Mengapa pula
tarif parkir kendaraan dan harga-harga barang menjadi lebih mahal di lokasi wisata dibanding
di tempat lainnya. Adakah ini juga bentuk penjajahan yang bisa dimaklumi para
wisatawan domestik karena berwisata itu dimaknai sebagai aktivitas melepas
uang?. Sempatkah terfikir berapa keringat yang terakumulasi sampai uang terkumpul
dan bisa berwisata?.
Mengapa pula
harga-harga di hotel juga lebih mahal?. Mulai dari tarif kamar berikut pernik2nya?.
Mengapa harga2 di diskotik juga selangit?..apakah ini dimaksudkan untuk
menghukum para pengunjung agar tak kembali lagi, ataukah mau menandaskan bahwa
"kesenangan" itu tidak ada yang murah.
Mengapa
harga nasi goreng di kereta bisnis berbeda dengan kereta eksekutif padahal
sumber nya sama, yaitu di cafe kereta?. Apakah harga itu bentuk pembiaran ikhlas
para penumpang atas kreativitas pebisnis karena mereka sedang menjadi penumpang
kereta eksekutif?.
Mengapa
sang tukang panggul merasa berhak meminta Rp 20ribu untuk mengangkut coper
berjarak 50 meter? bahkan tak jarang mereka meminta tambah. Tahukah
mereka harga itu hampir 10 prosen dari harga tiket eksekutif?. Apakah ini juga bentuk
pemanfaatan kesempatan dimana orang yang sedang berpergian cenderung ringan
mengeluarkan uang? Ataukah ini memanfaatkan momen ketidakmampuan dan ketidakterlatihan
sang penumpang dalam urusan angkut2 barang?. Kalau diambil perbandingan dengan
penjual rokok, tissue dan permen yang sering memanfaatkan lampu merah, berapa jumlah
barang dagangannya yang harus mereka jual untuk mendapatkan Rp 20 ribu seperti
yang diperoleh sang tukang panggul hanya dalam beberapa menit?. Mengapa pula
tukang becak yang harus mengayuh dengan susah payah tetep menggunakan standar
"tawar menawar" dan tidak seperti angkutan umum lainnya yang diatur
tarifnya?. Demikian pula tukang ojek dan andong. Adakah karena mereka tergolong
alat transportasi tradisional?.
Mengapa pula
seorang perias penganten berharga selangit untuk pagelaran pesta pernikahan
yang hanya sehari?. Apakah karena keahliannya dalam men-sullap perform yang biasa-biasa
aja menjadi tekesan artistic dan tampak
wah?. Ataukah itu tiket mahal yang harus dibayar demi sebuah pegelaran pernikahan yang menginginkan
"kesan baik dan mewah" dari segenap tamu undangan?.
Mengapa biaya operasi penyakit begitu mahal?. Mengapa pula tidak ada yang menawar?. Adakah ini memang seperangkat alat kesehatan mahal? Ataukah biaya pendidikan untuk berhak memberi pengobatan suer mahal?. Adakah "menawar" dalam urusan kesehatan tidak lazim dan setiap pasien diyakini akan mengorbankan apapun agar kembali sehat?. Mengapa
pula harga tebus obat mahal?. Apakah hal ini dmaksudkan untuk mengajarkan
bahwa "sehat itu penting" sehingga semua orang harus menjaga
kesehatan dengan baik?. Ataukah karena harga pokok obat itu memang mahal?.
Mengapa pula berobat alternatif banyak yg tidak memakai standar alias
seikhlasnya? Ataukah karena mereka berinteraksi atas dasar saling percaya dan
tak adanya satu jaminan kesembuhan? Ataukah karena sang ahli alternarif memang
berniat menolong dan menyumbangkan kebaikan bagi banyak orang atas kelebihan yg
dititipkan Tuhan padanya?. adakah sebagian praktek "pengobatan
alternatif" yang memasang plang dalam menentukan harga juga terinspirasi oleh
harga2 yang di terapkan apotek?.
Mengapa pula tiba2 harga barang2 kebutuhan tiba2 naik saat menjelang lebaran?. Adalah karena konteksnya "merayakan" sehingga para pedagang mengasumsikan bahwa seberapapun akan dibeli?. Mengapa pula saat menjelang lebaran agama atau perayaan agustus tak jarang harga sawit hasil petani dan karet juga sering mengalami penurunan?. Begitu pula dengan hasil pertanian lainnya yang harga jualnya turun saat justru panen?. Adakah hal ini karena mekanisme pasar dimana tarik menarik antara supply dan demand menjadi penentu?.
Entah
kenapa harga lombok sering jatuh di musim panen. Hal yang sama terjadi dengan harga
gabah. Walau ttidak ada standar bakunya, seringkali orang memberi tips Rp 5 (lima) ribu bagi penjaga
sandal di mesjid atau mushola. Apakah spiritualitas yang mendorong untuk
melakukan hal itu?. Ataukah sang pemberi
sudah mapan sehingga memberi sejumlah itu sudah tak berarti bagi si empunya
uang?.
Saat pengamen
silih berganti datang berkunjung ke tenda-tenda lesehan menunjukkan kebolehan bernyanyi
dengan peralatan musik yang terbatas di sepanjang jalan Malioboro,Yogyakarta, terbersit tanya apakah untung yang diperoleh sang
pedagang tenda lebih besar dari apa yang didapatkan pengamen?. Pertanyaan sama
juga terbersit saat duduk makan lontong opor di minggu pagi di GOR Purwokerto. Berapakah
untung per mangkok penjual lontong opor?. Berapakah yang didapat sang pengamen dari
show singkatnya?. Ataukah keikhlasan Sang Tukang Opor menjadi lahan bagi
pengamen dan pengemis yang membuat dagangannya juga cepat habis?.
Pertanyaan-pertanyaan
ini mungkin tak penting dipersoalkan, tetapi semoga menginspirasi sesuatu
tentang dinamika hidup yang tak jarang mengundang senyum geli dan bahkan juga sering jengkel
sendiri.Tetapi hidup adalah dinamika yang berjalan di keseimbangan yang alamih keterbentukannya...KAH?
Posting Komentar
.