Setelah menutup ruangan kerjanya, mukzi menuju kursi sofa dan saat mau
duduk karet bungkusan makanan itu mau lepas dan mukzi terlambat bereaksi
sehingga makanan itu pun tumpah ke lantai. Astaghfirullah....spontan kata itu keluar
dari mulut mukzi.
Mukzi tersenyum menyaksikan hal itu, kemudian memunguti nasi tumpah di
lantai itu dan memungut dan mengumpulkannya kembali ke daun pembungkusnya. Saat memungutnya,
di memori mukzi terbayang para pemulung yang sering melakukan seperti apa yang sedang di lakukannya saat itu. Setelah terkumpul, kemudian dia makan nasi itu sambil membayangkan sedang berada di pojok tumpukan sampah.
Sambi melahapnya, air mata mukzi
menetes. “Ini belum seberapa dari apa yang dilakukan oleh para pemulung itu
setiap harinya demi mengisi perut yang lapar”, ujarnya dalam bathin sambil terus mengunyah makanan itu. Bayang
anak kecil sedang lahap hasil mengumpulkan sisa makanan orang lain di samping tumpukan
sampah menguat di ingatannya. Bayang itu membuat mukzi lebih lahap walau
sesekali dia merasakan seperti mengunyah sesuatu yang keras. Mungkin itu dari tinggalan dari telapak sepatu tamu yang baru saja keluar dari ruangannya beberapa jam yang
lalu. Dia nikmatin terus makanan itu sampai butir nasi
terakhir.
Setelah minum air putih segelas, dia terpaku memandangi bungkusan nasi yang
sudah bersih itu. Air matanya keluar lagi...rasa syukur kepada Sang Pencipta
dia kuatkan dalam hati. Dalam benaknya berkata “masih banyak orang lain di luar
sana yang belum tentu bisa makan sekali sehari karena di himpit oleh masalah
ekonomi atau kemiskinan yang akut”.
Tok..tok...tok..dan kemudian pintu ruangan mukzi terbuka, ternyata staff mukzi masuk mau berpamitan pulang duluan. Saat
mendapati lantai ada bekas tumpahan makanan, staff itu bertanya apakah ini tumpahan
nasi. Mukzi menjawab iya dan saya sudah makan hasil tumpahannya.
Astaghfirullah....spontan staffnya berujar dengan nada kaget. “Bapak kan bisa panggil saya untuk
membersihkan lantai dan memesankan kembali makan siang di lantai 01”, kata staff
nya dengan mimik yang serius. Kemudian mukzi berkata; “ndak papa kok mbak, pasti Tuhan punya pesan baik atas tumpahnya nasi itu. Disamping itu, saya memakannya sebagai salah satu cara belajar untuk lebih memahami penderitaan sebagian orang di luar sana dan sekaligus membangun rasa yukur atas kasih sayang Tuhan. Saya berharap, penghasilan
karyawan terendah dari perusahaan ini benar-benar cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya”. “Iya pak”, kata sang staff yang terperangah dengan
jawaban sang pimpinan. Sesaat kemudian, staff tersebut berpamitan pulang duluan
dan meninggalkan ruangan dengan langkah gontai. Mungkin di benak staff itu
masih tak percaya atas apa yang dia dengar dan lihat.
Posting Komentar
.