanja secara
bergantian. Atas langkah ini, bagi mereka yang kebetulan tidak sedang bertugas
untuk berbelanja bisa memnaftaakan waktu
untuk menggarap lahan sawahnya. Selanjutnya, agenda “belanja bersama” ini
menginspirasi mereka untuk menyeragamkan harga jual, sehingga tidak ada lagi
bersaing untuk saling mengalahkan, tetapi bersatu untuk saling memperkuat.
5.
Berawal dari keinginan memajukan
ekonomi pedesaaan, disebuah desa
dilakukan musyawarah yang berujung lahirnya kesepakatan membentuk sebuah lembaga keuangan. Mereka berkomitmen tidak akan merambah pada
unit layanan yang sudah di kerjakan oleh anggotanya, seperti warung, produksi
jajanan kecil, usaha bakso, mie ayam dan lain sebagainya. Tujuan dasar dari
pembentukan lembaga keuangan ini adalah :
a.
mengajak masyarakat untuk membiasakan hidup sederhana dan
membangun kebiasaan untuk menabung;
b.
mendorong terfasilitasinya bakat-bakat kewirausahaan di lingkungan
pedesaan;
c.
memberi pinjaman kepada anggota dengan
tingkat jasa/margin sebesar 0,2% yang
diperuntukkan mendukung biaya operasional pengelolaan dan pengembangan lembaga
keuangan tersebut.
Satu hal yang
menjadi catatan, setiap kali anggota meminjam, pengelola memastikan bahwa
pinjaman tersebut hanya untuk kepentingan produktif dan atau benar-benar
kepentingan mendesak (sebuah keadaan yang tidak di duga sebelumnya). Segenap perangkat desa sampai RT disarankan
untuk terus mengkampanyekan semangat menabung dan semangat berwirausaha.
Beberapa waktu kemudian, desa itu begitu maju dan guyub. Semangat
kegotongroyongannya begitu kental dan desa itu jauh dari kejadian-kejadian yang
meresahkan masyarakat.
6.
Di sebuah kabupaten terdapat 75 (tujuh puluh lima ) koperasi yang berhasil
mengembangkan “semangat menabung” di koperasi nya masing-masing, sehingga
memunculkan surplus kas (idle cash) dengan rata-rata Rp 1 M
per koperasi. Atas keberhasilan itu, kemudian mereka berfikir untuk membangun
kemitraan dengan mendirikan sebuah “supermarket”. Setelah melakukan
komunikasi kepada anggota masing-masing koperasi, akhirnya mereka memutuskan
untuk merealisasikan gagasan tersebut. Menyadari akan keterbatasan dalam
pengetahuan dan pengalaman pengelolaan “supermarket”, kemudian mereka merekrut
para expertis (ahli) yang bertugas mengelola supermarket tersebut. Setahun
kemudian, supermarket itu berdiri megah dan di pintu masuk terpampang dengan
gagah tulisan “SELAMAT BERBELANJA DI PERUSAHAAN MILIK ANDA SENDIRI”.
Supermarket ini memberikan perlakuan khusus pada anggotanya, yaitu menerapkan
harga unik dimana besarnya margin nya diserahkan sepenuhnya
kepada anggota. Untuk pelanggan yang
bukan berstatus sebagai anggota di berlakukan harga sesuai label. Selanjutnya, supermarket ini juga diperluas kemanfaatannya
untuk “tempat menerima tabungan”
anggota. Atas kebijakan ini, apabila seorang anggota ingin menabungkan sisa
kembalian belanjanya (walau hanya Rp 300,oo) juga di layani. Hal yang sungguh aneh lagi di setiap kasir
supermarket itu tertulis pesan aneh :
(i) “belanjalah
secukupnnya” dan ; (ii) “gunakan uang anda dengan bijaksana”.
Tulisan ini tampak berlawanan dengan spirit pertumbuhan omzet, tetapi lebih
menekankan pada semangat mendidik. Beberapa
tahun kemudian, berbekal budaya menabung yang tumbuh subur dan supermarket
yang kian hari kian berkembang,
koperasi-koperasi pendiri supermarket tersebut melanjutkan kerjasamanya dalam
bidang pembangunan industri berbentuk pabrik. Luar biasa, akhirnya kota itu perlahan
menjadi kota koperasi dan masyarakatnya dikenal dengan ciri khas ramah dan
bijaksana.
Semua cerita diatas bersifat fiksi
atau lebih tepat dikatakan sebagai sebuah mimpi indah tentang dahsyatnya
kebersamaan dalam koperasi. Namun demikian, kisah-kisah diatas menegaskan bahwa
kebersamaan adalah cara cerdas untuk membentuk hidup yang sejahtera.
Kisah-kisah diatas
menginspirasi satu tanya apakah mengembangkan perusahaan koperasi merupakan
persoalan kemauan atau kemampuan. Nalar cerita diatas juga menunjukkan bahwa kebersamaan membentuk akumulasi sumber
daya dan menciptakan peluang untuk mengerjakan hal-hal besar yang akan
mendatangkan kebermanfaatan luar biasa.
G. Penghujung
Perwajahan baru hanya bisa
mewujud dari perubahan mindset. Harapan baru hanya lahir
dari cara-cara terbarukan. Untuk itu, kebersamaan, sebagai modal terbesar
koperasi untuk bisa tumbuh dan berkembang, harus dipupuk sehingga terbangun
kesadaran segenap insan koperasi untuk ikut menumbugkembangkan koperasinya. Perluasan
kebermanfaatan merupakan inspirasi yang layak untuk segera berubah.
Jika tidak, maka seluruh impian akan menjadi khayalan semata.
Demikian pemikiran sederhana
ini disampaikan sebagai stimulan
menumbuhkembangkan koperasi. Semoga bisa memantik lompatan energi untuk
membentuk karya-karya baru yang akan memperluas manfaat berkoperasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
.