MEREPOSISI PERSEPSI DAN
EKSPEKTASI
TERHADAP KOPERASI UNIT
DESA (KUD)
Meng-eksiskan kembali
KUD lewat Aplikasi Jati DIri
Disampaikan pada kegiatan “sosialisasi prinsip-prinsip
pemahaman perkoperasian”, diselenggarakan oleh Disperindagkop Kab. Banyumas tanggal
25 April 2013, di Hotel Atrium, Sokaraja, Kab. Banyumas , Jawa Tengah,
Indonesia.
A. Pendahuluan :Sejenak Melihat ke Belakang
Dalam sejarahnya di waktu lampau, KUD adalah jenis koperasi yang sangat disayang
pemerintah. Ragam fasilitas di gelontorkan guna mendorong pertumbuhan dan
perkembangan KUD. Hal ini bisa difahami, sebab KUD adalah koperasi yang
berinteraksi langsung dengan masyarakat luas, khususnya di pedesaan. Logika ini
juga yang mendorong pemerintah untuk selalu
memilih KUD sebagai perpanjangan tangannya dalam menyentuh rakyat secara
langsung lewat program-program berbasis kerakyatan.
Era berubah dan kebijakan pemerintah terus berubah dan mengalami diinamika.
Fakta kemudian yang megejutkan adalah satu per satu KUD rontok dan tak sedikit
yang tinggal papan nama seiring dengan pencabutan berbagai faslitas pemerintah.
Mengapa bisa demikian?. Adakah fasilitas selama ini telah memanjakan segenap
aktivis KUD, sehingga terlalu asik terhadap asupan pemerintah ?. Adakah
keterlenaan tersebut telah melalaikan KUD tentang pentingnya kemandirian
berbasis kolektif, sehingga KUD benar-benar kehilangan kemampuan berdiri diatas
kakinya sendiri?
Namun demikian, perlu juga mengepresiasi KUD-KUD yang masih bisa eksis
sampai detik ini. Menjadi menarik untuk mencari jawab mengapa mereka bisa
bertahan dan strategi apa yang mereka terapkan, sehingga bisa survive dan berkembang.
B. Bersepakat Sebagai Muasal Kelahiran
Koperasi adalah kumpulan otonom dari orang-orang guna memenuhi aspirasi dan
kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya melalui perusahaan yang mereka miliki
bersama dan mereka kendalikan secara demokratis. Sementara itu, sukarela
dan terbuka yang menjadi salah satu prinsip koperasi menandaskan bahwa berkoperasi itu seharusnya berdasarkan
kesadaran berlandaskan keyakinan dan juga kebutuhan, sehingga setiap orang yang
bergabung terdorong untuk memiliki ikatan emosional yang kuat.
Fakta lapangan menunjukkan, mayoritas koperasi masih di drive
oleh para elite organisasinya, sementara anggota masih pada posisi
passif dan lebih banyak menunggu dan bahkan tidak memiliki kepedulian terhadap
geliat organisasi maupun perusahaan koperasi. Bahkan tak jarang sebagian anggota menjadi apatis
terhadap KUD walau mereka tak kunjung keluar dari status keanggotaannya. Adakah
semua itu akibat dari belum terbentuknya komunikasi yang cair diantara stake
holder koperasi sehingga minimnya informasi dan ketiadaan media penyampaian
aspirasi membuat anggota menjadi hopeless terhadap KUD. Disisi lain, ketika masa depan
KUD di serahkan kepada pada elite
organisasi, kebanyakan para elite organisasi pun tidak memiliki visi besar dan
energi yang cukup dalam men-drive KUD
ke area “perluasan makna” berkoperasi.
maka jadilah KUD berada disituasi “mati segan hidup tak mau”. Adakah
ini akibat dari proses pembentukannya yang tidak mengakar sehingga KUD mewujud
menjadi organisasi yang salah?
Idealnya sebuah koperasi lahir dari
proses bottom-up melalui kesepakatan orang-orang yang memiliki visi
sama dalam membentuk kehidupan yang lebih baik dan berpengharapan melalui
kolektivitas (kebersamaan). Kemudian, mereka melakukan identifikasi masalah,
peluang dan gagasan sebagai dasar perumusan cita-cita. Dalam tahap
perwujudannya, kemudian mereka menyatukan potensi dan energi yang dikemas
menjadi formula distribusi efektif. Pada akhirnya, koperasi akan memasuki
wilayah capaian-capaian bertahap dan berkesinambungan.
Persoalannya adalah ketika KUD sudah
berdiri lama terlenan dalam tidur panjangnya, apa yang harus dilakukan dan dari
mana memulainya?.
C. Pendidikan Sebagai Alat Perubahan
Kejatuhan banyak KUD ke dalam situasi tak berdaya sesungguhnya bermula dari melemahnya moral
perjuangan dan minimnya pemahaman terhadap koperasi itu sendiri. Akibatnya, Ragam
fasilitas yang disajikan pemerintah tidak
dimaknai sebagai “alat percepatan” keterbentukan kemandirian kolektif. Andai, ragam
fasilitas tersebut di maknai berjangka, maka KUD akan selalu
berjuang di atas roh kemandirian
berbasis kolektif dari segenap stake holdernya dan memposisikan ragam kebijakan
pemerintah tersebut sebagai supporting saja. Oleh karena itu, untuk merubah keadaan
dan berada di situasi yang lebih berpengrahapan, KUD harus memulainya dengan perubahan mindset melalui penyelenggaraan pendidikan
perkoperasian.
pendidikan perkoperasian adalah salah satu kunci penting untuk membangun
kapasitas organisasi. Kumpulan orang-orang yang sepemahaman tentu akan lebih
mudah diajak untuk bergerak ketimbang mereka yang masih awam. Melalui pendidikan
yang kontinue , kolektivitas akan mewujud dalam partisipasi aktif dari segenap
unsur organisasi secara optimal. Hal ini penting mengingat bahwa modal terbesar
koperasi adalah pada kebersamaan nya, sebab kebersamaan
lah yang akan men-stimulan setiap orang untuk berkontribusi dalam mencapai
apa-apa yang di cita-citakan bersama ,
Untuk itu, pendidikan tentang ideologi koperasi yang minimal
mengajarkan tentang “apa, mengapa dan bagaimana”
berkoperasi segera diselenggarakan atas dasar kesadaran sebagai sebuah
kebutuhan. Ideologi koperasi harus diedukasikan
tidak hanya pada elit organisasi (pengurus/manajemen dan pengawas), tetapi juga
kepada segenap anggota dan juga calon anggota.
D. Me-Relokasi Tujuan Berkoperasi
Fakta menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat masih memahami koperasi dalam
perspektif ekonomi saja. Bahkan, tidak jarang sebagian masyarakat memandang
koperasi sama dengan perusahaan non-koperasi. Akibatnya, indikator-indikator
pengukuran keberhasilan koperasi pun disamakan dengan pengukuran perusahaan
lain. Banyak yang lupa, bahwa orientasi perjuangan koperasi itu meliputi
pemenuhan kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya, Ketiga sisi ini
selanjutnya terintegrasikan ke dalam unit layanan yang ada di lingkungan perusahaan
koperasi, sehingga koperasi akan tampil berbeda dengan lainnya. Ini bukan
tentang ego perbedaan, tetapi ini tentang ideologi yang memang diperjuangkan
koperasi. Dalam perspektif yang lebih luas, koperasi di fahami sebagai alat
perjuangan kemanusiaan dan juga keadilan ekonomi.
Dalam tinjauan teknis operasional, tujuan berkoperasi sering dibahasakan
“kesejahteraan”. Ironisnya, akibat pemahaman koperasi yang hanya sebatas
aktivitas ekonomi saja, kesejahteraan sering di identikkan dengan SHU (Sisa
Hasil Usaha). Idealnya, kesejahteraan dalam koperasi itu dimaknai sebagai peningkatan
kualitas hidup segenap stake
hodernya (pengurus/manajemen, pengawas dan anggota) yang dalam pencapaiannya
bertumpu pada kualitas kebersamaannya. Artinya, keterbangunan kualitas hidup
dan keterlibatan orang stake holders koperasi dalam proses pencapaiannya adalah
fokus dari aktivitas apapun yang dijalankan koperasi. Dalam bahasa radikal,
bukanlah sebuah persoalan besar sebuah KUD ber-SHU 0 (nol) kalau memang itu
merupakan kesepakatan bersama dan bisa membahagiakan segenap stake holdernya.
Disinilah peran pendidikan membentuk “kesepakatan sosial” yang berujung
pada pendefenisian tujuan-tujuan yang ingin di capai secara kolektif.
E. Menata Karya Berbasis Pola Apresiasi
Secara kelembagaan, orang-orang yang ada di koperasi bisa di golongkan ke
dalam 3 (tiga kelompok), yaitu kelompok
mayoritas yang didefenisikan sebagai
anggota, Pengurus/manajemen dan
pengawas. Ditinjau dari konsepsi koperasi, Subyek dan juga obyek
pembangunan koperasi adalah anggota itu sendiri dan pemahaman ini sering di notasikan ke dalam
kalimat populer“dari, untuk dan oleh anggota”. Sementara itu, dalam proses
membangun keberdayaan koperasi ke arah cita-citanya, koperasi
men-syaratkan adanya peran proporsional
dalam kebersamaan. Artinya, kegotongroyongan adalah semangat yang mendasari
untuk mewujudkan kepentingan kolektif
dan juga pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya.
Mengingat bahwa partisipasi aktif semua pihak menjadi pra-syarat mutlak
dari sebuah keberhasilan kolektif, maka diperlukan pola apresiasi yang
mendorong setiap pihak untuk memberikan kontirubsi berdasarkan bakat dan
potensi yang melekat padanya, baik secara pribadi maupun sevara
organisasi. Hal ini menjadi penting agar
setiap orang bergairah untuk terus berpartisipasi. Apresiasi yang dimaksudkan
bukanlah terbatas pada uang saja, tetapi juga bisa mewujud dalam bentuk
membantu anggota mewujudkan gagasan-gagasannya atau membiasakan diskusi untuk mengukur aspirasi-aspirasi yang
berkembang dilingkungan anggota. Dengan demikian, setiap orang akan merasa
dekat dengan koperasi, setiap orang akan menemukan kepentingannya di dalam
koperasi dan setiap orang mempersepsikan koperasi adalah sahabat terbaik dalam
menemukan solusi atas persoalan-persoalan kehidupan dalam arti luas. Demikian
halnya apresiasi terhadap pengurus dan pengawas, juga memerlukan perhatian
serius. Bagaimana pun juga, saat waktu, energi dan fikiran mereka tercurahkan
untuk menggawangi kebersamaan di koperasi, disisi lain ada hal yang terkalahkan
dari sisi kepentingan pribadi mereka sendiri. Pada titik inilah, kebijaksanaan
segenap stake holder koperasi dan sekaligus belajar bersama menghargai setiap orang yang berbuat untuk
kemajuan bersama di koperasi.
Sebagai perhatian, pola apresiasi ini juga sebagai wujud personifikasi
koperasi yang sangat peduli terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan dan
keadilan. Keterlahiran pola apresiasi
ini juga sebagai sikap kolektif melahirkan ketauladanan internal. Kalau pola
apresiasi ini berhasil dibentuk dan diaplikasikan serta mampu melahirkan percepatan pertumbuhan kualitas hidup segenap
stake holdernya, maka kebersamaan berlabel produktif dalam koperasi mulai menunjukkan titik
efektivitasnya.
Ketika “pola apresiasi” ter bentuk dan juga memiliki daya motivasi untuk
berbuat yang terbaik, maka kebersamaan akan berpeluang membentuk perluasan
kebermanfaatan-kebermanfaatan baru.
F. Sekilas Menilik Peluang KUD Berkembang
Dalam konteks koperasi diposisikan sebagai alat perjuangan membentuk
kualitas hidup yang lebih baik, maka KUD yang secara geografis dekat dengan
masyarakat sangat berpeluang untuk berkembang. Realitas sosial dan budaya
masyarakat dalam menangani kebutuhan ekonominya tentu menginspirasi banyak
aktivitas yang mungkin dilakukan secara kolektif dengan menjunjung tinggi azas
susbidiaris. Subsidiaris yang dimaksudkan adalah “apa-apa yang bisa dilakukan oleh
anggota maka tidak boleh dilakukan koperasi dan apa-apa yang tidak bisa
dilakukan anggota maka akan dilakukan oleh koperasi”. Disinilah posisi
koperasi sebagai media efektif bagi terbentuknya akselerasi pencapaian
tujuan-tujuan pribadi yang di-drive melalui kebersamaan/kolektivitas. Dengan
demikianm ketika koperasi mampu membangun kualitas kebersamaannya dan kuantitas
komunikasi yang tercipta diarahkan pada penciptaan efisiensi kolektif diberbagai sisi kehidupan, maka kedekatan KUD
dengan kehidupan anggota akan melahirkan ragam aktivitas yang berbasis pada kebutuhan anggota dan bermuara pada pembentukan kualitas hidup
dalam arti luas.
G. Penutup berbau kesimpulan
Mereposisi ekspsektasi (harapan) terhadap KUD bukanlah dimulai dari
merancang unit bisnis yang besar, karena itu menjadi percuma bila anggotanya
tidak memiliki komitmen tinggi ikut membesarkannya. Perubahan di KUD harus
dimulai dengan perubahan mindset
melalui pendidikan yang berkelanjutan di segenap pengurus,
pengawas & anggota dimana terbentuknya “rasa memiliki dan ingin
berpartispasi” sebagai sasaran antara menuju petumbuhan makna KUD dalam
menciptakan kualitas hidup yang lebih baik.
Intinya, koperasi bukanlah tentang pertumbuhan uang yang di notasikan
sebagai SHU (sisa hasil usaha) tetapi tentang perjuangan pertumbuhan kualitas
hidup dalam arti luas. Dengan demikian keterpenuhan kebutuhan dan aspirasi
ekonomi, sosial dan budaya akan mewujud kedalam hidup yang lebih
berpengharapan.
Demikian pemikiran sederhana ini disampaikan, semoga mampu menginspirasi
gairah untuk terus mengembangkan koperasi demi keterciptaan kebermanfaatan
dalam arti seluas-luasnya. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Posting Komentar
.