A. Permulaan
Terbersit tanya adakah ilmu atau proses pemelajaran yang menjamin seseorang bisa jadi pengusaha dan pasti sukses..???. Kalau memang ada, mungkin ini “komoditas” yang paling menarik dan diburu banyak orang di dunia ini. Disisi lain, ada fakta menarik bahwa banyak pengusaha sukses berasal dari latar belakang pendidikan yang tidak mumpuni. Kalaupun ada yang berasal dari kalangan sarjana, kebanyakan bukan dari orang yang pernah kuliah di fakultas atau jurusan yang relevan (misalnya :ekonomi) dan bahkan saat berkuliah IP (indeks prestasi) -nya tergolong kategori “kacau”. Adakah hal ini sebuah kekeliruan proses pendidikan ataukah “kewirausahaan” adalah sesuatu yang tidak bisa dipelajari secara sistematis???
Apapun jawaban anda atas ragam tanya diatas, yang terpenting adalah ketika anda memandang ”kewirausahaan” sesuatu yang baik dan layak ditekuni, maka tekunilah. Dengan demikian, kita tidak tergolong “orang yang salah tersesat dijalan yang benar” atau “orang yang benar tersesat dijalan yang salah”.
B. Wirausaha identik dengan nekat dan kegilaan
peserta sedang menyimak.. |
Ketika anda tetap melakukannya, tak berlebihan menyimpulkan bahwa anda adalah orang nekat karena telah meyakini sesuatu yang tidak memiliki kepastian. Lebih gila lagi, anda telah menjaminkan sesuatu yang tetap (seperti gaji karyawan, biaya operasional dan lain sebagainya yang pasti anda keluarkan secara ruitn) dengan sesuatu yang tidak tetap (pemasukan dari penjualan yang tidak jelas berapa jumlahnya). Kalau demikian adanya, berlebihankah kalau kemudian berkesimpulan bahwa dunia wirausaha identik dengan “nekat dan kegilaan”???. Atau dalam konteks yang radikal layak disimpulkan bahwa “berwirausaha” itu sama dengan “ber –Tuhan”, yaitu sama-sama meyakini yang belum pernah melihatnya.
Lalu...apa sesungguhnya yang menjadi dasar seseorang berani mengambil keputusan menggeluti dunia wirausaha???.
Terlepas dari defenisi normatif wirausaha yang ada (dari perspektif ilmiah), saya menyarankan anda mendefenisikan wirausaha versi anda sendiri. Defenisi ini menjadi sangat vital, karena disamping sebagai refresentasi dari “niat/nawaitu”, defenisi ini juga menjadi roh dari setiap langkah dan disetiap keadaan yang mewarnai perjalanan anda. Namun demikian, sebelum anda memasuki fase kebebasan berdefenisi, izin kan saya menyampaikan 2 (dua) saran yaitu : (i) susunlah defenisi yang selalu menyemangati dan; (ii) susunlah defenisi yang didalamnya terkandung “harapan” bagi orang lain, kecuali anda tergolong orang egois sehinga tak perlu mengikuti saran yang ke-2 (dua).
C.1. Menyemangati
Fakta lapangan membuktikan bahwa dunia wirausaha penuh ketidakpastian. Dinamika yang ada terkadang menyemangati, tetapi bukan tak jarang melemahkan semangat dan sering membawa anda pada keputus-asa-an. Untuk itu, semangat harus senantiasa terjaga, energi harus selalu tersedia untuk terus melangkah dalam situasi sepahit apapun. Dalam bahasa yang lebih kejam, wirausaha selalu dihadapkan pada 2 (dua) pilihan “do or die”. Oleh karena itu, semangat-lah yang menjadi sumber energi yang paling ampuh untuk menjalani dinamika yang mewarnai proses perjuangan. Semangat-lah yang menjadi sumber keberanian untuk tidak takut dan siap pada resiko apapun. Semangat-lah yang membuat orang tetap berdiri walau dalam keadaan berdarah-darah. Semangat-lah yang menggiring orang untuk siap menerima kenyataan. Semangat-lah yang membuat orang bijaksana memandang sesuatu. Semangat-lah yang membuat orang mampu senantiasa memelihara fikiran positif dan optimis. Semangat-lah yang akan menggiring tersusunnya mentalitas yang tangguh. Intinya, semangat membuat hidup lebih hidup.
C.2. Harapan Bagi Orang Lain
Kalau kata “wira” dimaknai sebagai “mandiri” dan ”usaha” dimaknai sebagai ”upaya membangun nilai tambah”, bukan berarti wirausaha melulu persoalan perjuangan menyelesaikan “masalah sendiri” dan tak peduli dengan orang lain alias egois. Berpedoman pada kalam Tuhan bahwa tiap-tiap orang yang lahir mempunyai hak atas rejeki dan hidup, maka berkumpulnya orang-orang bermakna berkumpulnya potensi rejeki. Artinya, semakin banyak orang yang hidup dalam sebuah karya, semakin kuat pula potensi karya itu untuk berkembang. Oleh karena itu, bangunlah defenisi yang mengandung spirit membangun harapan bagi banyak orang. Dengan demikian, potensi keberhasilan anda lebih berpeluang.
D. 3 (tiga) Tahap pengujian semangat dan mentalitas berwirausaha.
Inti berwirausaha adalah semangat dan mental untuk membangun karya dengan mengoptimalkan segala potensi yang ada. .Oleh karena itu, dari satu tahap proses ke tahapan proses berikutnya, sesungguhnya adalah moment-moment pengujian semangat dan mentalitas. Ditinjau dari siklus perjuangan menghasilkan karya, ada 3 (tiga) tahap pengujian semangat dan mentalitas berwirausaha : (i) semangat dan mentalitas memutuskan masuk ke ranah wirausaha; (ii) semangat dan mentalitas mewujudkan impian; (iii) semangat dan mentalitas menerima sebuah akhir.
D.1. Semangat dan mentalitas memutuskan.
D.1. Semangat dan mentalitas mewujudkan mimpi.
“No free luch” alias “tak ada makan siang yang gratis”. Falsapah ini menegaskan bahwa tak ada keberhasilan yang datang tiba-tiba, tetapi harus diperjuangkan dan memerlukan pengorbanan. Kenyataan tak selalu seindah banyangan, pada titik itu lah awal mula terbentangnya medan perjuangan. Tak semua pengorbanan pasti melahirkan seperti yang kita canangkan, untuk itu lah seorang wirausaha harus terus belajar dan belajar. Ke-belum berhasilan tak boleh dipandang sebagai titik kematian, tetapi harus dimaknai sebagi pemicu semangat untuk berbuat yang lebih baik. Setiap geliat harus dinikmati dan dijadikan bahan untuk langkah selanjutnya. Penjelasan ini semakin memperkuat bahwa wirausaha sesungguhnya persoalan semangat. Bahkan seorang penulis buku (maaf lupa namanya) mengatakan bahwa wirausaha sesungguhnya 95% tentang semangat dan 5% persoalan teknis usaha itu sendiri.
D.3. Semangat dan mentalitas menerima sebuah akhir.
Akhir sebuah perjuangan hanya menawarkan 2 (dua) hal, yaitu; berhasil atau belum berhasil (bukan “tidak berhasil”, karena kata “tidak” melemahkan semangat untuk berusaha dan bangkit lagi). Berhasil atau belum juga memerlukan semangat dan mentalitas. Banyak orang yang berhasil dan kemudian terjun bebas dan terseok pada titik terendah akibat lupa diri alias ketidakwaspadaan. Hal ini karena dia tidak siap dengan keberhasilan. Sebaliknya, banyak mereka yang mengalami berpuluh-puluh kali ke-belum berhasilan kemudian mencapai satu keberhasilan yang bisa menutup ragan ke-belum berhasilan sebelumnya.
E. Sebuah Catatan Kecil : Pertarungan atau Pengintegrasian ”Logika, Rasa dan Tuhan”
Ketika segala sesuatu yang terjadi didunia ini difahami atas izin Tuhan, ketika Tuhan diyakini sebagai penguasa yang memiliki hak menentukan berhasil atau belum berhasil, ketika Tuhan diyakini sebagai penentu besarnya skala keberhasilan dari sebuah usaha, Ketika Tuhan diyakini berkemampuan melipatgandakan hasil, Ketika keberhasilan di baca sepenuhnya bersumber dari Tuhan, ketika Tuhan diyakini memiliki kemampuan meng-adakan yang belum ada dan meniadakan yang sudah ada, tentu hal ini akan mempengaruhi seluruh sisi kehidupan seseorang termasuk ketika menetapkan diri menekuni wirausaha.
Namun demikian, ketika rasa percaya diri diyakini sebagai faktor penentu keberhasilan, ketika logika diyakini sebagai faktor pelipatgandaan hasil, ketika logika diyakini mampu menjawab semua persoalan yang ada, ketika kucuran keringat difahami sebagai satu-satunya cara untuk menembus sebuah impian, ketika seorang wirausahawan men-Tuhan kan logika dan rasa dalam setiap langkahnya , pemaknaan ini pun akan mempengaruhi segenap langkah dan tindak tanduk seseorang dalam dunia, termasuk ketika berketetapan dalam menekuni wirausaha.
Ini masalah pilihan, apakah menjebakkan diri pada ”men-Tuhan kan logika dan rasa”, atau kah mencoba ”me-logikakan cara kerja dan merasakan Tuhan disetiap tahapan usaha” atau kemudian memilih mengintegrasikan keduanya, semua terserah anda. Sekali lagi, ini hanya masalah pilihan dan masing-masing pilihan selalu memiliki konsekuensi berbeda.
F. Penghujung berbau kontemplasi: Peluang Kemuliaan dan Efektivitas Pendidikan
Mengingat bahwa peserta pelatihan ini adalah guru-guru kewirausahaan, terbersit bayang betapa bahagianya diberi kesempatan luas oleh Tuhan kesempatan ”semangat berwirausaha” pada segenap peserta didik (baca: murid) yang berjumlah tidak sedikit. Ketika spirit yang diajarkan dan ditularkan mampu menyemangati dan mengantarkan para peserta didik menjadi wirausahawan tangguh, berarti hal ini juga mengindikasikan peluang terbentuknya jiwa-jiwa mandiri dan efek positifnya bagi perluasan kesempatan hidup bagi banyak orang. Maknailah kesempatan itu dengan cara-cara luar biasa, dengan demikian anda layak berharap hikmah yang luar biasa pula. Niati-lah hal itu sebagai media strategis membahagiakan orang, karena selanjutnya Tuhan akan membahagiakan anda. Namun, jangan lakukan ketika anda tidak meyakininya.
Sebagai penghujung, berikut ini ada kalimat bernada pesan yang layak dijadikan sebagai catatan dan sekaligus bahan renungan yang mungkin menginspirasi, yaitu : (i) ”ketauladanan adalah senjata terbaik dalam mengajarkan dan mengajak sesuatu” dan (ii) efektivitas pendidikan tidak terletak pada bagaimana mahirnya seorang pendidik menyampaikan materi, tetapi terletak pada seberapa luas terciptanya ”perubahan positif” sesudah peserta didik diberikan pemahaman….KAH?.
+ komentar + 2 komentar
guru pengusaha adalah "hidup" itu sendiri
Yups...betul sekali sobat...guru pengusaha sesungguhnya adalah hidup itu sendiri. Dinamika hidup selalu memberi pesan yang harus dimaknai dalam tindakan yang lebih bijak berbentuk keterciptaan makna-makna bagi banyak orang. thanks atas apresiasinya...semangat...
Posting Komentar
.