KETIKA
KOPERASI
MENJADI MEDIA PEMBENTUKAN
"KESEPAKATAN SOSIAL BERLABEL PODUKTIVITAS”
MENJADI MEDIA PEMBENTUKAN
"KESEPAKATAN SOSIAL BERLABEL PODUKTIVITAS”
membangun
subyektivitas dalam rasionalitas
A. Pengantar : Tema lama yang tak pernah usai
Saat beberapa orang aktivis koperasi bertemu diberbagai forum dan kesempatan,
seringkali terdengar saling melempar tanya sama yaitu tentang “usaha apa yang
dijalankan” dan berapa “capaian SHU” yang diperoleh. Slanjutnya, kalimat-kalimat
yang mengalir pun seputar
keluhan-keluhan bernada sama, yaitu tentang kesulitan, keterbatasan, ke tidak
bergairahan dan tak pernah terlewat tentang keterbatasan modal yang selalu
diyakini sebagai muasal belum berkembang. Hampir tak tampak semangat
kemandirian dalam ragam keluhan yang berulang itu. Hal ini juga menggambarkan betapa
lemahnya visi perjuangan dalam memajukan
koperasi.
Banyak aktivis koperasi lalai, bahwa kelahiran koperasi adalah membentuk
kualitas hidup yang lebih baik yang
dalam proses perwujudannya mengedepankan kebersamaan (collectivity). Perwujudan
ragam tujuan digapai melalui kebersamaan lewat penyatuan potensi. Ironisnya,
koperasi sering difahami sama dengan PT, CV, UD dan jenis usaha lainnya,
sehingga proses pencapaian tujuan pun menjadi tidak berbeda. Mungkin tidak
berlebihan kalau kemudian mendefenisikan praktek semacam itu sebagai “kapitalis
berbaju koperasi”. Oleh karena
itu, bukanlah sesuatu yang mengherankan kalau
kemudian banyak koperasi menjadi begitu bersemangat bila mendengar ada peluang
bantuan dana hibah atau pinjaman dengan bunga ringan, sebab peluang tersebut
diyakini akan mampu membuat koperasi hebat secara cepat. Apakah benar begitu..??.
B. Rasionalitas
Ber-asa pada SHU
Sampai saat ini, masih banyak yang berpersepsi koperasi sebatas “aktivitas ekonomi’ semata, sehingga
terjebak pada misi perolehan SHU (Sisa hasil Usaha). Akibatnya, koperasi
dipandang tak ubahnya sebuah lembaga investasi dan kemudian dalam pengukuran keberhasilannya
menggunakan ukuran-ukuran pertumbuhan modal dan raihan laba. Padahal, koperasi
adalah kumpulan otonom dari orang-orang, sehingga memacu pertumbuhan SHU yang
memuaskan setiap orang secara materil menjadi sesuatu yang hampir mustahil
bisa diwujudkan. Bisa
dibayangkan, ketika sebuah koperasi dihuni oleh kurang lebih 1000 (seribu)
orang anggota, maka untuk bisa membagi SHU sejumlah pendapatan anggota per bulan
yang misalnya rata-rata bawah sebesar Rp 3.000.000,oo, maka koperasi harus
meraih SHU sebesar Rp 3M per bulan atau Rp 36M per tahun. Kira-kira, usaha apa
yang harus dijalankan koperasi tersebut untuk mencapai level itu?.
Dalam konteks berfikir pragmatis kapitalis, itu mungkin
saja dicapai bila koperasi tersebut ditopang oleh sejumlah permodalan dan
faktor pendukung yang cukup. Artinya, kalau koperasi tersebut menginginkan SHU
sebesar 20% dari
total modalnya, maka untuk mencapai Rp 36M, koperasi harus memiliki modal
sebesar Rp 180 M. Itu artinya setiap anggota koperasi harus menyimpan di
koperasi sebesar Rp 180juta/orang. Mungkinkah?
Hal berbeda ketika koperasi difahami sebagai kumpulan orang yang otonom
untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya melalui
perusahaan yang dimiliki bersama dan dikenalikan secara demokratis, maka
koperasi akan tampil berbeda dan juga memiliki karakter unik yang membedakannya dari pelaku ekonomi
lainnya. Satu hal yang menjadi catatan, itulah sebenarnya konsepsi jati diri
koperasi sehingga pada titik idealnya, operasionalisasi koperasi berkemampuan meng-integrasikan
aspek ekonomi sosial dan budaya ke dalam ragam aktivitas pelayanannya.
Sebagai refresh pengingat dan
juga penyemangat, secara kesejarahan kelahiran koperasi di dunia di inspirasi
oleh ketertindasan kaum buruh pabrik
akibat dari eksploitasi yang
dilakukan kaum pemilik modal. Melalui penyatuan potensi, mereka membangun
keberdayaan diri dan menyelesaikan masalah-masalah pribadi mereka melalui gerakan
kolektif yang terorganisasir ke
dalam sebuah koperasi. Akhirnya,
koperasi berfungsi menjadi alat
perjuangan keadilan ekonomi dan juga media penyelesai persoalan-persoalan kemanusiaan
yang mereka alami.
Mungkin kondisinya jauh berbeda direalitas kekinian, namun spirit ini lah
yang seharusnya menjadi referensi dalam menumbuhkembangkan
perusahaan koperasi. Koperasi harus mampu menjawab persoalan ketimpangan
sosial, mendorong kaumnya meterjemahkan
hidup ke dalam tindakan-tindakan produktif, bijak dan memiliki tanggungjawab
sosial dan lingkungan yang tinggi serta menjadi alat efektif penggerus
ketidakadilan ekonomi. Intinya, koperasi melalui perusahaannya harus membuat
kehidupan lebih berkualitas.
Diberbagai belahan dunia, koperasi-koperasi telah membuktikan perannya
secara nyata sebagai perusahaan yang membentuk “nilai beda”, baik secara perusahaan maupun bagi segenap anggotanya. Hal ini pula yang kemudian mendorong
mendorong PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) selaku organisasi dunia mengeluarkan resolusi yang menetapkan
tahun 2012 sebagai Tahun Koperasi Dunia
(International Cooperative Year/IYC). Uniknya, thema yang diangkat
adalah “cooperative’s entreprise
build better world” yang dalam terjemahan bebasnya “perusahaan koperasi membangun dunia yang lebih baik”. Tema ini tidak menekankan pada besarnya
SHU, tetapi pada efektivitas koperasi sebagai perusahaan yang membuat dunia
lebih baik, seperti perdamaian, pembentukan kualitas sosial yang lebih arif dan
lain sebagainya.
Sebagai bagian dari gerakan koperasi didunia, koperasi-koperasi di
Indonesia termasuk di lingkungan Kab. banyumas pun harus mempersonifikasikan
dirinya kedalam tatanan koperasi sebagaimana seharusnya melalui langkah-langkah
bertahap dan berkesinambungan. Koperasi perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian
yang mem-fungsikan koperasi menjadi “sahabat terbaik” bagi stake holdernya, khususnya dalam rangka membangun hidup yang lebih
kualitas. Ini memang bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan sesuatu yang tidak
mungkin sebab untuk berada di anak tangga tangga ke-100 selalu di mulai dari anak
tangga ke-01, sehingga koperasi harus terus bergerak, bergerak dan bergerak.
Mungkin, sebagian koperasi sudah besar
secara kasat mata (fisikly) dalam ukuran skala perusahaan, tetapi perlu
dibangun kekritisan berfikir apakah apakah koperasi tersebut sudah besar secara
ideologi?. Semoga tanya ini melahirkan
semangat untuk terus memperdalam pemahaman terhadap konsepsi koperasi sekaligus
men-stimulan gairah untuk menggali gagasan-gagasan operasional ke arah praktek yang lebih efektif.
Dalam banyak sejarah, perubahan selalu berawal dari inisiatif elite organisasi
yang memiliki kemampuan men-drive perubahan sampai ke lini terbawah. Untuk itu,
diperlukan skema perubahan melalui tahapan-tahapan berkelanjutan. Segenap elite organisasi koperasi harus
mengoptimalkan pengaruhnya dalam arti mendorong setiap anggotanya lebih faham
koperasi dan memotivasi mereka melakukan tindakan dan sikap berpihak yang
diwujudkan dalam bentuk ikut
mengembangkan organisasi dan perusahaan
secara bersama-sama. Dengan
demikian, perluasan kebermanfaatan kian hari kian meningkat seiring dengan
pertumbuhan kualitas kolektivitas di lingkaran stake holder koperasi.
Oleh karena itu, saatnya koperasi difahami sebagai sebuah ideologi dan
menjadikan hubungan ideologis sebagai
landasan penguatan koperasi dalam arti seluas-luasnya. Dalam menumbuhkembangan
hubungan ideologi, segenap unsur organisasi perlu menyelenggarakan pola komunikasi dan
interaksi dalam nuansa kesetaraan (equality) dan kebersamaan (collectivity) untuk
melahirkan pemberdayaan (empowering)
berbasis produktif. Saat nya perkembangan koperasi ditopang oleh
segenap stake holder. Saatnya anggota lebih dipertegas sebagai obyek
dan juga subyek pembangun koperasi
itu sendiri. Dengan demikian, koperasi tidak akan menjelma menjadi sebuah
korporasi (sebagaimana perusahaan non koperasi) yang berjarak dengan kehidupan
anggotanya, tetapi mewujud menjadi perusahaan yang membumi dan berbasis pada
cita-cita dan kebutuhan anggota. Untuk itu, pelibatan anggota dalam
serangkaian aktivitas koperasi harus lebih digalakkan. Kesempatan anggota untuk
berkiprah diperluas dan didorong ke arah
semangat peningkatan kualitas diri dan perluasan kebermanfaatan bagi lingkungannya.
Nilai-nilai kesetiakawanan dan kegotongroyongan harus dijadikan sebagai sumber
semangat untuk saling meng-edukasi dan saling me-motivasi guna memperkuat diri melalui
koletkifitas. Hubungan ideologis harus dimanfaatkan menggerus rentang komunikasi
dan jarak sosial, sehingga terbentuk iklim komunikasi yang cair dan renyah
terhadap setiap perbedaan maupun gagasan-gagasan yang mengemuka. Dinamika
pemikiran dan pluralitas keinginan harus diakomodir secara bijak dengan
memperhatikan ketersediaan daya dukung yang mungkin dioptimalkan. Sebagai
catatan penting, Kerekatan sosial dalam ideologi koperasi ini sesungguhnya juga
bagian dari skenario meminimalisir
hadirnya kepentingan-kepentingan pragmatis sempit yang berpotensi
membawa koperasi pada konflik psikologis berkepanjangan.
Koperasi harus mampu mewujud menjadi
sahabat terbaik bagi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial
dan budaya dari segenap stake holdernya. Untuk itu, koperasi harus
dimaksimalkan sebagai media pembentukan kesepakatan-kesepakatan
sosial bagi peningkatan kualitas
hidup melalui mobilisasi “kebersamaan berlabel produktif” di keberagaman
potesi yang melekat pada setiap unsur organisasinya.
C. Ketika Perubahan Sebagai Sebuah Keharusan
Perubahan adalah sesuatu yang pasti dalam kehidupan manusia maupun sebuah
organisasi. Berjalannya waktu, berkembangnya ilmu pengetahuan, munculnya
gagasan-gagasan baru, kreativitas-kreativitas baru, perubahan
regulasi/kebijakan, merupakan beberapa contoh faktor yang mendorong terjadinya
perubahan. Pada akhirnya, dikepastian perubahan yang terjadi, setiap orang
atau organisasi hanya dihadapkan pada 2
(dua) pilihan; (i) apakah melakukan perubahan
secara sadar (aktif) atau; (ii) dipaksa keadaan untuk berubah (passif).
Dalam konteks melakukannya secara sadar, perubahan didorong oleh keinginan
untuk mendapatkan atau menciptakaan keadaan yang berbeda dari sebelumnya.
Keinginan kuat membentuk keadaan yang lebih baik, telah menjadi sumber energi
dalam memobilisasi ragam potensi bagi terwujudnya perubahan itu sendiri.
Sementara itu dalam konteks “di paksa keadaan”, perubahan terjadi dalam konteks
ketiadaan pilihan kecuali menyesuaikan
diri. Satu hal yang paling dekat dengan
dunia koperasi saat ini adalah pemberlakukaan UU no 17 tentang perkoperasian
yang menggantikan UU sebelumnya No.25 Tahun 1992. Pemberlakuan UU ini memaksa
koperasi harus melakukan serangkaian perubahan berbentuk “penyesuaian”.
Dalam bahasa semangat, kita sering memiliki keinginan tentang sebuah
perubahan, tetapi kita sering hanya berbuat setengah-setengah dan bahkan tak
jarang tidak berbuat apapun dalam keinginan itu. Kita lalai, perubahan tidak
akan datang dengan sendirinya, tetapi harus diciptakan. Perubahan tidak turun
dari langit tanpa sebuah alasan. Perubahan hanya terjadi bila kita memiliki
keinginan kuat yang tercermin dari fikiran dan tindakan yang konsisten. Dengan
demikian, Tuhan tidak akan tertawa atas
do’a-do’a yang mengemuka. Sebagai catatan, empati dan keberpihakan Tuhan hanya
datang bila terdapat kesesuaian antara keinginan/harapan/cita-cita dan langkah-langkah
yang mengikutinya. Hal ini merupakan
bagian dari bentuk keadilan Tuhan.
Perubahan juga memerlukan semangat untuk membentuk perbedaan.
Oleh karena itu, perubahan membutuhkan keberanian dan mentalitas cukup yang
disertai dengan pengetahuan dan pemahaman yang tepat terhadap arah perubahan
itu sendiri. Oleh sebab itu, perubahan membutuhkan “tema sentral” yang
merefresentasikan “gambaran keinginan” dan juga memiliki daya magis sehingga
menginspirasi semangat dan energi untuk segera mewujudkannya. Satu hal yang
tidak kalah pentingnya, “tema sentral” perubahan harus memiliki nilai harapan. Adakah
perubahan benar-benar menjadi sebuah keinginan??.
D. Merumuskan Akitivitas Perusahaan Koperasi
Berlandaskan Azas Subsidiary.
Perusahaan dalam koperasi adalah media/alat untuk mencapai tujuan, yaitu
keterjawaban aspirasi dan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya segenap stake
holder nya. Untuk itu, Koperasi
dalam merumuskan aktivitas perusahaannya harus memiliki roh yang jelas dan
tegas, yaitu “mencerdaskan anggota”, baik dalam hal penggunaan pendapatan
maupun dalam hal peningkatan pendapatan. Sementara itu, dalam menentukan jenis
aktivitasnya, koperasi harus menjunjung tinggi azas subsdidiary dimana apa-apa
yang bisa dilakukan oleh anggota maka tidak boleh dilakukan koperasi dan apa-apa
yang tidak bisa dilakukan anggota maka akan dilakukan oleh koperasi. Disinilah
posisi koperasi sebagai media efektif bagi terbentuknya akselerasi pencapaian
tujuan-tujuan pribadi. Cara baca inilah yang kemudian menempatkan koperasi di identikkan
dengan perjuangan kemanusiaan dimana keterbangunan “hidup berkualitas bersama”
menjadi tujuan akhirnya.
Sementara itu, proses pencapaiannya dilakukan melalui kolektivitas berbasis
peran proporsional. Satu hal yang menjadi catatan penting adalah perusahaan
koperasi harus menjadi mesin penjawab “keterbangunan kualitas hidup anggota”.
Oleh karena itu, aktivitas perusahaan koperasi harus berkomitmen tinggi pada
“logika mencerdaskan”.
E. Individual Interest di Koperasi Dalam Tanya
Besar
Dalam perspektif filosopi, inti dari pejuangan koperasi adalah menciptakan
kehidupan yang lebih baik yang sering didefensikan dengan “kesejahteraan”. Dalam mencapai tujuannya, “manusia/orang”
adalah subyek dan obyek dari perjuangan koperasi itu sendiri. Itulah sebabnya mengingat koperasi
menekankan kebersamaan di dalam mewujudkan cita-citanya, koperasi lekat dengan
istilah “pemberdayaan alias empowering”.
Sebagai organisasi yang berkomitmen menciptakan keadilan ekonomi
melalui memanusiakan manusia, seharusnya
sepanjang perjalanan organisasi dan
perusahaannya koperasi harus menunjukkan komitmen dalam hal ini. Keadilan itu
harus mewujud dalam proporsionalitas yang mendorong semua orang/stake holder
termotivasi untuk berpartisipasi secara optimal.
“Adil tak berarti sama”, mungkin inilah kalimat tepat yang harus di intrepretasikan
kedalam formula yang memotivasi. Kesejahteraan yang sering didengungkan harus
di pola kedalam notasi-notasi yang menghargai setiap peran/partisipasi yang
disumbangkan oleh setiap orang bagi terwujudnya perluasan makna koperasi bagi
pertumbuhan kualitas hidup segenap unsur organisasinya. Formula yang dihasilkan
harus memotivasi setiap orang memberikan yang terbaik sehingga terwujud apa yang
disebut kebersamaan berbasis kolektif. Kebersamaan harus diedukasikan dalam
pemahaman yang tepat dan berlangsung
dalam nuansa demokrasi yang berkeadilan.
Sebagai bahan kontemplasi bersama, beberapa tanya
disajikan berikut ini :
1.
Seberapa jauh koperasi telah mengapresiasi
setiap gagasan atau partisipasi anggota
demi kemajuan koperasi?.
2.
Bagimana anggota mengapresiasi
perwakilan mereka (baca: pengurus dan pengawas) dalam menjalankan amanah yang
dititipkan oleh anggota?
3.
Bagaimana pula koperasi
mengapresiasi manajemen dan karyawan/ti sehingga terbangun keyakinan pada diri
mereka bahwa di koperasi ada masa depan dan juga mesin penjawab apa yang
menjadi cita-cita pribadinya.
Tanya ini sebenarnya dimaksudkan untuk me-mantik segenap penggerak koperasi
untuk menemukan jawab mengapa “totalitas” dan “militansi” masih sulit di dapatkan
dalam berkoperasi. Kita bisa lihat bagaimana pada pelaku ekonomi lainnya (baca:
non koperasi), begitu bersemangat dalam mengembangkan dan mengelola
perusahaannya, mulai dari performance sampai langkah-langkah yang begitu
atraktif. Kondisi ini menginspirasi
untuk berhipotesa bahwa :
1. belum didapatkannya “totalitas”
dalam berkoperasi dari setiap orang dikarenakan belum terdefenisinya “formula
apresiasi” yang berkeadilan dan mendorong semua unsur untuk menyumbangkan yang
terbaik dari apa yang dimilikinya.
2. Koperasi sebagai organisasi
yang meng-agungkan “kebersamaan berlabel produktif” masih difahami dalam
konteks sosial, sehingga koperasi dimaknai hanya sebagai media efektif bagi
pembentukan “sejarah kebaikan” saja dan men-tabu-kan bicara tentang apresiasi
dalam kontek ekonomi.
3. Kedua hipotesis sebelumnya
melahirkan hipotesis berikutnya, yaitu masyarakat belum menemukan kenyamanan
dalam berkoperasi.
Apapun jawaban akhir dari hipotesis tersebut, koperasi harus mewujud
menjadi mesin penjawab cita-cita pribadi
dari setiap orang yang terlibat didalamnya. “Kebersamaan yang berkeadilan”
harus diwujudkan dalam pola yang mendatangkan kenyamanan bagi setiap orang
untuk mengambil inisiatif mengembangkan potensi-potensi pribadinya dalam nuansa
kebersamaan yang tetap terpelihara. Saat hal itu benar-benar mewujud, koperasi
tersebut sudah mencapai level kedewasaan berkoperasi.
F. Penutup
Saatnya memulai perubahan yang dirangkai melalui tahapan-tahapan
berkelanjutan. Saatnya memandang
koperasi dalam perspektif luas dan tidak sebatas perspektif ekonomi saja, sebab
koperasi merupakan media pembentuk kesepakatan sosial berlabel produktif yang
berdimensi pada penciptaan kualitas hidup segenap stake holdernya. Didalam
prosesnya, koperasi harus me-refresentasi-kan sebuah perjuangan keadilan
ekonomi yang dimulai dari lahirnya ketauladanan internal melalui terdefenisi
dan teraplikasikannya “formula brilian” yang memotivasi setiap orang untuk
berpartisipasi optimal. Saatnya koperasi mewujud menjadi media yang nyaman bagi
pengembangan setiap bakat-bakat yang melekat pada setiap unsur organisasi,
sehingga pertumbuhan ragam kebermanfaatan koperasi akan mendekatkan koperasi ke
dalam kehidupan anggotanya. Ketika semua ini mewujud, maka mendefenisikan
koperasi sebagai soko guru ekonomi bangsa menjadi nyata adanya. Semoga.....
GALLERY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
.