MENILIK REALITAS SOSIAL
DAN MEMBUDAYAKAN SIKAP KRITIS
DI KALANGAN KOMUNITAS INTELEKTUAL
B. Kemapanan Melenakan
Perubahan lahir dari satu kondisi yang membuat tidak
nyaman. Perubahan selalu didorong oleh keinginan atas iklim yang lebih baik dan
berpengharapan. Perubahan selalu memuat agenda koreksi realitas yang disertai
solusi integratif yang didalamnya
terkonsep secara sistematis tentang tujuan atau semacam impian. Persoalannya
adalah, mungkinkah berharap perubahan datang dari situasi kemapanan?.
Pertanyaan ini menarik untuk dicari jawabnya, sebab hal
ini membantu dalam tahapan auto koreksi seberapa jauh kaum
intelektual bernama mahasiswa memiliki gairah untuk menjaga aura
intelektualitasnya dalam bentuk kesadaran mengambil tanggungjawab moral atas
realitas sosial kekinian. Jawab atas tanya itu
juga membantu dalam melakukan pemetaan obyektif apakah mahasiswa saat
ini lebih memilih passive dan membiarkan diri sebagai obyek setiap perubahan
atau mengambil inisiatif menciptakan keadaan-keadaan baru yang lebih
berpengharapan bagi dirinya dan banyak orang.
Fakta menunjukkan,
realitas kekinian generasi muda (mahasiswa) banyak yang berada pada
situasi mapan yang penuh dengan kemudahan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah membuat segala sesuatunya menjadi mudah. Era keterbukaan
informasi membuat setiap orang bisa meng-akses satu kejadian di tempat nun jauh
disana dalam waktu singkat dan berbiaya murah. Adakah ragam kemudahan telah membentuk
mahasiswa menjadi karakter “serba instan” ??. Apakah hal ini kemudian berpengaruh pada
rendahnya “gairah” mahasiswa dalam membuat agenda-agenda perjuangan???. Tanya ini layak menjadi bahan kontemplasi.
C. Keluar Dari Zona Zaman (Out From Comfort Zone).
Perjuangan lekat
dengan keprihatinan. Ironisnya, terlalu sulit menemukan keprihatinan di zona
nyaman (comfort zone), sebab letaknya
hampir selalu pada zona ketidaknyamanan. Kalau demikian adanya, pilihan terbaik
untuk berjuang terdapat 3 (tiga) pilhan; (i) mendefenisikan ketidaknyamanan
sebagai sebuah masalah yang harus ditemukan solusinya; (ii) mendefenisikan kenyamanan sebagai sebuah
ketidaknyamanan sehingga mengagendakan tema perjuangan; (ii) keluar dari zona nyaman dan mengibarkan
genderang perjuangan. Ini hanya persoalan pilihan dan pada poin manapun berketetapan
semuanya memerlukan niat yang tulus dan upaya yang sungguh-sungguh.
D. Realitas Sosial dan Tanggungjawab Kaum
Intelektual.
Sebagai kaum muda intelektual, membiarkan keadaan
tampaknya bukan pilihan menarik. Disamping memposisikan diri n menjadi obyek
keadaan, pembiaran berpotensi membawa pada sesat fikir dan sesat perilaku.
Artinya, sikap kritis diperlukan dalam mensikapi realitas dan hal-hal baru yang
datang dalam kehidupan dirinya dan masyarakat. Sikap kritis bukanlah sebuah
kejahatan, tetapi sebagai proses filterisasi (penyaringan) sebelum menentukan
menerima sebagian, keseluruhan atau menolak sesuatu. Sikap kritis bukanlah
bermakna anti perubahan, tetapi justru simbol semangat menggawangi perubahan
agar bernilai kebaikan dan terhindar dari kemudhorotan. Sikap kritis tidak
identik dengan ngeyel, sebab sikap kritis diwujudkan dalam sikap yang obyektif
dan tidak berpihak pada kelompok tertentu yang memiliki hidden agenda yang
bermuara pada hal-hal negatif. Sikap
kritis juga diperlukan dalam mendorong lahirnya gagasan-gagasan baru bagi
keterciptaan iklim masyarakat yang lebih positif. Sikap kritis diperlukan dalam
segala aspek kehidupan. Sikap kritis juga diperlukan dalam rangka membudayakan keterbukaan.
Sikap kritis juga diperlukan dalam membentuk budaya kreatif dan produktif dalam
arti luas. Hanya saja, hasil pemikiran dan sikap kritis ini harus dikomunikasikan,
di sosialisasikan dan di edukasikan dengan bijak, sehingga efektivitas dari
maksud dan tujuan peng-kritisan berimplikasi positif bagi keterciptaan kebaikan-kebaikan
baru. Disamping itu, pemikiran dan sikap kritis seharusnya bersih dari niat
mambangun popularitas dan benar-benar dilandasi atas niat tulus untuk
menyumbangkan kebaikan. Menjelma menjadi kelompok kecil eksklusif tanpa
mem-bumi bukanlah sesuatu yang layak dibanggakan, sebab tak ada kebermaknaan
bagi orang lain dengan cara itu. Bahkan eksklusifitas berpotensi membentuk
kesombongan dan membawa pada keberhasilan semu.
Oleh karena itu, sebagai kaum intelektual muda, mahasiswa
harus membangun inisiatif mewarnai
realitas masyarakat agar lebih maju, lebih baik dan lebih bijaksana.
Bagaimanapun juga, pada status mahasiswa terdapat tanggungjawab moral
mencerdaskan masyarakat; khususnya golongan berpendidikan rendah. Langkah ini
bukan hanya persoalan menyelesaikan tanggungjawab horizontal saja, tetapi juga
menyelesaikan tanggungjawab keilmuannya di hadapan Tuhan. Ilmu dititipkan pada
manusia untuk disebarluaskan. Ilmu yang dipercayakan Tuhan bukan hanya untuk
mencerdaskan dirinya sendiri, tetapi juga harus bisa mencerdaskan orang lain
dalam arti luas. Berilmu bukanlah alat untuk merendahkan orang lain, tetapi
berilmu seharusnya membuat manusia lebih memiliki empati dan kebijaksanaan. Kalau
ilmu yang ada bisa membuat seseorang hidup sejahtera, mengapa kemudian tidak
menyebarluaskannya sehingga tercipta kesejahteraan ummat. Bukankah ada peluang
kebaikan didalam langkah-langkah mempertinggi derajat orang lain???.
Sebagai mahasiswa, mulailah berfikir bijak dan
menumbuhkembangkan kepedulian sosial. Sebab banyak hal-hal yang terjadi di kehidupan
masyarakat yang memerlukan pencerahan agar mereka tidak salah melangkah dan
terjerumus ke arah yang salah. Mahasiswa memiliki potensi besar pada penalaran
dan keilmuan, sehingga mahasiswa bisa lebih jernih memetakan realitas dan juga
melakukan serangkaian tindakan yang efektif. Saran ini bukan berarti tidak mempercayai
struktur pemerintah yang sudah komplit
sedemikian rupa, tetapi lebih banyak yang peduli dan mengembangkan inisiatif,
akan lebih cepat tercipta kesejahteraan masyarakat.
E. Sekelumit Realitas Sosial Sebagai Inspirasi
Awal Materi Perjuangan.
Perjuangan memerlukan obyek dan tema, sehingga
terdefenisi fokus yang akan dibangun. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemetaan
guna menentukan materi perjuangan yang akan dilakukan secara sistematis. Sebagai stimulan, beberapa realitas sosial
akan dijabarkan berikut ini dalam
pembacaan yang sangat sederhana, yaitu :
1.
Sikap
Masyarakat Terhadap Perbedaan Ragam Aliran Islam. Saya tidak begitu faham bagaimana muasal lahirnya
perbedaan faham yang kemudian didefenisikan sebagai aliran, tetapi yang menjadi
perhatian dan bahkan keprihatinan saya adalah sikap masyarakat mensikapi sebuah
perbedaan. Ini realitas sosial keagamaan yang memerlukan pembinaan, sehingga
“perbedaan sebagai rahmat” diimplementasikan secara bijak sehingga tak ada
golongan yang menganggap lebih benar ketimbang golongan lainnya, tak ada sikap
meng-kafir kan orang lain dan yang terpenting tidak terjadi keresahan dan
bahkan perpecahan hanya karena akibat
berbeda aliran. Sikap toleransi harus terbangun sehingga kondusifitas
masyarakat terjaga.
2.
Konsumerisme. Dominasi kapitalisme dengan ragam produk yang
ditawarkannya telah berhasil membangun konsumerisme di tengah masyarakat.
Materialistis adalah sifat turunan berikutnya akibat suburnya budaya konsumtif
. Hal ini tidak hanya pada pola konsumsi saja, tetapi berimplikasi luas pada
sendi-sendi kehidupan masyarakat, antara lain dijadikannya capaian materialitas
sebagai indikator keberhasilan atau kesuksesan. Akibat berikutnya adalah
individualisme, dimana semua orang cenderung
berlomba untuk saling mengalahkan. Bahkan tak jarang melakukan hal-hal tak
tepuji hanya untuk menjadi seorang
pemenang atau hebat. Lihatnlah mobil
yang fungsi dasarnya adalah sebagai alat transportasi, sekarang sudah dikemas
juga menjadi fungsi harga diri sehingga orang berlomba-lomba membeli mobil
mewah. Lihatlah, bagaimana Hand Phone yang tadinya sebagai alat
komunikasi dan sekarang dikombinasi menjadi fungsi gengsi. Tidak hanya di situ,
rumah sakit dan bahkan pemakaman juga menerapkan kelas-kelas yang juga
menggambarkan status sosial ekonomi masyarakat penghuninya. Kata “pemenang dan
Hebat” telah berhasil menjadi ikon yang
menarik untuk dicapai bagi kebanyakan
orang. Inilah propaganda sukses yang
memang mereka ingin, sehingga masyarakat terjebak dalam konsumerisme yang
berarti akan mendongkrak omzet dan keuntungan
dari industri yang mereka kelola.
Oleh karena itu, men-tema-kan solidaritas, kegotongroyongan,
kesetiakawanan, mulai tampak menjadi aneh dan barang langka. Ini masalah serius
yang memerlukan pengkritisan dan pensikapan yang cerdas.
3.
Modernisasi
Hijab. Muasal
hijab adalah persoalan menutup aurat kaum hawa, sehingga keterlindungan
keindahan wanita terjaga dan potensi kriminalitas telah dicegah lebih dini.
Namun demikian, hijab kemudian mengalami fase modernisasi begitu cepat. Secara
ekonomi hal ini telah mendorong laju industri, namun disisi lain hal ini
ber-efek pada penyuburan konsumerisme. Keindahan sepertinya telah disalah
artikan, sehingga budaya narzisme menggejala dalam dunia hijab. Berpakaian baik
dan indah yang seharusnya untuk suaminya telah berubah arah kepada persoalan
ekspose dan eksistensi diri. Kesederhanaan berpakaian yang diagungkan islam
tampaknya kian menjauh di realitas kaum perempuan. Adakah ini sebagai
persoalan???. Yang jelas, pengungkapan hal ini bukan sebagai proklamasi anti
modernisasi, tetapi sebuah ajakan untuk berfikir mensikapi realiras ini menjadi
bijak. Adalah benar dalam tinjauan ekonomi kondisi ini menjadi peluang, tetapi
mengambil keuntungan dan kemudian menciptakan kerusakan sosial juga bukanlah
sesuatu yang bijak.
4.
Pola
interaksi dan komunikasi antar jenis kelamin. Sinetron dan film telah sukses menjadi alat kampanye
tentang komunikasi tak berjarak antara kaum lelaki dan kaum perempuan.
Kesakralan berduaan bagi insan berbeda jenis kelamin tanpa ikatan pernikahan
telah luntur dan berubah menjadi serba bebas. Tak ada lagi kerikuhan dikalangan
remaja atau dewasa atau kaum muda untuk bergandengan tangan, berkendaraan
bermotor dengan posisi berdempetan dan bahkan lebih dari itu di depan khalayak
umum. Ironisnya, masyarakat pun menerima hal ini sebagai sebuah perubahan iklim
yang wajar. Adakah ini berawal dari lenturnya masyarakat menjaga nilia-nilai
agama?. Ataukah efektivitas kaum ulama yang melemah dan melakukan pembiaran ?.
Yang jelas, ini pun realitas sosial yang merupakan masalah serius.
5.
Ketergerusan
Budaya Unggah Ungguh.
Kampanye demokrasi dan perjuangan kesetaraan telah menyumbang tergerusnya
paradigma unggah-ungguh. Disatu sisi demokrasi membuat hambatan komunikasi
tergerus, tetapi disisi lain hal ini disalah artikan sebagai sebuah kebebasan
tanpa batas dalam berpendapat dan berbuat. Demikian hal nya dengan pola
komunikasi antara yang lebih tua dan
muda, sudah tidak terlihat batasan berlandaskan hormat, tetapi mengarah pada
kesetaraan. Hal yang sama juga terjadi dalam hal komunikasi seorang anak dengan
orang tua, seorang siswa dengan murid, seorang atasan dengan bawahan, seorang
rakyat dengan pejabat, seorang menantu dengan mertua dan lain sebagainya.
Disatu sisi perubahan iklim ini memiliki nilai positif, tetapi disisi lain
menimbulkan keresahan sosial. Adalah benar bahwa “otoriterisme” sangat mungkin subur dalam budaya unggah
ungguh yang kuat, tetapi adalah sebuah masalah ketika rasa hormat hilang hanya untuk alasan kesetaraan.
7.
Nikahan,
Muallimahan dan resepsi.
Ditinjau dari sudut tujuan, nikah adalah proses penghalalan hubungan dua insan
berbeda jenis kelamin yang bukan muhrimnya. Sementara itu. Mu’allimahan adalah
satu bentuk sosialisasi sehingga pasangan pengantin terhindar dari fitnah di
tengah-tengah masyarakat. Sedangkan resepsi adalah budaya yang di dalam agama
islam tidak dipersyaratkan. Namun demikian, ntah mulai kapan respsi atau pesta
yang merupakan budaya seolah menjadi rukun nikah, sehingga dianggap tidak
afdhol kalau tidak dirayakan. Ironisnya, perayaan selalu di konversikan sebagai
bagian dari harga diri keluarga, sehingga kemewahan respsi seolah menjadi
tuntutan yang wajib hukumnya. Akibatnya, banyak yang menunda pernikahan karena
belum siap menyelenggarakan pesta, artinya dalam hal ini budaya telah
mengalahkan agama yang merupakan dasar utama berlangsungnya sebuah pernikahan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau banyak anggota masyarakat yang
memaksakan diri dalam menyelenggarakan sebuah pesta pernikahan. Adakah ini
untuk sebuah kata “hebat” ?. Ataukah harga “halal” kian mahal”. Ataukah ini bentuk keberhasilan
mengidentikkan skala pesta pernikahan dengan harga diri keluarga???. Ini pun masalah
sosial yang memerlukan pengkritisan dan pensikapan yang bijak.
8.
Dan
lain sebagainya.
Banyak lagi persoalan-persoalan yang menjadi realitas
sosial yang meresahkan. Pengungkapan beberapa contoh diatas hanya stimulan bagi
kaum muda intelektual agar termotivasi untuk menggali lebih dalam dan
berinisiatif membentuk solusi efektif.
F. Penutup
GALLERY
Posting Komentar
.