A. Pembuka : Memahami Untuk Berninisiatif
Satu pemahaman dan atau pengingat bagi segenap aktivis bahwa
koperasi tidaklah terbatas pada gerakan ekonomi, tetapi juga merupakan gerakan
sosial yang berjuang mewujudkan kehidupan yang lebih bermartabat. Lewat
keterbangunan kualitas kebersamaan di segenap stake holder, koperasi perlahan
membangun apa yang disebut kemadirian kolektif lewat karya yang lahir diatas
semangat gotong royong . Atas dasar
itulah, anggota yang berkedudukan sebagai pemilik sah koperasi menjadi obyek
dan juga subyek pembangunan koperasi itu sendiri. Atas dasar itu pula,
ber-koperasi identik dengan kesadaran ikut mengambil tanggungjawab
demi kemajuan bersama.
Lewat kesadaran kolektif yang terbangun melalui pendidikan yang
dilaksanakan koperasi, gerakan sosial bercirikan pemberdayaan ini akan terbangun
kemampuan mensukseskan agenda kolektif yang tidak hanya menyelesaikan masalah
yang ada, tetapi juga membangun harapan-harapan baru yang lebih baik dalam arti
seluas-luasnya.
Nalar logis koperasi memang begitu mulia, tetapi banyak bahkan
mayoritas koperasi tampaknya mengalami kesulitan dalam
meng-operasionalisasikannya. Gerakan getol menyuarakan “kembali ke jati diri”
merupakan fakta yang memberi isyarat kuat bahwa koperasi telah meninggalkan
“konsepsi dasarnya” dan kemudian berpraktek sebagai kegiatan ekonomi semata dan
ironisnya kemudian terjebak dalam perburuan laba (walau masih memakai istilah
SHU).
Adakah ini realitas sosial yang menegaskan semakin masifnya kultur
individualisme di masyarakat???. Adakah ini mencirikan bahwa kepedulian
antar individu di lingkungan masyarakat sudah memudar??. Adakah jalan koperasi
sudah tertutup oleh kecerdasan kapitalisme menanamkan mindset hidup agar setiap orang berlomba saling
mengalahkan, sehingga mempersulit langkah-langkah penyatuan dan pembentukan
kerja sama yang setara???.
Sebagai kelompok pemuda calon penentu masa depan bangsa, selayaknya memberi
penegasan bahwa masih ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk membuktikan bahwa
“koperasi” adalah jalan damai membentuk dunia yang lebih baik. Hal ini memang
bukan perkara mudah, tetapi mimpi kolektif yang diiringi tanggungjawab
pembuktian akan membuka peluang untuk mengoreksi realitas sosial yang kian teracuni
oleh pemikiran-pemikiran ala kapitalis. Siap KAH??
B. Menelaah: Muasal
Usaha Koperasi
Sebelum membicarakan “usaha koperasi”, ada baiknya
me-refresh tentang hakekat tujuan koperasi, yaitu membangun kehidupan yang
lebih bermartabat. Kalau kemudian diterjemahkan secara operasional,
kegiatan-kegiatan koperasi berorientasi pada 2 (dua) hal yaitu; (i)
terselesaikannya masalah atau keresahan yang dihadapi dan; (ii) terbangunnya
keadaan baru yang lebih berpengharapan.
Merujuk pada aliea diatas, maka “usaha” atau “perusahaan” koperasi merupakan
salah satu “alat” atau sebagai “mesin penjawab” maksud dan tujuan keterlahiran
koperasi itu sendiri. Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau kemudian
berkesimpulan bahwa indikator obyektif dari keberhasilan koperasi adalah
tingkat kebahagiaan anggota yang nota bene adalah pemilik sah koperasi. Kalau
demikian, apakah koperasi meng-eksklusifkan diri..???. Pertanyaan itu
selayaknya dijawab dengan tanya pula yaitu; “bukankah koperasi memegang teguh
prinsip sukarela dan terbuka dalam hal keanggotaan???”.
Sebagai mesin penjawab, maka usaha atau perusahaan koperasi haruslah
mendasarkan diri pada kebutuhan mayoritas anggotanya. Hal ini bukan berarti
bahwa koperasi di-haram-kan untuk membangun usaha berbasis peluang, tetapi koperasi
harus memegang teguh prinsip “membahagiakan anggotanya”. Artinya,
pendirian usaha berbasis peluang bukan alasan pembenar koperasi me-nomor
dua-kan kebutuhan anggotanya.
Oleh karena itu, idealnya pembentukan usaha atau unit layanan koperasi
diawali dari “mapping kebutuhan” dan kemudian dijadikan dasar untuk mengambil
keputusan. Selanjutnya, keputusan mengikat semua pihak yang terlibat dan ditandai
dengan terbentuknya pola distribusi peran/partisipasi proporsional dari segenap
unsur organisasi. Logika tahapan ini-lah yang kemudian menyimpulkan bahwa
seharusnya unit layanan koperasi tidak akan pernah mati sepanjang “konsistensi”
menjadi hal yang terbudayakan di komunitas koperasi. Kalau kemudian fakta
lapangan menunjukkan kondisi yang berseberangan, maka sesungguhnya hal tersebut
semata-mata karena belum tertemukannya cara mengoperasionalkan konsepsi
koperasi itu sendiri.
C. Menilik : Koperasi Mahasiswa Dari Perpsektif Asa dan
Realitas
Hal paling up todate dan menarik dari isu seputar koperasi
mahasiswa di lingkungan kampus adalah termarginalkan oleh kebijakan
pimpinan universitas. Sebagaian berpandangan secara emosional dan sebagaian
lagi memilih untuk menyerah.
Sekilas hal ini terkesan menyesakkan bagi gerakan koperasi, namun semua
pihak sepatutnya bisa memaknai dengan
bijaksana, khususnya para aktivis koperasi. Dalam konteks ideal, kampus
adalah agen of change dimana kontekstualnya ditegaskan dalam tri
dharma perguruan tinggi butir ke-3 yaitu pengabdian pada masyarakat. Kalau menilik realitas mayoritas koperasi
berpraktek jauh dari konsepsi dasarnya, sesunggunya “kampus” memiliki nilai
strategis dalam akselerasi gerakan mengembalikan koperasi pada jati diri nya.
Ketika ada kesamaan memaknai koperasi sebagai “gerakan sosial” diantara
aktivis koperasi dan pemangku kebijakan, maka seharusnya antara koperasi dan
universitas bisa berjalan beriringan dan bahkan bergandengan membangun
masyarakat dalam arti luas. Namun demikian, kemitraan mutualsime ini tampaknya
belum terwujud yang mungkin disebabkan oleh beberapa kondisi berikut ini :
1.
Pemahaman dan pemaknaan terhadap koperasi semata-mata
sebagai gerakan ekonomi yang berurusan dengan perburuan laba. Hal ini tidak
hanya terjadi pada pihak kampus saja, tetapi juga terjadi pada sebagian besar
aktivis koperasi di lingkungan kampus. Ironisnya, hal ini diperparah dengan
tidak hadirnya figur yang mampu menjelaskan
dan membuktikan koperasi juga adalah bagian dari gerakan sosial. Realitas
koperasi di kampus dan juga koperasi-koperasi masyarakat yang berpraktek layaknya
perusahaan
murni juga telah berperan memperkuat pemahaman tersebut, sehingga
tabrakan kepentingan menjadi sangat mungkin terjadi
2.
Bagaimanapun juga, universitas tidak berdiri sendiri dan terkait
dengan kebijakan pemerintah pusat.
Banyaknya kabar tentang penggusuran KOPMA
dalam judul optimalisasi asset demi pencapaian misi utama kampus,
merupakan satu hal yang juga harus difahami. Sebab hal itu berkaitan dengan
pertanggungjawaban pimpinan kampus terhadap pemerintah pusat.
3.
Realitas KOPMA yang sesungguhnya masih menjadi “beban”
bagi kampus. Fakta lapangan menunjukkan sangat jarang KOPMA mampu membentuk
capaian fantastic dan menjadi “sumber” kebanggan kampus. Kebelum mampuan ini
semata-mata karena rendahnya kualitas pola kaderisasi dan kemudian berimplikasi
pada kontinuitas capaian-capaian kopma.
4.
dan lain sebagainya
Diatas realitas yang demikian, gagasan membangun kopma berbasis kemandirian
menjadi layak dijadikan pilihan. Disatu sisi, hal ini akan mendorong kopma
sebagaimana sejatinya koperasi, di sisi lain hal ini membuka peluang
terciptanya lompatan kapasitas dikalangan aktivis kopma. Pada awalnya hal ini
memang akan terlihat sulit, namun demikian ketika “semangat kemandirian
berkarya” terpatri dalam setiap pribadi aktivis kopma maka bisa dibayangkan
akan lahir karya-karya yang luar biasa.
D. Membangun ; Koperasi Berbasis Kemandirian
Mungkin sebagian pihak berpandangan realitas keter-pinggiran KOPMA sebagai
sebuah hal menyedihkan. Namun demikian, sesungguhnya keadaan ini bisa juga
dimaknai sebagai momentum kebangkitan. Koperasi adalah organisasi yang
menunjungtinggi nilai kerja sama, sehingga mengedepankan perbedaan hanya
menghabiskan energi secara percuma. Disamping itu, hakekat koperasi adalah “gerakan
mandiri berbasis kolektif”, sehingga selayaknya koperasi membangun diri
diatas kekuatannya sendiri.
Mungkin sudah saatnya KOPMA mandiri layaknya KUD-KUD yang dipaksa mandiri
lewat pencabutan ragam fasilitas. Saatnya KOPMA mulai merobah caranya membangun
eksistensi dalam arti luas. Pemaknaan KOPMA sebagai media belajar berorganisasi
(kepemimpinan, kewirausahaan dan manajemen) harus di dorong lebih maju menjadi media pembentukan karya berdimensi
kebermanfaatan nyata bagi segenap unsur
organisasinya. Ini memang tak mudah, tetapi “keterdesakan atau keterjepitan”
bisanya efektif dijadikan sebagai sumber lipatan energi dalam sebuah perjuangan. Akan tetapi, hal ini
memerlukan keterbangunan dan keterjagaan “semangat berjuang” dari segenap unsur
organisasi. Kalau hal ini bisa di wujudkan, maka akan terbentuk lompatan
kapastitas kader-kader KOPMA yang tidak hanya bermanfaat bagi keterlahiran
ragam karya KOPMA tetapi juga mendukung akselerasi pencapaian cita-cita pribadi
pejuang kopma itu sendiri.
E. Kopma : Diantara
Peluang, Konsistensi dan Apologi
Dari namanya. Kopma sudah menggambarkan penghuninya yaitu sekelompok orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan
(padahal “ilmu pengetahuan” salah apa sehingga di tuntut??”]. Satu fakta
mengatakan bahwa masyarakat Indonesia
yang berkesempatan kuliah tidak
lebih dari 20%. Artinya, kelompok mahasiswa adalah orang-orang yang layak
dikategorikan cerdas, sebab memiliki ilmu pengetahuan yang luas dibanding
lainnya.
Kalau demikian adanya, maka sesungguhnya KOPMA dihuni oleh orang-orang
potensial. Kalau kemudian faktanya KOPMA belum berkembang, maka hal ini
memunculkan tanya besar, “what’s really wrong??”.
Ini pertanyaan sulit dan tak mudah mencari jawabnya. Namun demikian, perlu
mengkaji beberapa hipotesis berikut ini :
- Di dalam KOPMA
terlalu banyak orang yang cerdas sehingga sulit menentukan cara terbaik
untuk maju.
- kelompok
mahasiswa/i saat ini adalah “generasi instan” yang tidak
menyukai tantangan atau semacam perjuangan.
- mahasiswa saat ini cuek dengan masa depan
karena keliru mengintreprestasikan kalimat bahwa setiap orang lahir
disertai dengan rejeki dari Tuhan. Sebagian mesar dari mereka kemudian
memilih sikap “let it flow like water”.
- Mahasiswa
sekarang cenderung individualis, sehingga sulit menggaungkan kopma yang
menjunjung tinggi “kebersamaan dan kegotongroyongan”.
- Mahasiswa adalah
kelompok usia labil, sehingga “in-konsistensi’ adalah penyakit menahun
yang hanya bisa dirubah oleh waktu
dan keadaan.
- Mahasiswa belum
menemukan “korelasi kuat” antara lelah ngurusin kopma dan kecerahan
masa depan dalam arti luas. Hal ini juga cerminan lemahnya sistem
kaderisasi di lingkungan KOPMA. Kemajuan KOPMA belum difahami bermplikasi
langsung pada peningkatan “kapasitas
diri” yang merupakan modal terpenting dalam mengarungi kehidupan pasca
kampus.
- Alumnus yang egois.
Fakta menunjukkan bahwa banyak mantan aktivis kampus berhasil membuat
capaian-capaian fantastic dalam kehidupan pasca kampus. Namun demikian,
sebagian dari terlalu asik dengan agenda sendiri dan lupa dimana dia
ditempa sehingga memiliki kemampuan yang luar biasa. Disisi lain, egosime
aktivis kampus yang enggan dan sungkan silaturrahmi membuat alumnus
semakin berjarak dengan kopma.
Penyajian ragam hipotesis diatas
diharapkan mampu menginspirasi tertemukannya musabab yang sahih
sekaligus tersusunnya solusi integratif, sehingga berimplikasi pada
lompatan capaian di lingkungan KOPMA.
F. Penghujung
Demikian tulisan ini disajikan sebagai pemantik dalam diskusi membangun
koperasi mahasiswa berciri intelektual. I
zinkan menyampaikan satu pengingat sebagai penghujung tulisan ini ; “keberhasilan
sebuah pendidikan dan pelatihan tidak terletak pada kehebatan instruktur mempresentasikan
materi, tetapiterletak pada terciptanya perubahan
signifikan dalam pemikiran dan tindakan dari segenap peserta didik”.
Semoga pemikiran sederhana ini menginspirasi karya-karya brilian di
mendatang...Aminn.
Posting Komentar
.