Minggu, 02 Juni 2013

POTRET dan STRATEGI PENGEMBANGAN PERKOPERASIAN INDONESIA


POTRET dan STRATEGI PENGEMBANGAN
PERKOPERASIAN INDONESIA

disampaikan pada agenda DIKMENKOP Se-DIY 
yang dilaksanakan oleh KOPMA UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) , tanggal 01 Juni  2013, di Wisma Yu Djum, Parangtritis, Yogyakarta , Indonesia


A.  Pendahuluan
Kata “koperasi” begitu popular di telinga sebagian besar masyarakat di negeri ini. Namun menarik untuk menilik apakah masyarakat hanya sebatas hafal dengan istilah “koperasi”  atau masyarakat benar-benar faham apa itu “koperasi” dan berkeinginan kuat untuk menjadi bagian dari barisan koperasi.

Indonesia memiliki Bung Hatta yang dinobatkan sebagai Bapak Koperasi. Indonesia pun selalu men-cita-cita kan koperasi menjadi soko guru ekonomi bangsa. Koperasi juga di yakini sangat sesuai dengan karakter dan budaya bangsa. Ironisnya, saat Induk Koperasi Dunia (ICA/International Cooperative Alliance) mengeluarkan daftar 300 koperasi terbaik dunia, tak satu pun koperasi di Indonesia masuk dalam daftar prestisius itu.

Dalam bahasa apatis, apa pedulinya koperasi Indonesia masuk atau tidak dalam daftar prestisius itu. Tetapi dalam bahasa peduli dan kebanggaan dari sebuah bangsa, realitas ini menggambarkan bahwa koperasi-koperasi di Indonesia belum mampu menciptakan karya nyata berlabel koperasi berkelas dunia. Dengan kata lain, fakta ini menguatkan bahwa nilai strategis peran koperasi sebagai soko guru ekonomi bangsa masih jauh dari titik idealnya. Untuk itu, perlu menelusur persoalan dan merumuskan solusi komprehensif, sehingga langkah-langkah yang akan diambil berimplikasi pada lahirnya harapan-harapan baru dari sebuah koperasi.


B. Kelahiran dan  Resume Singat Sejarah Perjalanan Koperasi
Menyadur dari Tulisan M. Dawam Raharjo berjudul “Koperasi Sukses Indonesia”
di Jurnal Maksipreneur Vol I,Nomor 1, terbitan Fak.EKonomi Universitas Proklamasi 45, bulan Des 2011, menjelaskan tentang muasal kelahiran koperasi di Indonesia dan proses perkembangannya yang akan dijelaskan berikut ini :

B.1.  Muasal Kelahiran Koperasi di Indonesia
Dalam sejarah perkembangan koperasi di Indonesia, koperasi yang pertama lahir berbentuk lembaga perkreditan rakyat, yaitu De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank Der Inlandsche Hoofden di Purwokerto pada tahun 1895, atas prakarsa Patih Aria Wiriatmaja, yang mendapat dukungan dari atasannya, Asisten Residen Purwokerto, E.Sieburg. Ketika E.Sieburg digantikan oleh De Wolf  Van Wasterrode, pejabat baru itu juga memiliki perhatian yang sama terhadap kredit rakyat.  Westerrode bahkan memiliki obsesi untuk mewujudkan koperasi kredit pertanian sebagaimana yang digagas oleh Friedrich Wilhlem Raiffeisen (1818-1888) di jerman. Oleh karena itu, cakupan De Poerwokertosche Hulp en Sparbank Der Inlandsche Hoofden kemudian diperluas hingga menjangkau desa-desa dan mencakup pula kredit pertanian, sehingga pada 1896 telah berdiri  De Poerwokertosche Hulp, Spaar en Landbuow Creditbank (Bank Simpan Pinjam dan Kredit Pertanian Purwokerto), sebuah koperasi kredit modal Raiffeisen, yang merupakan model koperasi tradisional pertama di Indonesia. Selain model Raiffeisen, di Indonesia juga berkembang model lain, yaitu model koperasi konsumsi Schulze Delitz yang tumbuh dari bawah, khususnya dari kalangan kaum buruh dan penduduk perkotaan yang pada umumnya merupakan konsumen.  Model koperasi ini kemudian menjadi koperasi perdagangan. Kedua model koperasi tradisional itu mula-mula berkembang di kalangan pegawai negeri yang dipelopori oleh kaum priyayi dan kemudian berkembang menjadi koperasi fungsional. Koperasi atau cikal bakal koperasi itu lahir sebagai respon terhadap kondisi kemiskinan atau tingkat kesejahteraan yang rendah. Ini adalah asal usul aliran pemikiran koperasi yang memandang koperasi sebagai lembaga pengentasan masyarakat dari kemiskinan atau tingkat kesejahteraan yang rendah.

Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia yang juga arsitek Pasal 33 UUD 45, berdasarkan pengalaman perkembangan koperasi sejak awal abad ke-20 sebenarnya sudah membayangkan tahap-tahap perkembangan ekonomi di masa kemerdekaan. Pada mulanya, masyarakat akan cenderung mengembangkan koperasi konsumsi, Namun demikian, koperasi konsumsi itu cenderung gagal, karena kekurang-terampilan berdagang dan juga modal yang minim. Lalu akan berkembang koperasi simpan pinjam dari orang-orang yang memiliki uang, sehingga terhimpun modal untuk memperkuat perdagangan. Setelah itu, baru timbul koperasi produksi di bidang pertanian, pertukangan, kerajinan dan industri. Selanjutnya, koperasi akan merupakan persemaian usaha-usaha individual. Koperasi itu berangsur-angsur akan menjadi skala menengah dan besar.

B.2.  Perjalanan Perkembangan Koperasi di Indonesia
Dalam makalah prasarannya yang disamapaikan pada Seminar Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), Dr. Saroso Wirodihardjo, pada waktu itu menjabat kepala Jawatan Perdagangan dan Kepala Direktorat Perdagangan dan Perindustrian disebutkan bahwa perkembangan perjalanan koperasi Indonesia bersumber dari 3 (tiga) institusi atau jalur, yaitu :
1.      Koperasi pada mulanya berkembang karena digerakkan oleh organisasi sosial dan politik, seperti Boedi Utomo, SDI (Sarekat Dagang Islam), Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), Partai Indonesia Raya (Parindra) dan kemudian diikuti oleh partai-partai politik lainnya pada masa kemerdekaan.
2.      Koperasi digerakkan atau di Bantu oleh pemerintah, baik itu pemerintah Hindia belanda pada masa kolonial, maupun pemerintah Republik Indonesia setelah proklamasi.
3.      Inisiatif seseorang, kelompok masyarakat, atau dunia usaha, sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society).

Dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa organisasi kemasyarakatan dan partai politik memang berhasil menggerakkan masyarakat untuk mendirikan koperasi-koperasi secara massal, namun koperasi-koperasi lebih didorong oleh semangat dan ideologi politik seperti menentang kapitalisme.  Namun pola ini gagal dalam mewujudkan koperasi sebagai organisasi usaha yang berhasil secara komersial. Hal ini disebabkan oleh  kurangnya perhatian pada aspek ketrampilan usaha yang berdasarkan motif ekonomi dan tiadanya pengetahuan mengenai asas-asas koperasi dan pengelolaannya (cooperative governance).  Kekurangan ini disadari oleh pemerintah dan kemudian berusaha memberdayakan koperasi melalui undang-undang, peraturan dan kegiatan pembinaan serta intervensi kebijaksanaan lainnya.

Dimasa kemerdekaan, campur tangan pemerintah ini dilakukan secara lebih intensif di mana ekonomi terpimpin (1959-1965) yang menempatkan koperasi dalam kerangka ideologi sosialis. Pada waktu itu juga agenda-agenda partai politik, seperti PNI,Masyumi, PKI dan NU juga menyusup ke dalam gerakan dan organisasi koperasi, sehingga terjadi politisasi gerakan koperasi. 

Namun demikian, terdapat perbedaan antara pengaruh politik pada masa Hindia Belanda dengan pada masa kemerdekaan. Pada masa penjajahan, politisasi koperasi diarahkan kepada gerakan perlawanan dan penegakan strategi politik non-koperasi terhadap pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa kemerdekaan politisasi mengarah kepada penggunaan organisasi koperasi untuk kepentingan politik partai. Yang pertama menimbulkan semangat swadaya dan independensi, sedangkan kedua mengundang campur tangan pemerintah untuk menjadikan koperasi sebagai bagian dari sistem ekonomi nasional sesuai dengan gagasan konstitusi ekonomi dalam UUD 45.

Pada masa pemerintahan orde baru terjadi proses metamorfosis peranan pemerintah  dalam perkembangan koperasi, sebagaimana dijelaskan berikut ini :
1.      pemerintah melakukan reformasi organisasi koperasi melalui UU dan peraturan.
2.      pemerintah menjadikan koperasi sebagai alat kebijaksanaan, khususnya untuk mendukung program pembangunan pertanian.
3.      Pemerintah memberi bisnis atau bidang usaha kepada koperasi agar bisa berkembang.
4.      Pemerintah menyediaan factor-faktor produksi, seperti kredit, tenaga manager, bahan baku dan alat-lat produksi.
5.      Pemerintah melakukan modernisasi organisasi koperasi melalui pemberdayaan kapasitas (capacity building) kelembagaan koperasi.
6.      pemerintah menciptakan proyek-proyek pembangunan koperasi, misalnya pengembangan KUD (Koperasi Unit Desa) dan kemitraan koperasi dengan BUMN atau perusahaan swasta sebagai bagian dari program pemerintah.
7.      pemerintah memberikan hibah, misalnya untuk membangun kantor dan kendaraan.

Intervensi dan peranan pemerintah itu memunculkan preseden, dimana usaha gerakan koperasi kemudian cenderung lebih banyak dilakukan untuk meminta bantuan pemerintah.  Hal ini misalnya terjadi pada kalangan gerakan koperasi batik nasional, yaitu GKBI. Berkat bantuan dan ragam fasilitas dari pemerintah, GKBI ditunjuk sebagai importir tunggal kain mori.

Keberhasilan GKBI ini selanjutnya melahirkan persepsi bahwa pemerintah dapat berperan strategis dalam membangun koperasi. Selanjutnya, pemerintah menjadikan KUD (Koperasi Unit Desa) sebagai penyalur sarana produksi pupuk kepada petani anggotanya. Model serupa juga diterapkan pada Koperasi-koperasi serba usaha yang kemudian berkembang menjadi semacam “sistem jatah”. Pada akhirnya, koperasi kemudian bekerja tak ubahnya sebagai jawatan pemerintah, dimana ia berkecenderungan untuk tidak bekerja sebagai perusahaan yang didorong oleh motif ekonomi dan sekedar organisasi berwatak sosial. Akibatnya, koperasi kemudian menjadi lembaga ekonomi yang tidak berkelangsungan, karena ia sangat tergantung kepada pemerintah. Jika jatah atau bantuan dari pemerintah berhenti, bubar pula koperasinya. 

Model koperasi lain yang dikembangkan oleh pemerintah adalah koperasi fungsional berbasis profesi, dimana yang meoninjol diantaranya adalah koperasi karyawan dan pegawai negeri. Koperasi fungsional ini kemudian menjadi basis bagi pengembangan koperasi simpan pinjam dan koperasi konsumsi atau perdagangan.  


C. Sekilas Tentang UU NO.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian
UU No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian telah ditetapkan  menggantikan UU terdahulu No.25 Tahun 1992. Penggantiannya didasarkan pada satu pertimbangan  bahwa UU yang lama dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan.  Ragam apresiasi dan reaksi  bermunculan atas kelahiran UU baru tersebut yang secara umum bisa dikategorikan ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: (a) setuju seutuhnya; (b) setuju sebagian dan kurang sependapat sebagian lainnya; (c) tidak sependapat sama sekali.

Perbedaan semacam ini bukan hal asing di setiap kelahiran hal-hal yang bersifat baru. Namun demikian, kebijakan berfikir dan kejernihan berpendapat  menjadi penting dikedepankan. Kajian kritis yang dilakukan bukan  di dorong oleh kepentingan sempit, tetapi disemangati oleh keterjagaan “jati diri” koperasi yang berimplikasi pada pertumbuhan atau perluasan kebermanfaatan berkoperasi bagi anggota dan masyarakat luas pada umumnya secara nyata. 

Sebagai pengingat, koperasi adalah perkumpulan orang yang lahir dari kesadaran dan keyakinan bahwa “kebersamaan” merupakan cara hidup yang akan lebih men-sejahterakan melalui penyatuan komitmen dan segala potensi sumber daya. Oleh karena itu, koperasi sesungguhnya merupakan gerakan masyarakat  otonom (mandiri) dimana mereka memiliki kebebasan mengatur rumah tangganya sendiri tanpa intervensi siapapun sepanjang tidak berseberangan dengan ketertiban umum,  peraturan-peraturan dan UU yang berlaku di negeri ini.

Dalam tinjuan semangat, idealnya keberadaan UU tentang perkoperasian   adalah menyemangati dan melindungi, sehingga potensi berkembangnya koperasi akan lebih besar. Disamping itu, UU tentang perkoperasian  juga idealnya menghindarkan koperasi dari ragam intervensi yang tidak edukatif, sehingga mendorong koperasi mandiri. Dengan demikian, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, yang merupakan hasil kesepakatan organisasi koperasi dunia ICA (International Cooperative Alliance) tahun 1995 dimana Indonesia merupakan salah satu anggotanya, selalu hadir dan menjadi sumber inspirasi kehidupan perkoperasian di Indonesia.  

Satu hal yang menjadi catatan, UUD 45 memberikan hak berkumpul dan berserikat bagi setiap warga negara dimana berkoperasi adalah salah satu wujud  implementasinya. Ruang perjuangan koperasi yang meliputi pembangunan ekonomi, sosial dan budaya dengan menempatkan orang sebagai subyek dan obyek pembangunan, memiliki kesamaan dengan ragam  agenda pembagunan yang diselenggarakan oleh negara. Cara baca ini selayaknya meng-inspirasi  terbentuk dan terjaganya hubungan produktif  diantara negara dan koperasi.  Artinya, koperasi sebagai gerakan mandiri masyarakat  layaknya diapresiasi secara tepat sehingga terbentuk akselerasi dengan tetap pada keterpeliharaan substasi dasar perjuangannya sebagai kumpulan orang yang otonom. 

Terlepas dari hiruk pikuknya,  semoga kelahiran UU No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian ini adalah bagian dari cara negara dalam mengapresiasi dan sekaligus mengakselerasi pertumbuhan dan perkembang koperasi di negeri ini.


D. Kondisi Umum Perkoperasian di Indonesia
Dalam konteks ideal (tinjauan konsepsi), koperasi lahir dari sebuah kesadaran, sehingga, sepanjang koperasi berjalan dalam rel konsepsinya, idealnya koperasi mampu berkembang dan bahkan menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang maha dahsyat. Ironisnya, realitasnya belum demikian. Indikator yang paling jelas adalah rendahnya animo dan buruknya apresiasi masyarakat  terhadap lembaga ekonomi  berlabel koperasi.  Kondisi demikian memang mengenaskan, namun realitas koperasi yang mayoritas pada kondisi yang relatif sama (lesu) merupakan fakta pendukung untuk berkesimpulan demikian. Apa yang salah ?. Siapa pula yang disalahkan?.

Secara garis besar, realitas  koperasi  di negeri ini dapat digolongkan   dalam 4 (empat) kondisi, yaitu:
1.      Maju  dalam konteks perusahaan), namun tidak mengakar secara organisasi (tidak berbasis keanggotaan)
2.      Maju  dalam konteks perusahaan dan mengakar (berbasis keanggotaan) dalam konteks organisasi
3.      Biasa-biasa saja perusahaan, tetapi mengakar (adanya kesadaran anggota untuk berproses) dalam kontek organisasi
4.      Biasa-biasa saja perusahaan ) dan tidak mengakar dalam konteks organisasi

Dari 4 (empat) kondisi diatas, kemudian timbul pertanyaan mengelitik “kondisi manakah yang paling baik”.

Untuk kondisi yang terbaik, tentu koperasi yang maju secara perusahaan dan mengakar secara organisasi. Dalam kondisi ideal semacam itu, pasti didapati  tingginya kesadaran & loyalitas dari semua elemen yang mewujud ke dalam aksi partisipasi . Namun, untuk menemukan kondisi  demikian relatif  sulit (prosentase kegagalan jauh lebih besar) walaupun bukan mustahil untuk mencapai kondisi demikian. Ada beberapa alasan logis yang menjadi penyebabnya, antara lain :
1.      Aspek historis. Kita tidak bisa pungkiri bahwa banyak koperasi lahir dari proses top dawn yang diawali dari skenario pembangunan nasional yang dirusak ditengah jalan oleh orang-orang yang mengedepankan kepentingan individu.  Jadi, kondisi saat ini merupakan konsekuensi logis dari sebuah “penyimpangan konstruktif” atas skenario pembangunan kesejahteraan rakyat Indonesia yang sesungguhnya bagus secara konsepsi.
2.      Aspek pengetahuan. Banyak koperasi yang dikelola dengan mengabaikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang seharusnya melekat pada koperasi. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan atas konsepsi koperasi sehingga memicu pelaku koperasi memandang koperasi semata-mata lembaga ekonomi yang bergelut dengan perolehan laba sebagaimana layaknya pelaku usaha lainnya. Ironisnya,  persepsi ini terjadi pada mayoritas anggota/masyarakat dan juga aktivis/pegiat koperasi,  sehingga, hal ini memotivasi terciptanya rancang bangun koperasi yang tidak bernafaskan  koperasi.
3.      Aspek Pengalaman. Mengingat bahwa koperasi adalah kumpulan orang-orang yang melekat kepentingan heterogen, pengelolaannya memerlukan gaya/karekteristik  khusus, sehingga bisa difahami, diyakini dan diikuti secara sadar oleh semua elemen. Tentu hal ini memerlukan pengalaman. Sejarah kehidupan bernegara membuktikan bahwa rakyat Indonesia sesungguhnya baru belajar demokrasi (melalui proses reformasi), sehingga adalah relevan kalau dikatakan bahwa mayoritas rakyat indonesia pun sebenarnya baru belajar berkoperasi dalam arti sesungguhnya. Mungkin tidak berlebihan untuk membuat kesimpulan bahwa perkembangan koperasi akan berbanding lurus dengan perkembangan demokrasi dalam kehidupan bernegara.
4.      Aspek Sikap/Perilaku/Moral. Banyaknya kasus korupsi, pengelapan ragam dana stimulus dan kasus-kasus lainnya sejenis, merupakan sebagian contoh yang menunjukkan koperasi masih bergulat dengan permasalahan attitude  (sikap, perilaku dan moralitas). Hal ini pula yang memberikan kontribusi besar pada pembentukan opini dan apresiasi yang pada akhirnya mempengaruhi  animo anggota/calon anggota/Masyarakat  kepada koperasi.

E.  Strategi Pengembangan Koperasi

Dilandasi oleh tingkat kemauan yang tinggi menumbuh kembangkan koperasi, dirasakan perlu untuk melakukan perenungan (kontemplasi) untuk menyusun strategi perubahan dan langkah taktis percepatan. Apapun langkah percepatan  yang diambil hendaklah me-referensi pada “Jati Diri Koperasi“, sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah lahir, tumbuh dan berkembangnya  koperasi yang bernafaskan koperasi benar dan memiliki harapan yang terukur.  

Perubahan tersebut meliputi 2 (dua) wilayah yaitu: (i) organisasi koperasi dan; (ii) perusahaan koperasi yang akan dijelaskan kemudian.


E.1.  Organisasi Koperasi.
Rendahnya pengetahuan,pemahaman, dan keyakinan, merupakan titik awal mengapa sebuah koperasi menjadi tidak bergairah. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya taktis & strategis, sehingga semua elemen memandang  koperasi dari sudut pandang dan harapan yang sama. Beberapa ide dasar yang mungkin dapat dikembangkan adalah sebagai berikut:

1.      Perlunya pemahaman dan penyamaan persepsi ditingkatan semua elemen atas konsepsi koperasi. Hal ini sebagai upaya pembentukan landasan berfikir dan berperilaku dalam kehidupan berkoperasi yang sesuai dengan identitas koperasi.
2.      Penyamaan persepsi atas “konsepsi kesejahteraan” sebagai  tujuan. Hal ini juga diikuti dengan pemetaan kemampuan dan pola distribusi proporsional dari segenap unsur organisaasi. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka tujuan  pergerakan menjadi tidak jelas. Ketidak jelasan arah/tujuan melahirkan ketidak jelasan indikator keberhasilan.  hal ini selanjutnya melahirkan ketidakjelasan alat evaluasi atas pencapaian. Dengan adanya persamaan persepsi akan mendatangkan sebuah semangat, sehingga dalam proses pemetaan target kesejahteraan (sebagai tahapan mencapai kondisi ideal) menjadi lebih rasional dan lebih memungkinkan untuk mendapat dukungan dari semua elemen.
3.      Perlunya pengaturan/distribusi peran proporsional yang didasarkan pada tingkat kapabilitas, kapasitas dan kompetensi. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin adanya semangat profesionalisme dalam pelaksanaan tahapan-tahapan aksi. Distribusi peran ini juga harus dibarengi dengan hak dan kewajiban yang jelas dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.

Penyamaan persepsi atas konsepsi dan tujuan koperasi, distribusi peran dan tanggung jawab berikut hak & kewajian semua elemen, ditargetkan tidak hanya untuk  melahirkan sebuah defenisi dan job deskripsi, tetapi juga akan:

1.      Menjadi dasar  bagi semua elemen untuk berkontribusi dalam proses pencapaian tujuan.
2.      Menjadi alat evaluasi  dan Indikator keberhasilan.
3.      Melahirkan semangat korsa (kebersamaan) dan bangga menjadi bagian dari komunitas koperasi. Dengan demikian dapat
4.      Mencegah terjadinya mis-persepsi diantara semua elemen, sehingga iklim kondusif untuk maju dan berkembang dapat terus terbangun, terjaga dan terpelihara.

Dalam tahap implementasi, perlu disusun sebuah skenario pembangunan kultur organisasi. Apapun bentuk atau format skenario tersebut haruslah mampu mewujudkan beberapa kondisi dibawah ini :
1.      Semua elemen minimal mengetahui dan memahami konsepsi dasar berkoperasi. Tentu perjuangan ini membutuhkan waktu
2.      Semua elemen mengetahui dan memahami  tujuan organisasi & usaha (Visi & Misi).
3.      Pengetahuan dan pemahaman ini mampu menjadi dasar bagi semua elemen untuk bertindak secara profesional  dan proporsional.
4.      Terdeskripsinya secara jelas tentang pola distribusi peran yang mampu memotivasi semua elemen untuk berkontribusi secara maksimal. Pola ini tentu merupakan hasil akhir dari proses  penyatuan tawar menawar kepentingan semua elemen  organisasi.
5.      Penempatan personil perlu meperhatikan dan mempertimbangkan  aspek ketuhanan dan kompetensi. Hal ini untuk menjaga rel-rel kehidupan profesional dan proporsional berkoperasi.

E.2. Perusahaan Koperasi
Dalam tinjauan konsepsi koperasi, “perusahaan” adalah alat koperasi mencapai tujuannya yaitu memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya dari segenap unsure organisasinya.  Oleh karena itu, koperasi harus dikelola dengan semangat nilai-nilai koperasi seperti tranparansi, gotong royong, menolong diri sendiri, kekeluargaan dan lain sebagainya. Dengan demikian, perusahaan koperasi   akan mewujud menjadi sebuah perusahaan yang berkarakter tegas dan berbeda dengan pelaku usaha lainnya. 

Sebagai awalan dan sebelum melangkah lebuh jauh, segenap unsure organisasi koperasi harus menegaskan target dari perusahaan koperasi. Artinya, perusahaan koperasi harus menjadi mesin penjawab dari ragam kebutuhan yang didefenisikan dalam “konsep tujuan”. Sebagai sebuah stimulan,  ada 3 (tiga) alternatif tujuan orientasi yang bisa di pilih:
1.      Benefit Oriented (orientasi pada kemanfaatan maksimal).  Dalam hal ini, unit usaha koperasi adalah sebuah wadah yang akan mampu memberikan kemanfaatan langsung, misalnya harga lebih murah (untuk usaha waserda) dan atau tingkat jasa pinjaman lebih rendah (untuk usaha simpan pinjam). Artinya, usaha mutlak sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan anggota dengan mengesampingkan tinggi rendahnya SHU. Dalam dataran implementasi, margin/keuntungan  yang diambil cukup untuk menutupi biaya pelayanan (operasional dan insentif/gaji pengelola/karyawan/pengurus/BP). Kalaupun ada niatan untuk mengambil keuntungan adalah bersumber dari memaksimalkan pangsa pasar non-anggota (kecuali dilarang dalam UU).
2.      Profit Oriented  (Orientasi pada pencapaian SHU). Dalam hal ini, unit usaha koperasi adalah sebuah media pencapaian SHU semaksimal mungkin. Dalam hal ini, strategi pengembangan perusahaan yang akan diterapkan memungkinkan koperasi abai prinsip dan nilai2 sehingga memposisikan anggota sebagai konsumen murni.  
3.      Mix (campuran).  Hal ini dapat dilakukan dengan cara subsidi silang antara unit.

Pilihan manapun yang dilakukan adalah benar sepanjang menjadi sikap dari semua elemen organisasi. Penegasan komitmen usaha ini sangat diperlukan, sehingga tersedia dasar pengambilan keputusan yang jelas dalam mengelola dan mengembangkan perusahaan koperasi. Disamping itu, pertegasan ini juga merupakan bagian dari alat control dan evaluasi capaian yang dihasilkan dari sebuah kebersamaan dalam koperasi. Disinilah letak keunikan dan sekaligus keunggulan perusahaan koperasi. Oleh karena itu, Kalau ditelaah lebih jauh, tidak berlebihan untuk berkesimpulan bahwa koperasi merupakan rancang bangun perusahaan masa depan. Nalar kesimpulan tersebut dapat dijelaskan berikut ini :
1.      Realitas membuktikan, survive tidaknya sebuah usaha ditentukan oleh seberapa jauh respon pangsa pasar atas apa yang ditawarkan oleh perusahaan. Dalam konteks  ini, pangsa pasar koperasi sesungguhnya sudah ada dan terpetakan semenjak awal kelahirannya. 
2.     Perusahaan Koperasi berbasis “Fair Trade”. Koperasi menunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan, kejujuran dan demokrasi. Oleh karena itu, sebagai perusahaan berbasis kumpulan orang, koperasi selalu melibatkan anggota dalam menentukan marginnya dan juga menyusun pembiayaannya. Dengan demikian, dalam perusahaan koperasi tidak mengenal tipu daya pemasaran, sebab segala sesuatunya berjalan terbuka dan transparan. Pada titik ini lah, anggota yang berposisi sebagai pemilik dan juga pelanggan merasa nyaman untuk mentransaksikan segala kebeutuhannya.

Dari 2 (dua) argumentasi diatas,  perjuangan ekonomi koperasi sebenarnya bukan dimulai dari titik pencarian ide, melainkan dari titik bagaimana mengakomodir kebutuhan tersebut secara bertahap dan berkesinambungan. Dengan demikian, dalam konteks membangun perusahaan, sesungguhnya koperasi sudah menang beberapa langkah dari pelaku ekonomi lainnya.  Disamping itu, mengingat bahwa koperasi adalah “gudang kebutuhan”, maka sesungguhnya koperasi memiliki peluang usaha yang  tidak terbatas. Koperasi bisa saja bergerak di sektor moneter (KSP/USP) dan atau disektor riil ( misalnya pertanian, perdagangan, perikanan, perkebunan, pertambangan dan lain sebagainya), sepanjang didasarkan atas kebutuhan yang melekat pada anggota dan atau bahkan diluar anggota.


F. Penutup
Demikian tulisan sederhana ini disajikan sebagai bahan diskusi bagi segenap peserta Dikmenkop (Pendidikan Menengah Koperasi) Se-DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Semoga menambah wawasan dan juga semangat untuk membudayakan dan menumbuhkembangkan koperasi di negeri tercinta ini. Amin.






Daftar Pustaka
  1. Fakultas EKonomi Universitas Proklamasi 45, Jurnal Maeksipreneur, Volume I, Nomor 1, Desember 2011
  2. Soedjono, Ibnoe.2007. Membangun Koperasi Mandiri dalam Koridor Jati Diri. Jakarta : LSP2I-ISC
  3. Kumpulan Tulisan pribadi penulis di www.arsadcorner.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.