POTRET dan
STRATEGI PENGEMBANGAN
PERKOPERASIAN
INDONESIA
disampaikan
pada agenda DIKMENKOP
Se-DIY
yang dilaksanakan oleh KOPMA UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) , tanggal 01 Juni 2013, di Wisma Yu Djum, Parangtritis, Yogyakarta , Indonesia
A. Pendahuluan
Indonesia memiliki Bung Hatta yang
dinobatkan sebagai Bapak Koperasi. Indonesia pun selalu men-cita-cita kan
koperasi menjadi soko guru ekonomi bangsa. Koperasi juga di yakini sangat sesuai
dengan karakter dan budaya bangsa. Ironisnya, saat Induk Koperasi Dunia
(ICA/International Cooperative Alliance) mengeluarkan daftar 300 koperasi
terbaik dunia, tak satu pun koperasi di Indonesia masuk dalam daftar prestisius
itu.
Dalam bahasa apatis, apa pedulinya
koperasi Indonesia masuk atau tidak dalam daftar prestisius itu. Tetapi dalam
bahasa peduli dan kebanggaan dari sebuah bangsa, realitas ini menggambarkan
bahwa koperasi-koperasi di Indonesia belum mampu menciptakan karya nyata
berlabel koperasi berkelas dunia. Dengan kata lain, fakta ini menguatkan bahwa
nilai strategis peran koperasi sebagai soko guru ekonomi bangsa masih jauh dari
titik idealnya. Untuk itu, perlu menelusur persoalan dan merumuskan solusi
komprehensif, sehingga langkah-langkah yang akan diambil berimplikasi pada
lahirnya harapan-harapan baru dari sebuah koperasi.
B. Kelahiran
dan Resume Singat Sejarah Perjalanan
Koperasi
Menyadur dari Tulisan M. Dawam Raharjo berjudul
“Koperasi Sukses Indonesia”
di Jurnal Maksipreneur Vol I,Nomor 1, terbitan
Fak.EKonomi Universitas Proklamasi 45, bulan Des 2011, menjelaskan tentang muasal
kelahiran koperasi di Indonesia dan proses perkembangannya yang akan dijelaskan
berikut ini :
B.1. Muasal Kelahiran Koperasi di Indonesia
Dalam sejarah perkembangan koperasi di
Indonesia, koperasi yang pertama lahir berbentuk lembaga perkreditan rakyat,
yaitu De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank Der Inlandsche Hoofden di
Purwokerto pada tahun 1895, atas prakarsa Patih Aria Wiriatmaja, yang mendapat
dukungan dari atasannya, Asisten Residen Purwokerto, E.Sieburg. Ketika
E.Sieburg digantikan oleh De Wolf
Van Wasterrode, pejabat baru itu juga memiliki perhatian yang
sama terhadap kredit rakyat. Westerrode
bahkan memiliki obsesi untuk mewujudkan koperasi kredit pertanian sebagaimana
yang digagas oleh Friedrich Wilhlem Raiffeisen (1818-1888) di jerman.
Oleh karena itu, cakupan De Poerwokertosche Hulp en Sparbank Der
Inlandsche Hoofden kemudian diperluas hingga menjangkau desa-desa dan
mencakup pula kredit pertanian, sehingga pada 1896 telah berdiri De Poerwokertosche Hulp, Spaar en Landbuow
Creditbank (Bank Simpan Pinjam dan Kredit Pertanian Purwokerto), sebuah
koperasi kredit modal Raiffeisen, yang merupakan model koperasi tradisional pertama
di Indonesia. Selain model Raiffeisen, di Indonesia juga berkembang model lain,
yaitu model koperasi konsumsi Schulze Delitz yang tumbuh dari
bawah, khususnya dari kalangan kaum buruh dan penduduk perkotaan yang pada
umumnya merupakan konsumen. Model
koperasi ini kemudian menjadi koperasi perdagangan. Kedua model koperasi
tradisional itu mula-mula berkembang di kalangan pegawai negeri yang dipelopori
oleh kaum priyayi dan kemudian berkembang menjadi koperasi fungsional. Koperasi
atau cikal bakal koperasi itu lahir sebagai respon terhadap kondisi
kemiskinan atau tingkat kesejahteraan yang rendah.
Ini adalah asal usul aliran pemikiran koperasi yang memandang koperasi sebagai
lembaga pengentasan masyarakat dari kemiskinan atau tingkat
kesejahteraan yang rendah.
Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia
yang juga arsitek Pasal 33 UUD 45, berdasarkan pengalaman perkembangan koperasi
sejak awal abad ke-20 sebenarnya sudah membayangkan tahap-tahap perkembangan
ekonomi di masa kemerdekaan. Pada mulanya, masyarakat akan cenderung
mengembangkan koperasi konsumsi, Namun demikian, koperasi konsumsi itu cenderung
gagal, karena kekurang-terampilan berdagang dan juga modal yang minim.
Lalu akan berkembang koperasi simpan pinjam dari orang-orang yang memiliki
uang, sehingga terhimpun modal untuk memperkuat perdagangan. Setelah itu, baru
timbul koperasi produksi di bidang pertanian, pertukangan, kerajinan dan
industri. Selanjutnya, koperasi akan merupakan persemaian usaha-usaha
individual. Koperasi itu berangsur-angsur akan menjadi skala menengah dan
besar.
B.2. Perjalanan Perkembangan Koperasi di Indonesia
1.
Koperasi
pada mulanya berkembang karena digerakkan oleh organisasi sosial dan politik,
seperti Boedi Utomo, SDI (Sarekat Dagang Islam), Persatuan Bangsa Indonesia
(PBI), Partai Indonesia Raya (Parindra) dan kemudian diikuti oleh partai-partai
politik lainnya pada masa kemerdekaan.
2.
Koperasi
digerakkan atau di Bantu oleh pemerintah, baik itu pemerintah Hindia belanda
pada masa kolonial, maupun pemerintah Republik Indonesia setelah proklamasi.
3.
Inisiatif
seseorang, kelompok masyarakat, atau dunia usaha, sebagai bagian dari
masyarakat sipil (civil society).
Dalam tulisan tersebut juga dijelaskan
bahwa organisasi kemasyarakatan dan partai politik memang berhasil menggerakkan
masyarakat untuk mendirikan koperasi-koperasi secara massal, namun
koperasi-koperasi lebih didorong oleh semangat dan ideologi politik seperti
menentang kapitalisme. Namun pola ini gagal
dalam mewujudkan koperasi sebagai organisasi usaha yang berhasil secara
komersial. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya perhatian pada aspek ketrampilan usaha yang berdasarkan motif
ekonomi dan tiadanya pengetahuan mengenai asas-asas koperasi dan pengelolaannya
(cooperative
governance). Kekurangan ini
disadari oleh pemerintah dan kemudian berusaha memberdayakan koperasi melalui
undang-undang, peraturan dan kegiatan pembinaan serta intervensi kebijaksanaan
lainnya.
Dimasa kemerdekaan, campur tangan
pemerintah ini dilakukan secara lebih intensif di mana ekonomi terpimpin
(1959-1965) yang menempatkan koperasi dalam kerangka ideologi sosialis. Pada
waktu itu juga agenda-agenda partai politik, seperti PNI,Masyumi, PKI dan NU
juga menyusup ke dalam gerakan dan organisasi koperasi, sehingga terjadi
politisasi gerakan koperasi.
Namun demikian, terdapat perbedaan antara
pengaruh politik pada masa Hindia Belanda dengan pada masa kemerdekaan. Pada
masa penjajahan, politisasi koperasi diarahkan kepada gerakan perlawanan dan
penegakan strategi politik non-koperasi terhadap pemerintah Hindia Belanda,
sedangkan pada masa kemerdekaan politisasi mengarah kepada penggunaan
organisasi koperasi untuk kepentingan politik partai. Yang pertama menimbulkan
semangat swadaya dan independensi, sedangkan kedua
mengundang campur tangan pemerintah untuk menjadikan koperasi sebagai bagian
dari sistem ekonomi nasional sesuai dengan gagasan konstitusi ekonomi dalam UUD
45.
Pada masa pemerintahan orde baru terjadi
proses metamorfosis peranan pemerintah
dalam perkembangan koperasi, sebagaimana dijelaskan berikut ini :
1.
pemerintah
melakukan reformasi organisasi koperasi melalui UU dan peraturan.
2.
pemerintah
menjadikan koperasi sebagai alat kebijaksanaan, khususnya untuk mendukung
program pembangunan pertanian.
3.
Pemerintah
memberi bisnis atau bidang usaha kepada koperasi agar bisa berkembang.
4.
Pemerintah
menyediaan factor-faktor produksi, seperti kredit, tenaga manager, bahan baku
dan alat-lat produksi.
5.
Pemerintah
melakukan modernisasi organisasi koperasi melalui pemberdayaan kapasitas (capacity
building) kelembagaan koperasi.
6.
pemerintah
menciptakan proyek-proyek pembangunan koperasi, misalnya pengembangan KUD
(Koperasi Unit Desa) dan kemitraan koperasi dengan BUMN atau perusahaan swasta
sebagai bagian dari program pemerintah.
7.
pemerintah
memberikan hibah, misalnya untuk membangun kantor dan kendaraan.
Intervensi dan peranan pemerintah itu
memunculkan preseden, dimana usaha gerakan koperasi kemudian cenderung lebih
banyak dilakukan untuk meminta bantuan pemerintah. Hal ini misalnya terjadi pada kalangan gerakan
koperasi batik nasional, yaitu GKBI. Berkat bantuan dan ragam fasilitas dari
pemerintah, GKBI ditunjuk sebagai importir tunggal kain mori.
Model koperasi lain yang dikembangkan oleh
pemerintah adalah koperasi fungsional berbasis profesi, dimana yang meoninjol
diantaranya adalah koperasi karyawan dan pegawai negeri. Koperasi fungsional
ini kemudian menjadi basis bagi pengembangan koperasi simpan pinjam dan koperasi
konsumsi atau perdagangan.
C.
Sekilas Tentang UU NO.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian
Perbedaan
semacam ini bukan hal asing di setiap kelahiran hal-hal yang bersifat baru.
Namun demikian, kebijakan berfikir dan kejernihan berpendapat menjadi penting dikedepankan. Kajian
kritis yang dilakukan bukan di
dorong oleh kepentingan sempit, tetapi disemangati oleh keterjagaan “jati
diri” koperasi yang berimplikasi pada pertumbuhan atau perluasan
kebermanfaatan berkoperasi bagi anggota dan masyarakat luas pada umumnya secara
nyata.
Sebagai
pengingat, koperasi adalah perkumpulan orang yang lahir dari kesadaran dan
keyakinan bahwa “kebersamaan” merupakan cara hidup yang akan lebih
men-sejahterakan melalui penyatuan komitmen dan segala potensi sumber daya.
Oleh karena itu, koperasi sesungguhnya merupakan gerakan masyarakat otonom (mandiri) dimana mereka
memiliki kebebasan mengatur rumah tangganya sendiri tanpa intervensi siapapun
sepanjang tidak berseberangan dengan ketertiban umum, peraturan-peraturan dan UU yang berlaku di
negeri ini.
Dalam tinjuan
semangat, idealnya keberadaan UU tentang perkoperasian adalah
menyemangati dan melindungi, sehingga potensi berkembangnya koperasi akan lebih
besar. Disamping itu, UU tentang perkoperasian
juga idealnya menghindarkan koperasi dari ragam intervensi yang
tidak edukatif, sehingga mendorong koperasi mandiri. Dengan demikian,
nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, yang merupakan hasil kesepakatan
organisasi koperasi dunia ICA (International Cooperative Alliance)
tahun 1995 dimana Indonesia merupakan salah satu anggotanya, selalu hadir dan
menjadi sumber inspirasi kehidupan perkoperasian di Indonesia.
Satu hal yang
menjadi catatan, UUD 45 memberikan hak berkumpul dan berserikat bagi setiap
warga negara dimana berkoperasi adalah salah satu wujud implementasinya. Ruang perjuangan koperasi
yang meliputi pembangunan ekonomi, sosial dan budaya dengan menempatkan orang
sebagai subyek dan obyek pembangunan, memiliki kesamaan
dengan ragam agenda pembagunan yang
diselenggarakan oleh negara. Cara baca ini selayaknya meng-inspirasi terbentuk dan terjaganya hubungan produktif diantara negara dan koperasi. Artinya, koperasi sebagai gerakan mandiri
masyarakat layaknya diapresiasi secara
tepat sehingga terbentuk akselerasi dengan tetap pada
keterpeliharaan substasi dasar perjuangannya sebagai kumpulan orang yang
otonom.
Terlepas dari
hiruk pikuknya, semoga kelahiran UU
No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian ini adalah bagian dari cara negara dalam
mengapresiasi dan sekaligus mengakselerasi pertumbuhan dan perkembang koperasi
di negeri ini.
D. Kondisi Umum Perkoperasian di Indonesia
Dalam konteks ideal (tinjauan konsepsi),
koperasi lahir dari sebuah kesadaran, sehingga, sepanjang koperasi berjalan dalam rel konsepsinya, idealnya koperasi mampu berkembang
dan bahkan menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang maha dahsyat. Ironisnya,
realitasnya belum demikian. Indikator yang paling jelas adalah rendahnya animo
dan buruknya apresiasi masyarakat
terhadap lembaga ekonomi berlabel
koperasi. Kondisi demikian memang
mengenaskan, namun realitas koperasi yang mayoritas pada kondisi yang relatif
sama (lesu) merupakan fakta pendukung untuk berkesimpulan demikian. Apa yang
salah ?. Siapa pula yang disalahkan?.
Secara garis besar, realitas koperasi
di negeri ini dapat digolongkan
dalam 4 (empat) kondisi, yaitu:
1.
Maju
dalam konteks perusahaan), namun tidak
mengakar secara organisasi (tidak berbasis keanggotaan)
2.
Maju
dalam konteks perusahaan dan mengakar
(berbasis keanggotaan) dalam konteks organisasi
3.
Biasa-biasa
saja perusahaan, tetapi mengakar (adanya kesadaran anggota untuk berproses)
dalam kontek organisasi
4.
Biasa-biasa
saja perusahaan ) dan tidak mengakar dalam konteks organisasi
Dari 4 (empat) kondisi diatas, kemudian
timbul pertanyaan mengelitik “kondisi manakah yang paling baik”.
Untuk kondisi yang terbaik, tentu koperasi
yang maju secara perusahaan dan mengakar secara organisasi. Dalam kondisi ideal
semacam itu, pasti didapati tingginya
kesadaran & loyalitas dari semua elemen yang mewujud ke dalam aksi partisipasi
. Namun, untuk menemukan kondisi
demikian relatif sulit
(prosentase kegagalan jauh lebih besar) walaupun bukan mustahil untuk mencapai kondisi demikian. Ada beberapa alasan
logis yang menjadi penyebabnya, antara lain :
1.
Aspek historis. Kita tidak bisa pungkiri bahwa
banyak koperasi lahir dari proses top dawn yang diawali dari skenario
pembangunan nasional yang dirusak
ditengah jalan oleh orang-orang yang mengedepankan kepentingan individu. Jadi, kondisi saat ini merupakan konsekuensi
logis dari sebuah “penyimpangan
konstruktif” atas skenario pembangunan kesejahteraan rakyat Indonesia yang
sesungguhnya bagus secara konsepsi.
2.
Aspek pengetahuan. Banyak koperasi
yang dikelola dengan mengabaikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang
seharusnya melekat pada koperasi. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan
atas konsepsi koperasi sehingga memicu pelaku koperasi memandang koperasi
semata-mata lembaga ekonomi yang bergelut dengan perolehan laba sebagaimana
layaknya pelaku usaha lainnya. Ironisnya,
persepsi ini terjadi pada mayoritas anggota/masyarakat dan juga
aktivis/pegiat koperasi, sehingga, hal
ini memotivasi terciptanya rancang bangun koperasi yang tidak bernafaskan koperasi.
3.
Aspek Pengalaman. Mengingat bahwa koperasi adalah
kumpulan orang-orang yang melekat kepentingan heterogen, pengelolaannya
memerlukan gaya/karekteristik khusus,
sehingga bisa difahami, diyakini dan diikuti secara sadar oleh semua elemen.
Tentu hal ini memerlukan pengalaman. Sejarah kehidupan bernegara membuktikan
bahwa rakyat Indonesia sesungguhnya baru belajar demokrasi (melalui proses
reformasi), sehingga adalah relevan kalau dikatakan bahwa mayoritas rakyat
indonesia pun sebenarnya baru belajar berkoperasi dalam arti sesungguhnya.
Mungkin tidak berlebihan untuk membuat kesimpulan bahwa perkembangan koperasi
akan berbanding lurus dengan perkembangan demokrasi dalam kehidupan bernegara.
4.
Aspek Sikap/Perilaku/Moral. Banyaknya kasus
korupsi, pengelapan ragam dana stimulus dan kasus-kasus lainnya sejenis,
merupakan sebagian contoh yang menunjukkan koperasi masih bergulat dengan
permasalahan attitude (sikap, perilaku dan moralitas). Hal ini pula
yang memberikan kontribusi besar pada pembentukan opini dan apresiasi yang pada
akhirnya mempengaruhi animo
anggota/calon anggota/Masyarakat kepada
koperasi.
E. Strategi Pengembangan Koperasi
Dilandasi
oleh tingkat kemauan yang tinggi menumbuh kembangkan koperasi, dirasakan perlu
untuk melakukan perenungan (kontemplasi) untuk menyusun strategi perubahan dan
langkah taktis percepatan. Apapun langkah percepatan yang diambil hendaklah me-referensi pada “Jati Diri Koperasi“, sehingga hasil
akhir yang diharapkan adalah lahir, tumbuh dan berkembangnya koperasi yang bernafaskan koperasi benar dan
memiliki harapan yang terukur.
Perubahan
tersebut meliputi 2 (dua) wilayah yaitu: (i) organisasi koperasi dan; (ii)
perusahaan koperasi yang akan dijelaskan kemudian.
E.1. Organisasi Koperasi.
Rendahnya pengetahuan,pemahaman, dan
keyakinan, merupakan titik awal mengapa sebuah koperasi menjadi tidak
bergairah. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya taktis & strategis, sehingga
semua elemen memandang koperasi dari
sudut pandang dan harapan yang sama. Beberapa ide dasar yang mungkin dapat
dikembangkan adalah sebagai berikut:
1.
Perlunya
pemahaman dan penyamaan persepsi ditingkatan semua elemen atas konsepsi
koperasi. Hal ini sebagai upaya pembentukan landasan berfikir dan berperilaku
dalam kehidupan berkoperasi yang sesuai dengan identitas koperasi.
2.
Penyamaan
persepsi atas “konsepsi kesejahteraan” sebagai tujuan. Hal ini juga diikuti dengan pemetaan
kemampuan dan pola distribusi proporsional dari segenap unsur organisaasi.
Kalau hal ini tidak dilakukan, maka tujuan
pergerakan menjadi tidak jelas. Ketidak jelasan arah/tujuan melahirkan
ketidak jelasan indikator keberhasilan.
hal ini selanjutnya melahirkan ketidakjelasan alat evaluasi atas
pencapaian. Dengan adanya persamaan persepsi akan mendatangkan sebuah semangat,
sehingga dalam proses pemetaan target kesejahteraan (sebagai tahapan mencapai
kondisi ideal) menjadi lebih rasional dan lebih memungkinkan untuk mendapat
dukungan dari semua elemen.
3.
Perlunya
pengaturan/distribusi peran proporsional yang didasarkan pada tingkat kapabilitas,
kapasitas dan kompetensi. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin adanya semangat
profesionalisme dalam pelaksanaan tahapan-tahapan aksi. Distribusi peran ini
juga harus dibarengi dengan hak dan kewajiban yang jelas dengan memperhatikan
prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.
Penyamaan
persepsi atas konsepsi dan tujuan koperasi, distribusi peran dan tanggung jawab
berikut hak & kewajian semua elemen, ditargetkan tidak hanya untuk melahirkan sebuah defenisi dan job deskripsi,
tetapi juga akan:
1.
Menjadi
dasar bagi semua elemen untuk
berkontribusi dalam proses pencapaian tujuan.
2.
Menjadi
alat evaluasi dan Indikator
keberhasilan.
3.
Melahirkan
semangat korsa (kebersamaan) dan bangga menjadi bagian dari komunitas koperasi.
Dengan demikian dapat
4.
Mencegah
terjadinya mis-persepsi diantara semua elemen, sehingga iklim kondusif untuk
maju dan berkembang dapat terus terbangun, terjaga dan terpelihara.
Dalam
tahap implementasi, perlu disusun sebuah skenario pembangunan kultur
organisasi. Apapun bentuk atau format skenario tersebut haruslah mampu
mewujudkan beberapa kondisi dibawah ini :
1. Semua elemen
minimal mengetahui dan memahami konsepsi dasar berkoperasi. Tentu perjuangan
ini membutuhkan waktu
2. Semua elemen
mengetahui dan memahami tujuan
organisasi & usaha (Visi & Misi).
3. Pengetahuan dan
pemahaman ini mampu menjadi dasar bagi semua elemen untuk bertindak secara
profesional dan proporsional.
4. Terdeskripsinya
secara jelas tentang pola distribusi peran yang mampu memotivasi semua elemen
untuk berkontribusi secara maksimal. Pola ini tentu merupakan hasil akhir dari
proses penyatuan tawar menawar
kepentingan semua elemen organisasi.
5. Penempatan
personil perlu meperhatikan dan mempertimbangkan aspek ketuhanan dan kompetensi. Hal ini untuk
menjaga rel-rel kehidupan profesional dan proporsional berkoperasi.
E.2.
Perusahaan Koperasi
Dalam tinjauan konsepsi koperasi,
“perusahaan” adalah alat koperasi mencapai tujuannya yaitu memenuhi kebutuhan
dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya dari segenap unsure organisasinya. Oleh karena itu, koperasi harus dikelola
dengan semangat nilai-nilai koperasi seperti tranparansi, gotong royong,
menolong diri sendiri, kekeluargaan dan lain sebagainya. Dengan demikian,
perusahaan koperasi akan mewujud
menjadi sebuah perusahaan yang berkarakter tegas dan berbeda dengan pelaku
usaha lainnya.
Sebagai awalan dan sebelum melangkah lebuh
jauh, segenap unsure organisasi koperasi harus menegaskan target dari
perusahaan koperasi. Artinya, perusahaan koperasi harus menjadi mesin penjawab
dari ragam kebutuhan yang didefenisikan dalam “konsep tujuan”. Sebagai
sebuah stimulan, ada 3 (tiga) alternatif
tujuan orientasi yang bisa di pilih:
1.
Benefit Oriented (orientasi pada kemanfaatan
maksimal). Dalam hal ini, unit usaha
koperasi adalah sebuah wadah yang akan mampu memberikan kemanfaatan langsung,
misalnya harga lebih murah (untuk usaha waserda) dan atau tingkat jasa pinjaman
lebih rendah (untuk usaha simpan pinjam). Artinya, usaha mutlak sebagai wadah
untuk memenuhi kebutuhan anggota dengan mengesampingkan tinggi rendahnya SHU.
Dalam dataran implementasi, margin/keuntungan
yang diambil cukup untuk menutupi biaya pelayanan (operasional dan
insentif/gaji pengelola/karyawan/pengurus/BP). Kalaupun ada niatan untuk
mengambil keuntungan adalah bersumber dari memaksimalkan pangsa pasar non-anggota
(kecuali dilarang dalam UU).
2.
Profit Oriented (Orientasi pada pencapaian SHU). Dalam hal
ini, unit usaha koperasi adalah sebuah media pencapaian SHU semaksimal mungkin.
Dalam hal ini, strategi pengembangan perusahaan yang akan diterapkan memungkinkan
koperasi abai prinsip dan nilai2 sehingga memposisikan anggota sebagai konsumen
murni.
3.
Mix
(campuran). Hal ini dapat dilakukan
dengan cara subsidi silang antara unit.
Pilihan manapun yang dilakukan adalah
benar sepanjang menjadi sikap dari semua elemen organisasi. Penegasan komitmen
usaha ini sangat diperlukan, sehingga tersedia dasar pengambilan keputusan yang
jelas dalam mengelola dan mengembangkan perusahaan koperasi. Disamping itu,
pertegasan ini juga merupakan bagian dari alat control dan evaluasi capaian
yang dihasilkan dari sebuah kebersamaan dalam koperasi. Disinilah letak
keunikan dan sekaligus keunggulan perusahaan koperasi. Oleh karena itu, Kalau
ditelaah lebih jauh, tidak berlebihan untuk berkesimpulan bahwa koperasi
merupakan rancang bangun perusahaan masa depan. Nalar kesimpulan tersebut dapat
dijelaskan berikut ini :
1.
Realitas
membuktikan, survive tidaknya sebuah usaha ditentukan oleh seberapa jauh respon
pangsa pasar atas apa yang ditawarkan oleh perusahaan. Dalam konteks ini, pangsa pasar koperasi sesungguhnya sudah
ada dan terpetakan semenjak awal kelahirannya.
2. Perusahaan
Koperasi berbasis “Fair Trade”. Koperasi menunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan,
kejujuran dan demokrasi. Oleh karena itu, sebagai perusahaan berbasis kumpulan
orang, koperasi selalu melibatkan anggota dalam menentukan marginnya dan juga
menyusun pembiayaannya. Dengan demikian, dalam perusahaan koperasi tidak
mengenal tipu daya pemasaran, sebab segala sesuatunya berjalan terbuka dan
transparan. Pada titik ini lah, anggota yang berposisi sebagai pemilik dan juga
pelanggan merasa nyaman untuk mentransaksikan segala kebeutuhannya.
Dari 2 (dua) argumentasi diatas, perjuangan ekonomi koperasi sebenarnya bukan
dimulai dari titik pencarian ide, melainkan dari titik bagaimana mengakomodir
kebutuhan tersebut secara bertahap dan berkesinambungan. Dengan demikian, dalam
konteks membangun perusahaan, sesungguhnya koperasi sudah menang beberapa
langkah dari pelaku ekonomi lainnya.
Disamping itu, mengingat bahwa koperasi adalah “gudang kebutuhan”, maka sesungguhnya koperasi memiliki peluang usaha yang
tidak terbatas. Koperasi bisa saja bergerak di sektor moneter
(KSP/USP) dan atau disektor riil ( misalnya pertanian, perdagangan, perikanan,
perkebunan, pertambangan dan lain sebagainya), sepanjang didasarkan atas
kebutuhan yang melekat pada anggota dan atau bahkan diluar anggota.
F.
Penutup
Daftar
Pustaka
- Fakultas
EKonomi Universitas Proklamasi 45, Jurnal Maeksipreneur, Volume I, Nomor
1, Desember 2011
- Soedjono,
Ibnoe.2007. Membangun Koperasi Mandiri dalam Koridor Jati Diri. Jakarta :
LSP2I-ISC
- Kumpulan
Tulisan pribadi penulis di www.arsadcorner.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
.