PESAN KAUM MISKIN PINGGIRAN
KEPADA CALON PRESIDEN-CALON WAKIL PRESIDEN
Hasil obrolan ringan tak bertema dengan sekolompok masyarakat di warung
kopi pinggiran suatu sore telah menjadi
inspirasi tulisan ini. Seperti biasanya,
pembicaraan di warung kopi tak memiliki topik bahasan yang jelas sampai kemudian
mengarah pada persoalan pilpres yang sebentar lagi di gelar di negeri ini.
Pembicaraan lepas itu pun diwarnai dengan letupan-letupan spontan yang kemudian
coba dikemas dalam tulisan singkat berikut ini:
Mereka menginginkan kedamaian dan kesejahteraan hadir dalam hidup mereka.
Mereka ingin memilki keberanian dan percaya diri untuk merajut mimpi. Mereka pun
ingin memiliki capaian yang layak untuk dikenang dan sekaligus membuat mereka merasa
menjadi seorang yang berguna dan diharapkan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat siapapun
di dunia ini benci penderitaan dan tak mau berada dalam perasaan tidak berguna disepanjang hidupnya.
Mereka bosan termanfaatkan. Mereka selalu merasa frustrasi tiap kali
recehan yang mereka hasilkan dari keringat pagi sampai malam tak cukup membeli apa
yang dinamakan hidup layak. Semua orang ingin punya kesempatan mewujudkan
immpiannya. Mereka menginginkan sebuah keadaan yang mendorong mereka malu
berdiri sebagai orang bodoh dan miskin. Mereka tidak memerlukan regulasi yang
menjanjikan ketenangan dan ketentraman hidup kalau kemudian faktanya semua itu menjadi
faktor penghambat ketika mereka mulai beranjak
berjuang mewujudkan cita-citanya.
Mereka ingin merasa damai dan tentram. Mereka pun bisa menyadari kalau
kemiskinan adalah akibat dari sebuah kebodohan. Ironisnya, mereka hanya bisa
berteriak dalam bathin saat keinginan mencerdaskan
diri tak kunjung menemukan kanalnya. Mereka harus menyudahi mimpi untuk
memiliki ijazah karena tidak mampu menjangkau harga yang harus dibayar untuk bisa berseragam dan melangkah gagah sebagaimana
anak-anak lainnya.
Semua orang merasa ingin difikirkan oleh negara, tetapi mereka bosan dengan
kepura-puraan dan pencitraan semu. Mereka memerlukan pemimpin yang berkemampuan
melahirkan perasaan damai, perasaan dilindungi, perasaan dibutuhkan oleh negara
dan perasaan merdeka dalam arti sesungguhnya. Mereka ingin penjelasan logis
mengapa mereka miskin. Mereka mengimpikan pencerahan jalan mana yang harus ditempuh
untuk bisa mencicipi hidup layak.
Mereka butuh kesempatan dan ruang untuk berjuang, peluang untuk
menentukan masa depannya, merasakan didukung sepenuhnya dalam menunjukkan atau mempertontonkan
kebisaannya. Mereka butuh perubahan revolusioner berjudul keberpihakan yang nyata,
bukan kepedulian sesaat sekedar untuk meraih simpati dan kemudian kepedulian menghilang
tanpa jejak di fase berikutnya.
Mereka takut menghujat Tuhan karena masih meyakini kedigdayaan-Nya, tetapi
kenyataan pahit seolah menggiring untuk berkesimpulan bahwa Tuhan tak
pernah berpihak atas apa yang mereka fikirkan. Pilihan fikir semacam itu diambil karena
kenyataan hidup tak kunjung memberi lubang cahaya bernama harapan. Mereka patah
arang dalam menyuarakan ragam kegundahan. Akhirnya, apapun dilakukan dengan satu prinsip, yaitu : “yang penting bisa bertahan hidup”.
Ironisnya, untuk itu pun mereka harus berebut kesempatan yang jumlahnya selalu terbatas.
Tak ayal, kenyataan ini membuat mereka harus saling mengalahkan yang
menyebabkan kekerabatan sosial diantara
mereka memudar oleh realitas hidup memilukan. Perasaan ke-kita-an sebagai
sebuah kelompok masyarakat dan juga sebagai sebuah bangsa luntur oleh
kenyataan-kenyataan yang belum berpihak.
Mereka menginginkan hidup yang bijak, tetapi tak kunjung menemukan inspirasi
untuk memulainya dari mana. Mereka ingin
keluar dari kebiasaan menjadi oppourtunist yang sesungguhnya disadari
bahwa hal itu tidak baik, tetapi kenyataan kembali menuntun mereka di pola
hidup yang sama. Yang jelas, semua
berharap perubahan nyata yang lebih baik
dan bernilai harapan dibanding dari keadaan sekarang yang tetap harus disyukuri.
Dalam keraguan dan traumatic mendalam, kini mereka pun akan disajikan
kembali momentum untuk memilih pemimpin. Adakah defenisi mereka tentang
sebuah hidup akan menjadi nyata dengan hadirnya pemimpin baru?. Yang jelas, tanya itu terus mengiang dikepala mereka
dan selalu berharap hal itu benar-benar menjadi nyata.
Seorang ibu selalu menginginkan anaknya tumbuh layak dengan gizi cukup.
Seorang ibu tak ingin hanya bisa membayangkan susu berkualitas dari apa yang selalu
teriklan di layar kaca berulang-ulang. Seorang ibu pun menginginkan suaminya
berpenghasilan cukup dan bisa membuat anak mereka terlihat selalu ceria. Seorang
ibu pun tak ingin berbohong hanya sekedar untuk mengalihkan keinginan anaknya
memiliki sebuah mainan yang dia sukai.
Mereka memerlukan perhatian, perhatian tulus yang membuat mereka lebih
cerdas dalam merangkai dan mewujudkan mimpinya. mereka pun ingin petuah dan
ketauladanan pemimpinnya sebagi pembimbing langkah mereka untuk lebih percaya
diri berjuang menembus area hidup bertajuk bahagia. Mereka butuh iklim yang
mendorong mereka memiliki perasaan malu berdiri sebagai orang yang difikirkan,
sebab setiap dari mereka pun ingin berkontribusi untuk memikirkan kemajuan
bangsanya.
Satu hal Lagi, mereka pun butuh alasan cukup untuk memilih dan mencintai
pemimpinnya. Mereka pun sebenarnya
membenci memilih karena pengaruh sebuah amplop berisi uang yang tidak seberapa, tetapi dapur tetap
harus ngebul dan kehidupan harus terus berlanjut, walau amplop itu tak mungkin menjawab
kebutuhan hidup untuk waktu yang lama.
Semoga keadaan lebih baik akan hadir siapapun presiden/wakil presieden
berikutnya. Semoga keadaan membentuk rasa bangga menjadi bagian dari sebuah
negeri bernama Indonesia. Semoga iklim yang akan terbentuk memberi peluang
rakyat tidak hanya berposisi sebagai yang difikirkan, tetapi juga menjadi
barisan yang ikut memikirkan bangsa. Semoga Tulisan ini di dengar Tuhan,
sebagaimana saya berharap tuan-tuan calon presiden dan wakil presien
meluangkan waktu untuk membaca tulisan singkat ini ditengah kesibukan untuk
memenangkan sebuah pertarungan.
Salam damai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
.