Majalah PIP (Pusat Informasi Perkoperasian) Bersapa Dengan Anak Kampung
1. Sejak kapan Anda mengenal
koperasi? Bagaimana persepsi Anda tentang koperasi, ketika pertama
kali mengenalanya?.
kali mengenalanya?.
2. Sejak kapan Anda terlibat
aktif di koperasi, di koperasi mana, apa motivasinya?
Saya
mulai terlibat aktif sejak semester 02 saat kuliah di Universitas Jenderal
Soedirman, sekitar tahun 1993. Awalnya, saya hanya ingin menjadi aktivis kampus
saja dan kebetulan senior saya mengajak untuk aktif di koperasi mah asiswa. Saya
iyakan ajakan senior tersebut, apalagi saat itu koperasi mahasiswa mengelola
ragam usaha, sehingga saya berfikir di kopma ini saya bisa mengembangkan
talenta wirausaha. Sebab, waktu di kampung dulu saya bersama orang tua pernah
mengelola sebuah toko, peternakan ayam broiler dan juga kolam ikan. Jadi, sejak
kecil saya memang tertarik pada kewirausahaan.
3.
Ketika pertama kali menjadi
pengurus koperasi, gebrakan apa yang Anda lakukan? Apa hasilnya?
Sebenarnya,
saya mengalami 2 (dua) fase dalam menekuni dan belajar tentang koperasi. Fase I
(1993 sampai dengan 2003) dan Fase II (2003 sampai sekarang). Pada fase I saya
memahami koperasi dari perspektif ekonomi saja, sehingga selalu fokus pada
penciptaan SHU yang tinggi. Ironisnya, pencapaiannya pun murni menggunakan
prinsip-prinsip ekonomi ansih dan alfa dalam hal nilai-nilai dan
prinsip-prinsip koperasi. Oleh karena itu, saat saya diamanahi menjadi ketua
koperasi mahasiswa Unsoed tahun 1996, arah kepemimpinan saya fokus pada pengembangan
kewirausahaan, pola pengembangan profesionalisme ansih dan pengembangan
kader. Pada tahun 2004, saat
junior-junior saya di koperma Unsoed getol mengkampanyekan tentang jati
diri koperasi, pemikiran saya menjadi terguncang. Apalagi saat
adek-adek junior mendefenisikan saya sebagai kapitalis yang berbaju koperasi.
Namun demikian, setelah mengikuti berbagai diskusi pemikiran koperasi bersama
para junior, bertahap saya mulai bisa menerima dan ikut mendukung gagasan
perjuangan pengembalian koperasi ke konsepsi dasarnya. Kebetulan, saat masa
transisi pemikiran itu terjadi, saya
sudah menjadi seorang profesional di koperasi (KPRI SEHAT RSUD Prof.Dr.margono
Soekajo, Purwokerto yang dikenal dengan sebutan siSehat), sehingga mulai saat
itu juga saya dan kawan-kawan di siSehat mulai mencari formula efektif
mengimplementasikan Jati diri koperasi secara bertahap dan berkesinambungan.
Sejak saat itu, saya mulai memasuki fase ke-2, dimana saya memandang koperasi sebagai
kumpulan orang yang berkomitmen untuk hidup bersama guna memenuhi aspirasi dan
kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya melalui perusahaan yang mereka miliki
bersama dan mereka kendalikan secara demokratis. Pendalaman-pendalaman terus
dilakukan dan diikuti dengan ragam uji coba lapangan guna mendapati keyakinan empiris
tentang kedahsyatan konsepsi koperasi melalui peng-integrasian tujuan-tujuan
ekonomi, sosial dan budaya ke dalam perusahaan koperasi . Oleh karena itu, pada
saat didaulat kawan-kawan untuk memimpin Kopkun (Koperasi Kampus Unsoed) pada
tahun 2006, saya langsung mengambil kebijakan radikal bahwa salah satu syarat wajib
untuk menjadi anggota koperasi adalah lulus pendidikan dan pelatihan dasar
koperasi. Langkah ini dimaksudkan untuk
membentuk pemahaman dan persepsi yang sama di segenap Unsur organisasi minimal
dalam hal apa, mengapa dan bagaimana berkoperasi. Dengan demikian, disamping
memiliki persepsi yang sama terhadap koperasi, setiap orang yang bergabung juga
mengerti arah kebersamaan yang di tuju dan faham peran apa yang harus
dilakukannya sebagai anggota. Alhamdulillah, walau masih jauh dari selesai, hal
ini cukup efektif dalam membangun kolektivitas khususnya bagi pertumbuhan dan
perkembangan Kopkun, baik secara organisasi maupun secara perusahaan.
4.
Mengapa (setelah lulus
kuliah) Anda tertarik bekerja di koperasi?
Saya lulus kuliah
Desember 1996, saat itu saya masih menjabat ketua koperma Unsoed untuk ke-2
kali sehingga harus menyelesaikan periode kepemimpinan sampai maret 1997.
Alhamdulillah, berkat informasi dari seorang senior koperma Unsoed, pada akhir
maret 1997 saya mulai bekerja di KPRI SEHAT RSUD Prof.Dr.Margono Soekarjo
Purwokerto. Awalnya, pilihan bekerja di koperasi mengundang pro-kontra, mulai
di keluarga sendiri, kawan-kawan kuliah dan para sahabat aktivis maupun calon
mertua...(he2). Saya mencoba berbesar hati sekaligus melakukan ragam
pendekatan. Hal tersulit adalah meyakinkan mereka bahwa di koperasi ada
kehidupan dan masa depan. Saya mencoba meyakinkan mereka bahwa idealisme
koperasi layak diperjuangkan. Saya tegas kan mereka bahwa saya masih penasaran
membuktikan apakah defenisi ”koperasi sebagai sokoguru perekonomian” layak di
lanjutkan atau hanya propaganda kosong. Bahkan saya berjanji kepada kawan-kawan
aktivis, bila ternyata koperasi hanya propaganda kosong, maka saya akan memperjuangkan
untuk menghapus ”koperasi” di negeri ini. Mereka hanya tersenyum hambar, tetapi
saya mencoba belajar berbesar jiwa atas segala macam reaksi minir. Untuk
menghibur diri, saya selalu mengatakan ”Ini tentang keyakinan, mempercayai
sesuatu yang belum terlihat”
5.
Ceritakan sekilas,
bagaimana keadaan KPRI sebelum Anda masuk, dan setelah Anda bekerja sebagai
manajer.
Saat pertama
kali masuk di Maret 1997, KPRI SEHAT RSUD Margono Soekarjo Purwokerto (biasa di sebuah siSehat) memiliki
11 (sebelas) orang karyawan dengan unit layanan simpan pinjam, toko kecil, foto
kopi dan kiostel. Alhamdulillah, setelah berproses panjang dengan kawan-kawan
(pengurus, pengawas, karyawan dan seluruh anggota) dan setelah melalui ragam dinamika,
saat ini siSehat bisa mengembangkan organisasi dan perusahaannya. Unit-unit
layanan yang dijalankan saat ini adalah unit simpan pinjam, toko swalayan 4
(empat) outlet, foto kopi 2 (dua) unit, unit layanan parkir 2 (dua) area,
kantin 4 (empat) outlet dan Unit Perumahan Griya Shifa Alamanda 166 (seratus
enam puluh enam) unit rumah dan 34 (tiga puluh empat) ruko. 2 (dua) hal yang
menjadi catatan penting dari perjalanan siSehat; (1) semua ini bukan tentang
uang, tetapi tentang upaya mempertinggi nilai kerja sama melalui belajar
bersama untuk saling mempercayai satu sama lain dan; (2) semua ini masih jauh dari selesai. Oleh
karena itu, kalau ini disebut bagian dari capaian, maka semua ini merupakan
capaian kolektif dan bukan capaian seorang manager saja. Sebab, koperasi tidak
mengenal kata aku, kamu dan dia, tetapi koperasi mengajarkan tentang
”kita”.
6.
Menurut Anda, apakah
koperasi konsumen punya potensi untuk dikembangkan di Indonesia? Bagaimana
upaya pengembangan itu harus dilakukan.
Saya meyakini bahwa koperasi
konsumen memiliki peluang besar untuk berkembang di Indonesia, sepanjang
koperasi berjalan di atas konsepsinya. Sayangnya, sebagian besar dari pegiat
koperasi masih memandang koperasi sebagai perusahaan murni dan terjebak dengan
pengejaran SHU sebesar-besarnya. Akibatnya, koperasi tergoda memainkan
cara-cara non-koperasi dan ironisnya mayoritas belum menunjukkan keberhasilan
dan bahkan tertinggal jauh dengan kawan-kawan non-koperasi, demikian juga hal
nya koperasi konsumsi. Sebagai catatan penting, hal pertama yang perlu dibangun
dari koperasi adalah ”keyakinan kolektif” dari segenap unsur organisasi. Hal
ini bisa dilakukan lewat edukasi dan sosialisasi berkesinambungan dan
bervariasi dengan mendasarkan diri pada defenisi, nilai-nilai dan
prinsip-prinsip koperasi. Dengan demikian, akan terbangun kesadaran untuk
bepartisipasi dan mengambil tanggungjawab untuk ikut membesarkan perusahaan
yang di miliki bersama. Pertumbuhan kesadaran ini linier dengan pertumbuhan
peluang koperasi konsumsi mengembangkan ragam unit layanan berbasis kebutuhan
anggotanya. Apalagi ketika kesadaran anggota ini di drive sampai kepada
tanggungjawab untuk mengembangkan keanggotaannya secara kuantitatif, maka
penciptaan efisiensi kolektif di
unit-unit layanan koperasi akan semakin terbuka. Disamping metode evolusioner berbasis edukasi dan
kemandirian kolektif, sebenarnya ada cara lain yang bisa ditempuh yaitu metode
revolusioner berbentuk intervensi
yang edukatif dari pemerintah . Misalnya, pemerintah mengajak satu atau
beberapa koperasi yang concern dan berkomitmen pada pembangunan koperasi
berbasis jati diri untuk mendirikan
sebuah supermarket yang besarnya sama dengan supermarket terbesar di daerah
tersebut Untuk mendukung gagasan tersebut, pemerintah memberikan pinjaman modal
berjangka untuk keperluan pembangunan supermarket tersebut dari A sampai Z. Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting
dari aplikasi pola ini; (1) pinjaman dikembalikan lewat schedulling yang
disiplin; (2) pengelolaannya berbasis jati diri koperasi dengan menjunjung
tinggi otonomi koperasi; (3) melibatkan para profesional yang faham pengelolaan
supermarket modern dan bisa mengintegrasikan nilai-nilai ekonomi, sosial dan
budaya ke dalam dataran teknis operasional layanan. Kebaikan pola ini adalah
pada kecepatan,
artinya kehadiran supermarket ini bisa dijadikan ikon efektif dalam
mengkampanyekan dan sekaligus
menumbuhkembangkan kepercayaan masyarakat terhadap koperasi. Namun demikian, ketika pola ini tidak diikuti
dengan sosialisasi dan edukasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, maka
supermarket ini akan tampil layaknya non-koperasi. Keburukan
pola ini adalah bila intervensi semacam ini diartikan sebagai momen ”bagi-bagi
duit segar”. Kalau hal ini terjadi, maka jangan berharap supermarket
itu akan berjalan sesuai konsepsinya dan hal ini juga akan mengulang ragam
bantuan yang sering menuai masalah yang sama. Namun
demikian, idealnya koperasi harus tumbuh
dan berkembang melalui proses bertahap. Pola intervensi pemerintah hanyalah
bersifat opsional saja.
Posting Komentar
.