Rabu, 18 September 2013

KETIKA SIMPAN PINJAM KOPERASI MEMASUKI DIMENSI KEMANUSIAAN


PENGUATAN KELEMBAGAAN dan MANAGEMEN KOPERASI
(bahan kontemplasi me-reposisi mindset)
 
Disampaikan dalam acara “rakor antar cabang KSP/USP Koperasi” dengan sub thema “Penguatan lembaga dan Manajemen Koperasi”, yang dilaksanakan oleh Dinas Koperasi dan UMKM, Pemprov Jawa Tengah, yang dilaksanakan di Aula Rumah Dinas Bakorwil III, Jalan Gatot Subroto, Purwokerto, Jawa Tengah, tanggal 19 September 2003. 


A.  Pendahuluan


Aktivitas utama dari KSP/USP adalah menyelenggarakan simpan dan pinjam, walau dalam prakteknya sering terbalik dimana aktivitas pinjam lebih digandrungi oleh anggota ketimbang menyimpan. Hal ini tampak lumrah dan terjadi dibanyak tempat sehingga KSP/USP ter-branding sebagai penyedia uang bagi anggotanya untuk di pinjamkan. Apa sebenarnya yang terjadi?.

Sebagai bentuk auto koreksi bahwa kualitas kelembagaan koperasi masih jauh dari kondisi idealnya. Banyaknya koperasi berpraktek layaknya lembaga keuangan lainnya merupakan sederetan fakta lapangan yang mendukung kesimpulan itu. Tergolong jarana mendapati praktek KSP/USP yang memiliki “nilai beda” nyata. Hubungan yang terjalin diantara anggota dengan KSP/USP terkesan sebatas hubungan transaksional, sedangkan “hubungan kepemilikan” biasanya mewujud sekali dalam setahun, yaitu di forum rapat anggota tahunan (RAT).

Akudnya mindset “pertumbuhan modal” alias “perburuan SHU” dalam keseharian koperasi ditengarai sebagai core problem (masalah utama) yang menimbulkan efek-efek lainnya yang semakin berjaraknya  KSP/USP dengan keseharian hidup anggotanya. KSP/USP kemudian menjelma dalam semangat korporasi  yang terobsesi dengan takaran-takaran ekonomi ansih pada umumnya.  Pada titik ini “esensi” berkoperasi semakin sulit didapati.


B.  Defenisi Yang Menginspirasi Tanya
Selaku induk koperasi dunia (ICA/International Cooperative Alliance) mendefenisikan koperasi sebagai kumpulan orang guna untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaza melalui  perusahaan yang mereka miliki bersama dan kendalikan secara demokratis. Ada beberapa catatan menarik dari defenisi ini, yaitu :
1.      target yang ingin di penuhi bukan hanya “kebutuhan” tetapi juga “aspirasi”. Dalam hal ini  Aspirasi-aspirasi yang berkembang dikalangan anggota merupakan sumber inspirasi dalam menentukan apa-apa yang akan dilakukan dan tujuan-tujuan yang diiinginkan bersama.
2.      Ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini menegaskan bahwa koperasi bukanlah hanya persoalan ekonomi semata , tetapi juga menyangkut persoalan sosial dan budaya. Pada titik inilah “dimensi juang” koperasi begitu luas yang pada akhirnya berujung pada keterbangunan “hidup berkualitas” dari segenap stake holdernya. Atas pembacaan semacam ini yang kemudian mendorong koperasi sebagai “alat perjuang kemanusiaan”.  
3.      Melalui perusahaan. Artinya, “perusahaan” adalah “sarana” untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif. Perusahaan yang dimiliki bersama dan di kendalikan secara demokratis , menjadikan tampilan perusahaan koperasi sebagai refresentasi  dari aspirasi-aspirasi yang berkembang dikalangan anggota.  

Kalau demikian adanya, maka “apapun aktivitas usa” yang dijalankan oleh koperasi  sesungguhnya berposisi sebagai alat  yang harus memiliki efektivitas bagi keterbangunan kualitas hidup anggotanya. Dengan demikian capaian SHU (Sisa Hasil Usaha) tidak lagi menjadi  satu-satunya indikator keberhasilan dan juga tidak lagi menjadi tujuan seseorang menjadi bagian dari barisan koperasi.


C.  Memaknai Simpan Pinjam Dari Sisi Tak Biasa
Aktivitas utama KSP/USP adalah simpan dan pinjam. Dalam mindset pertumbuhan modal (SHU Oriented), maka manajemen KSP/USP akan terdorong untuk memperbesar akumulasi selisih pendapatan jasa/bunga dan biaya jasa/bunga. Langkah manajemen selanjutnya pasti bisa ditebak, yaitu : (i) mempertinggi ketersediaan uang untuk dipinjamkan dengan mengeksploitasi segala sumber yang mungkin dan; (ii) menyalurkan pinjaman seoptimal mungkin.

Pada langkah pertama (baca : meningkatkan ketersediaan modal), biasanya KSP/USP kesulitan dalam men-drive anggotanya untuk menabung sehingga mengembangkan sumber dana eksternal seperti perbankan dan bila memungkinkan dari  fasilitasi  pemerintah dengan bunga rendah. Sementara itu, pada langkah ke dua (baca: menyalurkan pinjaman), manajemen akan mendorong anggotanya untuk meminjam. Ada beberapa catatan penting  atau semacam bahan auto koreksi tentang penyaluran pinjaman lepada anggota, yaitu :
1.      KSP/USP sering memposisikan anggotanya adalah orang dewasa yang memiliki kemandirian dalam memutuskan yang terbaik baginya dalam menggunakan uang hasil pinjamannnya, sehingga KSP/USP hanya fokus pada keterpenuhan syarat administratif  untuk meminjam di KSP/USP. Artinya, KSP/USP bertindak egois untuk kepentingan pertumbuhan SHU nya.
2.      KSP/USP Sangat jarang menela’ah, apakah sesungguhnya “pinjaman” yang diberikan akan membuat hidup anggota akan lebih baik atau justru akan membawa keburukan bagi diri dan masa depannya.  
3.      KSP/USP dalam memberi pinjaman jarang memiliki perhatian yang berbeda antara pinjaman untuk konsumsi dan pinjaman untuk  produktif. Mungkin, tanpa disengaja KSP/USP telah mendorong atau melanggengkan anggota untuk menjadi pribadi yang  konsumtif dan secara makro KSP/USP telah berkontribusi positif dalam membentuk masyarakat konsumtif. Sementara itu, untuk pinjaman produktif, disamping Belum adanya perlakuan khusus yang mendorong anggota untuk mencintai hidup kreatif. KSP/USP juga masih jarang melakukan pendampingan terhadap usaha anggota  sehingga anggota mengalami peningkatan kapasitas usaha yang berimplikasi pada percepatan kemampuan anggota menyelesaikan pinjamannya dan bahkan memperbesar anggota menjadi penabung di koperasi.  
4.      Ketika anggota tidak memiliki kemampuan untuk mengembalikan pinjamannya dengan tepat waktu, KSP/USP tidak merasa menjadi bagian dari masalah yang sedang dihadapi oleh anggota  tersebut. KSP/USP tetep berdiri tegas diatas panji-panji perusahaan dan jarang sekali ber-empati atau duduk bersama untuk mengatasi masalah dan sekaligus membangun harapan bagi anggota tersebut. Tidak ditemukan semangat gotong royong dalam situasi ini dan bahkan beberapa koperasi menggunakan debt collector untuk menyelesaikan pinjaman-pinjaman bermasalah dalam hal pengambilan.


D.  Berubah atau Tetap Berada di Mimpi Yang Sempurna
Ketika KSP/USP tetap berada pada minset pertumbuhan modal atau SHU Oriented, maka pertanyaan menarik untuk dijawab adalah sampai titik manakah KSP/USP akan mampu membagi jumlah SHU per tahun kepada anggotanya sebesar total penghasilan pribadi anggotanya setahun?. Namun, ketika KSP/USP dimaknai sebagai media/alat pembentukan hidup berkualitas segenap unsur organisasinya, maka pola-pola yang dijalankan KSP/USP dalam menguatkan kelembagaan dan manajemen akan mengarah pada keterbentukan kebersamaan yang terus berproses ke arah perluasan kebermanfaatan yang tidak terbatas hanya pada persoalan materialitas semata. Edukasi dan saling memotivasi akan mewarnai setiap interaksi diantara segenap unsur organisasi. Pola sosialisasi dan promosi pun lebih diwarnai oleh ragam testimonial (kesaksian) anggota tentang kebaikan dan pengaruh positif koperasi dalam mebentuk karakter dan kualitas hidupnya. Hal semacam ini lebih membuka peluang ketertarikan orang untuk bergabung ke KSP/USP. Ingat, setiap pertumbuhan jumlah anggota sesungguhnya identik  dengan semakin tinggginya efisiensi kolektif dan juga semakin meningkatkatnya daya saing KSP/USP. Disinilah letak makna prinsip keanggotaan koperasi suka rela dan terbuka, dimana pertambahan jumlah anggta bukan bermakna penambahan biaya atau masalah, tetapi berimplikasi pada peningkatan sumber daya dan pertumbuhan potensi untuk lebih berkembang.

Secara obyektif, SHU Oriented   lebih menarik dalam jangka pendek (short term), khususnya terbangunnya perusahaan koperasi secara angka maupun kasat mata, tetapi sangat sulit mendapati terbangunnnya ikatan emosional anggota terhadp perusahaan KSP/USP seba yang terbangun adalah hubungan transaksional. Artinya, dalam jangka panjang hal ini sangat rentan, khususnya terbangunnya akar yang kuat dari kelembagaan koperasi itu sendiri. Sementara itu, dalam fokus benefit (kebermanfaatan), dari sisi waktu  memang memerlukan kesabaran dan pasti lebih kompleks pada awalnya, tetapi lebih menjamin terbangunnya daya tahan koperasi dalam jangka panjang. Dalam fokus semacam ini, pertumbuhan perusahaan koperasi adalah imbas  dari terciptanya peningkatan kualitas hidup anggotanya. Disamping itu, ikatan emosional  yang kuat antara anggota dan perusahaannya (KSP) akan mendorong lahirnya “perasaan bangga” menjadi bagian dari koperasi.     



E. Pendidikan Sebagai Ujung Tombak Perubahan

Dalam bahasa semangat perubahan, lesunya apresiasi dan gairah anggota terhadap koperasi, sesungguhnya diawali dari ketidaktahuan. Hal ini sebagai akibat dari belum terselenggarnya pendidikan bagi segenap anggota yang mengajarkan minimal 3 (tiga) hal, yaitu; (i) apa koperasi; (ii) mengapa berkoperasi dan; (iii) bagaimana berkoperasi. Akibatnya, banyak anggota masyarakat kurang tepat  dalam mempersepsikan dan mengintrepretasikan koperasi dalam tingkat tindakan. Oleh karena itu, disamping sebgai salah satu rpinsip koperasi, penyelenggaraan pendidikan merupakan  sebuah kebutuhan dan salah satu kunci masa depan sebuah koperasi. Pendidikan merupakan gerbang menuju keterbangunan kesadaran anggota dalam mengambil tanggungjawab untuk membesarkan koperasinya.


F.  Penutup
Dalam tinjauan makro, pemerintah pernah dan akan mengeluarkan berbagai regulasi (peraturan) yang diyakini sebagai bagian dari cara memperkuat kelembagaan dan manajemen perusahaan koperasi. Motifnya sangat jelas, yaitu berharap koperasi memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di bidang ekonomi dan keterbangunan karakter bangsa. Sementara itu, Secara mikro (internal koperasi), segenap pegiat koperasi harus membangun kesadaran bahwa koperasi adalah organisasi otonom yang harus berdiri diatas kemandirian kolektifnya. Artinya, koperasi benar  harus terbangun melalui kelembagaan yang kuat dan manajemen berbasis nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi.  Segala bentuk proteksi, regulasi, charity (baca: fasilitasi) harus dipandang hanya sebagai stimulan, bukan sebagai dasar keterlahiran atau beroperasionalnya koperasi.  Sekilas hal ini tampak rumit, tetap hakekat kebesaran koperasi itu sesungguhnya bersumber dari kualitas kebersamaan yang terbangun dari segenap organisasi. Koperasi harus berproses mulai dari hal kecil, sebab lewat tahapan itu lah koperasi akan memiliki akar yang kuat dan berpeluang untuk survive (bertahan) dan develope (berkembang).    

Sebagai catatan penting, organisasi/kelembagaan dan perusahaan koperasi akan efektif menjadi alat pencipta kemandirian kolektif apabila kehidupan anggotanya tidak berjarak dengan kesehariaan koperasinya. Dalam kondisi demikian, pemberdayaan (empowering) akan membentuk kemandirian kolektif dan hidup berkualitas dari anggotanya. Bahkan dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, lewat kerekatan sosial yang terbangun,  koperasi memegang peranan penting dalam membangun karakter dan integritas berbangsa dan bernegara. Sejauh itu KAH?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.