MENAKAR
PELUANG
RE-FRESH
“ROH” PENGELOLAAN SIMPAN PINJAM
Disampaikan
pada kegiatan “sosialisasi prinsip-prinsip pemahaman perkoperasian”,
diselenggarakan oleh Disperindagkop Kab. Banyumas tanggal 24 April 2013, di
Hotel Atrium, Sokaraja, Kab. Banyumas , Jawa Tengah, Indonesia
A. Sebuah Pengantar
Dalam tinjauan teknis operasional, secara garis besar simpan pinjam koperasi
(USP atau KSP) memiliki 2 (dua) aktivitas utama (Core activity), yaitu simpan
dan pinjam. Artinya USP/KSP hanya bermain di wilayah uang kartal dan tidak
memiliki kewenangan untuk memainkan uang
giral sebagaimana bank umum. Dari sisi market (pasar) yang dilayani, kalau bank umum bisa melayani
masyarakat umum sementara KSP/USP terbatas hanya pada anggota, calon anggota
(dalam jangka waktu yang jelas) dan atau
koperasi lain melalui suatu perjanjian. Dengan demikian, dalam tinjauan
profitabilitas (keuntungan) KSP/USP hanya terletak pada selisih antara
pendapatan bunga dengan biaya bunga ditambah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
mendukung pendapatan. Hal ini berbeda dengan bank umum, disamping selisih
bunga, bank umum juga bisa mendapatkan pendapatan dari hal-hal lainnya seperti
keuntungan dari mediasi trading,
transaksi antar bank, biaya pemeliharaan rekening, biaya pemeliharaan ATM dan
lain sebagainya.
Namun demikian, tulisan kali ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan yang
berujung pada pelemahan semangat, tetapi concern membahas KSP/USP dari
perspektif ideologi koperasi. Sebab KSP/USP merupakan salah satu turunan aktivitas
dari sebuah ideologi besar bernama
koperasi.
B. Keluhan Yang Berulang
Banyak orang memandang KSP/USP adalah tempat meminjam uang dan keluhan yang
sering mengemuka adalah jarangnya anggota yang menyimpan. Anggota menempatkan
KSP/USP sebagai mesin penjawab naluri meminjam mereka. Sementara itu, anggota
diposisikan sebagai orang bebas yang menggunakan pinjamannya kemanapun yang dia
inginkan, sebab pertanggungjawabannya hanya sebatas kemampuan mengembalikan
pinjaman. Akibatnya, relevansi keberadaan KSP/USP terhadap peningkatan kualitas
hidup anggtanya dalam tanya besar. Apa yang terjadi
sesungguhnya?. Mungkin, awal mula keterciptaan situasi ini karena secara
organisasi KSP/USP memposisikan uang sebagai “komoditi” yang harus tumbuh melalui
pengenaan jasa kepada setiap para peminjam. Ironisnya, keterbatasan persediaan
uang (karena minimnya semangat anggota untuk menabung) membuat gerakan “meminjamkan”
menjadi terbatasi. Adakah ini karena rendahnya kepercayaan anggota untuk
menabung di koperasi?. Ataukah anggota memang hanya menempatkan koperasi
sebagai alternatif meminjam yang mudah persyaratannya, cepat dan tidak
berbelit-belit?. Menarik untuk menemukan jawabannya, guna untuk menemukan
referensi obyektif dalam penyusunan solusi integratif.
C. Ketika KSP/USP mewujud sebagai korporasi
Dalam pembacaan uang sebagai komoditas yang harus tumbuh, KSP/USP sering
terjebak pada semangat korporasi (perusahaan non koperasi). Artinya, KSP/USP
mewujud menjadi unit layanan eksklusif dan kebijakan-kebijakannya tersentral
ditingkat elit organisasi saja dan hampir tidak tersentuh oleh anggota yang
nota bene pemilik sah USP/KSP itu sendiri. Pola
pembangunan “kepercayaan” terhadap organisasi pun dibangun melalui pencitraan performance dan
pelibatan teknologi terkini. Akibatnya, anggota diposisikan sebagai konsumen
murni tanpa ada peluang untuk duduk bersama membicarakan arah dan kebijakan
pengembangan USP/KSA itu sendiri. Kalau pun mereka duduk bersama, mungkin
terjadi hanya setahun sekali saat RAT (Rapat Anggota Tahunan) berlangsung.
Ironisnya, pada saat RAT pun sering yang diperdebatkan adalah seputar
pemerataan kesempatan meminjam, jasa yang rendah, jangka waktu pinjaman yang
panjang dan ironisnya tak luput tentang permintaan SHU yang besar. Ketika
agenda peningkatan simpanan di koperasi dibocarakan, anggota cenderung berat
hati untuk setuju. Pertanyaan menariknya adalah; “darimana harus memulai perubahan?”.
D. Menilik Spirit KSP/USP Dalam Perspektif
Ideologi Koperasi
Dalam tinjauan ideologi koperasi, USP/KSP adalah salah satu ruang praktek
dari ideologi bersar bernama koperasi. Oleh karena itu, idealnya KSP/USP
berjalan diatas roh ideologinya, sehingga KSP/USP itu tidak berpraktek sesat dan
terjebak pada praktek kapitalisme. Ketika koperasi terjebak pada semangat
pertumbuhan modal, maka hampir bisa dipartikan koperasi itu akan berjarak
dengan realitas anggotanya. Namun demikian, ketika KSP/USP berjalan diatas
kesepakatan-kesepakatan sosial dari segenap stake holdernya, maka nafas
koperasi pasti ada disana dan mempengaruhi pola hidup anggotanya, khususnya
dalam kehidupan perekonomiannya.
Koperasi sebenarnya tidak mengharamkan laba (SHU), hanya saja jangan sampai
dalam perolehan laba (SHU), semangat pertumbuhan modal lebih diutamakan
ketimbang keterjawaban kebutuhan anggota. Kesetiakawanan, saling tolong
menolong dan bergotong royong harus menjadi sumber semangat dalam merumuskan
ragam kebijakan. Keterbangunan kualitas hidup (baca: kesejahteraan) harus
tercermin tegas dari ragam program yang dikembangkan. Dengan demikian, KSP/USP
tidak menjelma menjadi korporasi yang berjarak dengan hidup anggotanya. Untuk
itu, unsur edukasi (pendidikan) harus ada dalam setiap produk dari simpan
pinjam. Artinya, perusahaan koperasi harus memberi pesan bijak bagi anggotanya,
sehingga produk-produk simpan pinjam membawa anggota pada hal-hal positif.
Untuk mempermudah pemahaman kalimat diatas, berikut ini dijelaskan beberapa
contoh :
1.
Dalam rangka menghindarkan
anggota kedalam pola hidup konsumtif, 500 orang anggota sebuah KSP berkomitmen
mengembangkan budaya menabung. Untuk mewujudkan semangat itu, pada momen RAT
disepakati setiap anggota meminjam di KSP sebesar Rp 60 juta per orang, di
cicil selama 10 tahun dengan jasa pinjaman sebesar 0 (nol) prosen dan tidak dikenakan
biaya administrasi apapun. Namun demikian, atas pinjaman ini disepakati untuk
langsung ditabungkan di KSP tersebut. Secara matematika ekonomi, kesepakatan
bersama ini identik dengan membangun komitmen untuk menabung sebsar Rp
500.000,oo/bulan/per anggota.
2.
Ketika KSP/USP bermaksud
mengajak anggota untuk mengembangkan budaya hidup sederhana sekaligus menekan naluri konsumtif anggotanya, maka
KSP/USP tersebut menerapkan jasa pinjaman yang tinggi bagi pinjaman yang
peruntukannya konsumsi. Dengan demikian, KSP/USP ini tidak terjebak sebagai “agen
penyubur” konsumerisme, khususnya di kalangan anggota.
3.
Ketika semangat gotong royong seluruh
unsur organisasi begitu massif, sebuah KSP mengambil kebijakan bahwa pinjaman anggota yang didorong oleh keadaan
yang tidak diinginkan (seperti untuk keperluan sakit, kecelakaan atau untuk
kepentingan kelanjutan pendidikan anak-anaknya), maka dikenakan margin pinjaman
yang kecil atau bahkan 0 (nol) prosen.
4.
Ketika KSP/USP bermaksud untuk
mendorong anggotanya mengembangkan budaya produktif (misalnya : berwirausaha),
maka segala pinjaman yang peruntukannya bagi peningkatan produktivitas anggota
dikenakan jasa pinjaman yang lebih rendah dari lembaga keuangan
manapun. Dengan demikian, usaha anggota tersebut lebih berpeluang berkembang
yang salah satu faktornya disebabkan oleh biaya modal yang sangat rendah. Dalam gaya seperti ini, KSP/USP akan berfungsi
menjadi penyangga likuiditas bagi usaha-usaha yang dijalankan oleh
anggotanya.
5.
Terinspirasi dari kawan-kawan aktivis
koperasi di Malang, Jawa Timur, ketika mereka sangat menginginkan hidup sehat
dan lingkungan yang bersih, KSP/USP nya mengambil kebijakan membayar cicilan
pinjaman hanya boleh dengan “sampah”. Disamping sebagai bagian dari membangun
lingkungan bersih dan hidup sehat, mereka berencana mengembangkan industri
kreatif dari sampah-sampah itu.
6.
Dalam rangka mendorong
anggotanya bisa memiliki rumah yang layak, kemudian KSP/USP membeli sebidang
tanah yang kemudian dicicil anggotanya dengan jasa yang sangat rendah. Ketika
anggota tersebut ingin membangun rumah diatas lahan yang mereka miliki, KSP/USP
memberi talangan 100% dengan jasa pinjaman yang juga sangat ringan.
7.
Terinspirasi dari apa yang
sudah dilakukan oleh kawan-kawan Credit Union (koperasi simpan
pinjam) di kalimantan, dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan masa
depan yang lebih baik mereka mengembangkan budaya menabung dengan
mengkampanyekan slogan “konsumsi adalah sisa menabung”.
Untuk efektivitas tabungan tersebut bagi keterbentukan hidup yang lebih berkualitas,
kemudian mereka membuat indikator keberhasilan seorang anggota koperasi apabila
memiliki 4 (empat) jenis tabungan, yaitu : (i) tabungan investasi masa depan;
(ii) tabungan kesehatan; (iii) tabungan pendidikan dan; (iv) tabungan rekreasi.
Komitmen mereka terhadap budaya menabung telah membawa 500 (lima) ratus orang
yang berprofesi sebagai buruh kebun itu mengalami peningkatan kualitas hidup
yang jauh lebih baik dibanding sebelum mereka berkoperasi, antara lain :
memiliki lahan sawit rata-rata 2 ha/anggota, anak-anak mereka mendapat
pendidikan yang baik dan mereka melakukan perjalanan wisata ke luar negeri.
8.
Menghapuskan “hutang
anggota” berbasis kesetiakawanan. Ketika dalam proses pengambilan
keputusan pemberian pinjaman sudah melalui identifikasi yang detail, dimana
peruntukannya adalah mengembangkan usaha yang ditekuni oleh anggota tersebut,
didalam perjalanan terjadi kehilangan kemampuan dalam mengembalikan pinjaman.
Setelah semua anggota meyakini bahwa anggota tersebut telah berbuat yang terbaik
dari apa yang dia bisa, kemudian anggota bersepakat untuk menghapus
pinjamannya. Hal ini semata-mata dilandaskan atas dasar kesetiakawanan yang
tulus diantara segenap anggota. Mungkinkah kerekatan sosial semacam ini hanya
sebatas khayal?.
Apa yang dapat disimpulan dari beberapa contoh radikal diatas?.
Walau sebagian contoh diatas adalah rekayasa dan hasil pemikiran bernuansa
angan, tetapi contoh ini memberi gambaran yang jelas bahwa KSP/USP sesungguhnya
bukanlah persoalan uang, tetapi tentang bagaimana kebersamaan dioptimalkan
mendorong peningkatan kualitas hidup segenap anggotanya. Dalam ragam contoh
tersebut, uang bukanlah komoditas yang diperdagangkan, tetapi hanya
media/sarana untuk mencapai tujuan-tujuan besar berdimensi peningkatan kualitas
hidup segenap stake holdernya.
Sebagai catatan, hakekat koperasi sesungguhnya membangun kualitas hidup
orang-orang yang terlibat didalamnya. Kebersamaan di mobilisasi ke dalam penyatuan
potensi dan bakat sehingga tercipta keluasan makna dalam berkoperasi, baik secara
organisasi maupun secara pribadi. Contoh-contoh ini juga mempertegas bahwa
kesejahteraan bukanlah semata-mata harus berbentuk SHU (Sisa hasil Usaha),
tetapi lebih luas dari itu berupa pengintegrasian aspek ekonomi, sosial dan
budaya ke dalam produk-produk layanan KSP/USP dan kehidupan angotanya. Dari
ragam contoh diatas juga bisa disimpulkan bahwa target KSP/USP tersebut bukan
lah pada perumbuhan modal, tetapi keterbangunan “orang-orang” yang ada
didalamnya. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan ketika KSP/USP di defenisikan
sebagai media pembentukan kesepakatan sosial berlabel produktif dalam
arti luas.
Mungkin hal ini bertabrakan dengan
realitas mayoritas di kebanyakan koperasi. Namun demikian, kebaikan-kebaikan
yang terkandung dari contoh-contoh diatas setidaknya menarik dijadikan sebagai
bahan kontemplasi, khususnya dalam me-refresh
roh pengelolaan sebuah USP/KSP, akan KAH?
E. Strategi Membangun KSP/USP
Berbasis Ideologi Koperasi.
Ragam keluhan yang sering mengemuka, baik dari sisi anggota maupun sisi
elite organisasi (pengurus dan pengawas), sesungguhnya berawal dari belum
tersosialisasinya defenisi, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi. Anggota
dibiarkan liar mempersepsikan koperasi sebagaimana pemahaman mereka sendiri,
sehingga sisi kepentingan pribadi sering bertabrakan dengan kepentingan
organisasi. Komunikasi yang cair tak bisa dibentuk secara kolektif karena semua
orang berdiri diatas pemahamannya masing-masing.
Oleh karena itu, edukasi/pendidikan adalah hal
terpenting yang harus dilakukan koperasi secara kontinue dan konsisten.
Pendidikan ini harus diselenggarakan sejak pertama kali seseorang ingin
bergabung ke koperasi (KSP/USP) dan dilanjutkan secara kontinue dalam nuansa
re-fresh spirit berkoperasi. Dengan demikian, kesamaan mempersepsikan koperasi,
kefahaman kunci keberhasilan koperasi terletak pada partisipasi anggota,
pengetahuan yang cukup tentang bagaimana memainkan peran secara proporsional,
akan menjadi alat efektif terbangunnya kolektivitas berkualitas, partisipasi
yang optimal dan pada akhirnya berimplikasi pada kelahiran dan perluasan
kebermanfaatan koperasi kepada segenap stake holder koperasi itu sendiri.
E. Penghujung
Hakekat kelahiran koperasi adalah membentuk kesejahteraan dalam arti luas.
Untuk itu, melalui ragam produknya, KSP/USP menjadi lebih dekat dengan
kehidupan anggotanya. Kebermaknaan yang nyata dan peran KSP/USP yang kuat di
dalam ranah perjuangan setiap pribadi anggota mencapai cita-cita, akan menjadi
sumber perekat segenap unsur organisasi, yaitu anggota, pengurus/manajemen,
pengawas. Inilah yang disebut pola pengelolaan KSP/USP berbasis “roh” koperasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
.