MEMILIH METODE PENGEMBANGAN
"CORPORATE ATAU EMPOWERING"
Tulisan ini bagian dari Buku SHU 0 (nol) yang Insya Allah akan terbit sebentar lagi.
Mohon Do'a Dari Segenap Pembaca Setia
A. Prolog
Daya saing koperasi sering
dipertanyakan. Hal ini pun kemudian mendorong judgment bahwa perusahaan
koperasi masih lemah dalam pengelolaan perusahaannya. Biasanya, kesimpulan semacam
ini didukung dengan data-data yang menunjukkan perbandingan antara capian
koperasi dengan perusahaan-perusahaa non-koperasi.
Dalam konteks akumulasi dalam arti
menyeluruh, tentu pendapat lemahnya daya saing koperasi merupakan sesuatu yang
tidak bisa dibantah. Kalaupun ada beberapa koperasi yang moncer dan berhasil
melahirkan karya besar di tanah air, jumlahnya masih sedikit dan belum mampu
menutup fakta lemah dari mayoritas realitas
koperasi yang memang menunjukkan belum
berkembang.
Pidato bernada sama juga sering
disampaikan dalam berbagai kegiatan seremonial perkoperasian. Mungkin saja
pidato semacam ini diyakini sebagau cara menyemangati gerakan koperasi untuk
terus memacu diri atau juga mungkin
sebagai salah satu cara untuk menandaskan bahwa hal ini merupakan agenda
penting yang harus diarus utamakan oleh koperasi. Atau bahkan, bisa juga
menjadikan “daya saing rendah” sebagai musuh bersama yang harus
ditundukkan dengan semangat 45.
Dalam tinjauan kritis dan tanpa
bermaksud melakukan pembelaan, di tinjau dari filosopi kelahiran dan keberadaannya,
membandingkan perusahaan koperasi dan perusahaan non-koperasi sebenarnya kurang
tepat. Kalau non-koperasi fokus pada pertumbuhan laba dan modal, sedangkan
koperasi fokus pada pembangunan
orang-orang di dalamnya yang sering didefenisikan dengan kesejahteraan.
Kesejahteraan yang dimaksud juga tidak terbatas pada persoalan ekonomi saja,
tetapi juga persoalan-persoalan sosial dan budaya. Secara tegas, koerasi fokus
pada keterbangunan orang dan non-koperasi fokus pada pertumbuhan
laba dan modal.
B. Memilih Meteode Pengembangan
Hakekat koperasi sebagai kumpulan
orang menjadi dasar landasan kuat bahwa keterbangunan orang memang fokus
seharusnya. Keterpenuhan kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya
merupakan tujuan dan perusahaan (baca : unit layanan) dalam
koperasi berposisi sebagai alat atau media dalam mencapai tujuan
tersebut. Oleh karena itu, jenis dan luas aktivitas yang dijalankan koperasi
tergantung pada dinamika kebutuhan dan aspirasi yang berkembang. Demikian juga
roh pengelolaannya operasional kesehariannya dipengaruhi semangat kekeluargaan
dan kegotongroyongan. Sebagai contoh, tatkala unit layanan toko diposisikann segenap
anggota sebagai media pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan harga yang lebih
murah, maka hal ini akan berpengaruh pada strategi penetapan margin
keuntungan untuk masing-masing produk, khususnya dalam hal melayani kebutuhan
anggota. Demikian pula ketika toko koperasi juga di posisikan sebagai ruang
pajang atau tempat menjual produk-produk anggota yang memiliki aktivitas
produktif, maka suplier yang berasal dari anggota diprioritaskan dalam hal
pengadaan barang dan pemanfaatan space ruang pajang produk dari
toko tersebut. Demikian halnya, ketika simpan pinjam diposisikan sebagai “media
untuk saling tolong menolong”, maka hal ini menyebabkan “margin
pinjaman” menjadi rendah sesuai kesepakatan atau aspirasi mayoritas
anggotanya. Disinilah letak keunikan perusahaan koperasi dimana aspirasi sangat
menentukan warna aktivitas sebuah koperasi. Dalam bahasa lain, kebahagiaan
anggota merupakan hal yang selalu menjadi fokus.
Dalam pola pengelolaan
koperasi mengarah pada keterbentukan “efisiensi kolektif”
sehingga “margin rendah” sebagai dasar kebijakan operasionalisasi
perusahaan, masih relevankah membandingkannya dengan perusahaan
yang dalam penetapan margin-nya tergantung dinamika pasar/market share dan kondisi persaingan?.
Kalau demikian roh
pengelolaan koperasi dimana efisiensi kolektif menjadikan margin
rendah, pertanyaan yang mungkin timbul kemudian adalah bagaimana
mungkin koperasi bisa mengembangkan perusahaannya?. Dalam konsep aplikasi
“margin rendah” berdasarkan kesepakatan anggota, maka pengembangan perusahaan
koperasi dalam konteks ekstensifikasi maupun diversifikasi tentu tidak
mengandalkan dari akumulasi margin, tetapi mendasarkan pada
komitmen anggota untuk berpartisipasi modal yang dalam teknis operasionalnya
bisa melalui setor tunai atau mengembangkan budaya menabung.
Hal-hal semacam ini tidak mungkin
ada dalam keseharian operasional perusahaan non-koperasi. Hubungan yang
terbentuk antara perusahaan dan konsumen hanya sebatas hubungan transaksional,
sedangkan di koperasi sangat dimungkinkan terbentuk transaksi subyektif
atas dasar rasa cinta dan memiliki yang kuat. Disamping itu, dalam hal
menerapkan strategi pengembangan, perusahaan non-koperasi juga tidak melakukan
komunikasi dengan konsumennya, tetapi cukup melakukan diskusi dengan stock
holder-nya (pemegang sahamnya). Hal ini bisa difahami mengingat kepemilikan
pada non-koperasi terbatas pada sedikit orang saja dan mereka memiliki
kekuasaan penuh dalam mengambil keputusan atas perusahaan yang mereka miliki
sendiri.
Perbedaan-perbedaan semacam ini bisa
menjadi menjadi sumber keunggulan bagi koperasi. Pelibatan anggota (pemilik dan
sekaligus pelanggan) dalam proses pengambilan keputusan strategi perusahaan,
identik dengan pembentukan “komitmen pelanggan”. Hal ini juga
sangat relevan dengan keberlangsungan dan keterbentukan masa depan perusahaan,
sebab ikatan emosional anggota terhadap strategi yang diterapkan koperasi akan
mendorong terbentuknya bola salju transaksi subyektif yang membuat perusahaan
koperasi survive dan berkembang.
Mereferensi pada alinie diatas, pola-pola
pengelolaan koperasi semacam ini menggambarkan koperasi sebagai sebuah lembaga
pemberdayaan yang mengedepankan budaya “bergerak bersama”. Oleh
karena itu, kualitas kolektivitas dan keterbentukan komitmen pada semua unsur
organisasi internalnya menjadi kunci keberdayaan koperasi dalam membahagiakan
anggotanya melalui pertumbuhan kemanfaatan-kemanfaatan yang progressive.
Fakta lapangan menunjukkan
mayoritas koperasi di tanah air terjebak
pada semangat pertumbuhan laba (SHU) sehingga berpraktek layaknya non-koperasi
(baca : korporasi). Ironisnya, semangat pertumbuhan SHU telah menggerus
nilai-nilai kolektivitas sebagai basis pengembangan. Elite organisasi pun menjadi begitu dominan
dan konsentrasinya mengarah pada membesarkan perusahaan koperasi. Bagi koperasi
yang sukses berpraktek cara ini, biasanya nilai-nilai kebanggaan anggota
terhadap koperasi sangat rendah. Kondisi ini merupakan akibat dari berjaraknya
koperasi dengan keseharian anggotanya dan hubungan yang terbentuk pun adalah hubungan
transaksional semata. Bahkan tidak jarang anggota merasa di eksploitasi oleh
koperasi dalam aktivitas-aktivitas transaksi di unit layanan koperasi.
Pola pengembangan korporasi
semacam ini sangat rawan terhadap ketahanan organisasi koperasi. Memposisikan
anggota sebagai konsumen dan mengapresiasi status keanggotannya
hanya pada saat penyelanggaraan RAT (Rapat Anggota Tahunan) berpotensi ambruk
seketika saat elite organisasi kehilangan kemampuan dalam mengkonsolidasikan
variabel-variabel yang mempengaruhi stabilitas organisasi dan
perusahaan, seperti tensi persaingan usaha dan adanya perubahan regulasi
pemerintah. Berbeda kalau koperasi memilih pola pemberdayaan (empowering)
dimana koperasi besar bersama anggotanya, maka organisasi akan menjadi kuat dan
mengakar sehingga lebih kokoh dalam menghadapi ragam badai yang mewarnai
perjalanan perusahaan koperasi.
Mewujudkan koperasi yang
meng-anggota memang tidak mudah, khususnya bagi koperasi yang sudah terlanjur
terjebak pada strategi korporasi dan pada koperasi yang masih baru lebih memungkinan untuk diaplikasikan.
Namun demikian, keterjebakan pada strategi korporasi bukan tidak mungkin
berbalik arah ke pola pemberdayaan yang mengedepankan
kolektivitas. Hal ini bisa dimulai dengan perubahan mindset melalui
penyelenggaraan pendidikan dan sosialisasi gencar yang dilakukan secara
kontinue kepada seluruh unsur organisasi. Pendidikan dan sosialisasi bisa dikemas
dalam ragam variasi sehingga melahirkan efektivitas.
C. Koperasi
bersaing dengan dirinya sendiri.
Persaingan terberat koperasi bukan
terletak pada pergesekannya dengan perusahaan-perusahaan non-koperasi yang
mungkin menyelenggarakan usaha yang sama, tetapi terletak pada internalnya
sendiri. Kemampuan mengkonsolidasikan ragam potensi menjadi satu aktivitas
produktif menjadi kata kuncinya.
Bisa dibayangkan bila sebuah
koperasi beranggotakan 1000 (seribu orang) mampu mengkonsolidasikannya menjadi captive
market (pasar tertutup), maka akan lahir banyak aktivitas produktif berbasis anggota. Hal ini tidak saja terbatas
pada urusan pemenuhan kebutuhan konsumsi, tetapi juga terbuka peluang
mengembangkan ragam produksi berbasis talenta anggota. Disisi lain, pada saat muncul kesadaran bahwa
kuantitas anggota memiliki relevansi kuat dengan pertumbuhan kemanfaatan koperasi,
maka saatnya koperasi mengembangkan keanggotaannya menjadi lebih luas. Nalar
ekonominya sederhana saja, ketika sebuah koperasi fokus pada keterbentukan
efisiesi kolektif dan pemberdayaan potensi anggota, maka
semakin banyak jumlah anggota akan semakin efeisien pula operasionalisasi
perusahaan koperasi tersebut. Disamping itu, semakin banyak anggota yang
bergabung, akan semakin banyak pula potensi atau bakat yang bisa di dorong
untuk lebih maju. Sebagai analog sederhana, truk yang disewa Rp
1.000.000,oo/hari akan menjadi lebh efisien cost/unit nya saat diisi penuh
ketimbang hanya di isi setengah saja.
Demikian gambaran betapa luar
biasanya sebuah kebersamaan ketika di drive dalam semangat
kolektivitas. Tantangan beratnya adalah
pada kemampuan mengkonsolidasikan kebersamaan dari kumpulan orang berlatar
belakang dan karakter beragam. Untuk itu, sosialisasi dan pendidikan perkoperasian
menjadi ujung tombak dalam
memobilisasi kebersamaan ke dalam ranah produktivitas dalam arti luas. Kemampuan membentuk perasaan ke-kita-an dari
individu-individu yang ada di koperasi menjadi kuci keberdayaan koperasi. Hal
ini bukan berarti koperasi menafikkan profesionalisme pengelolaan.
Hanya saja, profesionalisme pengelolaan perusahaan tanpa diikuti dengan
pembangunan kualitas kebersamaan di lingkar anggota hanya akan membentuk produk
layanan yang rasional dan hal ini sudah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
non-koperasi sejak kelahirannya.
Dalam tinjaun makro, concern pada eksplorasi
kebaikan-kebaikan dari nilai beda koperasi sesungguhnya modal
utama bila ingin memposisikan koperasi sebagai pemain penting di dalam percaturan ekonomi nasional. Koperasi tidak perlu membangun adrealine
untuk mengalahkan siapapun, karena filosopi perjuangan koperasi adalah menggerus
persaingan dan mengembangkan kerjasama bagi keterbangunan hidup yang
lebih bermartabat secara ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini tidak dapat
diwujudkan secara instan, tetapi harus
melalui tahapan-tahapan berkelanjutan berlandaskan pembangunan kesadaran kolektif
dari seluruh unsur organisasinya, khususnya anggota sebagai populasi mayoritas dalam koperasi.
Posting Komentar
.