Ketika Hasrat Bersahabat dengan Malaikat | ARSAD CORNER

Ketika Hasrat Bersahabat dengan Malaikat

Minggu, 27 November 20110 komentar


Sebulan kau tak berberita..gelapku tak menemukan kabar. Ku coba menyapa berulang kali dan tak berbalas. Ragam tanya terbungkus kekhawatiran teramat sangat terbersit dalam ke tak-berjawab-an. Adakah kamu sehat, adakah kamu sedang melawan terik mata hari demi perjuangan hidup yang begitu keras. Ku sapa lagi..kusapa..tak juga mendapat sebuah jawab yang pasti. Aku khawatir....kekalutan rasa ini tlah melumpuhkan kemampuanku untuk berfikir positif dan kemudian tenang.


Tok...tok..tok...permisi....suara itu ku kenal, suara itu tramat sangat akrab disegenap  urat-urat syarafku. Ku bergegas membukakan pintu dengan keyakinan penuh bahwa itu adalah kamu, kamu yang telah tak berberita lama, menyiksa dan membiarkan hari2ku dalam sejuta tanya tak berjawab. Aku tak salah, ternyata itu kamu dengan tatapan yang sama. Ku sambut salam mu dengan wajah rindu yang menggila. Ku jawab uluran tanganmu dengan genggaman kuat mewakili rasa rindu yang tak terkendali. Tatapan matamu yg dalam seolah ingin mendapatkan jawaban atas tanya tentang apa yang sungguh kurasakan sampai detik dimana kamu benar2 berada dihadapanku. Sambil merunduk, kau cium tanganku dan mendaratkannya di kening dan pipimu begitu lama hingga dua tetes bulir air mata bahagia terasa jatuh di punggung tanganku. Sepertinya kau menemukan alasan kuat bahwa rindumu berpihak dan berkeyakinan bahwa hati ini tetap terjaga seperti kala kau tinggalkan untuk sementara.

Kupersilahkan duduk dan kita terlibat dalam pembicaraan serius tentang segala rasa kita ketika dipisahkan jarak....hingga pada satu titik suasana romantic membentuk keinginan untuk menyatakan kerinduan kita dalam tindakan.Seketika hati kita gelap dan hanya menyisakan sedikit celah, tertutup oleh keberanian untuk menerjang batas kesopanan. Hasrat kita menguat..teramat  sangat. Saling bertatap tajam dan mendalam...tatapan yang sudah sama kita mengerti maknanya. Kita pada keinginan yang sama. Syaitan sedang siap-siap berpesta menyaksikan bagaimana kita akan menimbun kenangan-kenangan gila yang baru. Godaan merdeka menguat dan menggiringku untuk mendekatimu. Kamu pun tampak siap dengan keinginan yang sama liarnya. Ku mendekatimu dan meraih kedua tanganmu  tanpa sepatah katapun. Kutemukan desir hasrat yang sama kuatnya. Tangan kita yang dingin seolah meminta kehangatan.

Bimbang menghinggapiku. Ketulusan hati dan keinginan kuat akan akhir kisah yang indah terbentang  di alam fikirku. Seketika bayang kalam Tuhan hadir menembus sedikit celah gelap yang begitu pekat. Ku lantunkan tasbih dikesempatan yang luas untuk melupakan Nya, untuk segera mengikuti hasrat  kita yg merindukan kemanjaan. Kau mulai bergerak mewujudkan rancang nakalmu yang mulai tak terbendung, begitu dekat dan hampir mulai menemukan sasarannya. Seketika aku menghindar, kalam Tuhan kulantunkan dihati membentengi keinginan yang sesungguhnya teramat sangat dan bahkan ku yakin melebihi inginmu saat itu.

Kamu terkaget, tetapi penolakanku tak kau artikan sebagai sebuah akhir di keromantisan suasana. Kau mohonkan aku untuk memanjakan hasratmu yang terlanjur pada titik keinginan puncak. Air matamu jatuh ke pipi menandaskan kamu sudah tak bisa menahan diri untuk menghentikannya. Belas kasihan hadir ditengah kecamukku yang juga berperang dengan keinginanku untuk memanjakan hasrat keliru ini.

Bukannya ku  tak ingin melakukannya sebagaimana kekhilafan masa lalu telah berlaku dan terulang menjadi sebuah kebutuhan. Tetapi inginku bersamamu dalam lingkar yang seharusnya telah menggiringku pada pen-tasbihan cinta ini pada penantian berkalang lingkar Tuhan. Aku lelah dengan perasaan bersalah di setiap kesudahan nikmat sesat yang mewarnai kisah kita. Aku tak ingin pen-tasbihan ini kembali ke titik nol yang berarti aku tak pernah merasa pantas untuk melantunkan do’a untuk bisa memilikimu seutuhnya, membangun kehidupan nyata, kehidupan dimana kita merasa percaya diri mengutarakan atas segala impian cinta kita pada Sang Tuhan secara berjama’ah. Aku ingin memelukmu di sajadah tiap kali  kita selesai sholat bersama. Aku ingin itu....aku ingin menuju itu dengan mengajakmu menembus kekeliruan masa lalu lewat menguatkan diri untuk menunda keinginan-keinginan liar kita sampai melampaui garis finis penantian keberpihakan Tuhan dalam arti sesungguhnya. Aku tak mau kehilangan kesempatan bersamamu hingga akhir hayatku hanya karena mementingkan kenginan kita sesaat yang harus dimanjakan. Aku yakin perjuangan cinta ini tak akan percuma. Aku yakin suatu waktu Tuhan akan melihat akumulasi kelelahan kita dalam menunda keinginan ini, akan menghargai kesadaran  yang terpelihara walau lahir sesudah bentangan ke-alfa-an terlangsungkan.

Ku coba yakinkan kamu atas keyakinan dan tujuanku dengan linangan air mata yang bermakna permohonan fahammu dan juga pergulatan keinginan yang masih menguat dalam hasratku.

Mohon mu berubah menjadi amarah, memaki kisah kita, menghinakan perasaan suci kita, mengumpat kepengecutanku walau tawaran terakhirmu hanya untuk sesaat pun tak kunjung ku turuti.  Amarahmu semakin tak terkendali, kebencianmu atas sikapku berakhir dengan ultimatummu untuk segera mengakhiri hubungan ini. Aku terkaget bagai tersambar petir dikesunyian suasana. Namun tasbih hati yang tetap melantun telah membantuku untuk berpandangan bijak bahwa kamu sedang dalam keadaan emosi tak terperikan.

Pintamu untuk mengakhirinya kujawab dengan permohonan. Permohonan waktu untuk melakukan istikharah dan bertanya pada Tuhan. Kau menyelilingi permohonanku dengan berkilah ”itu tak perlu”. Tetapi ku tegaskan padamu kalau kulakukan semua ini untuk sebuah akhir yang sesungguhnya kita inginkam bersama. Aku menegaskan ketidakinginanku menutup kisah ini hanya berlandaskan rasa dan logika.  Aku ingin menempatkan perasaan cinta kita pada cara yang seharusnya.  Aku harus konsiten dengan sumpahku tuk meraihmu dengan cara yang tak biasa. Puasa keinginan ini terlanjur terbiasa dan menjadi obat mujarab ketika  naluri  romantismeku mengemuka atas mu. Benih perkuatan itu sesungguhnya mulai tumbuh dan berkembang ketika jarak memisahkan kita untuk sementara waktu, ketika jarak menjadi penghalang kita untuk bisa bermanja dan mengekspresikan keinginan kita yang hampir tak berbatas  . Aku pun telah bertekad menjadikan ”tasbih penantian” ini sebagai penutup dosa2 kita dimasa lalu dan sekaligus pembuka bagi jalan kita untuk memasuki hakekat cinta sesungguhnya. Aku hanya mengembalikan cinta kita ke sumber perasaan ini bermula. Ku faham tampaknya hanya kematian akal dan rasa untuk bisa meyakini atas pilihan yang kulakukan.  Ku faham tampaknya ini akan menjadi penantian yang panjang, tetapi ku yakin Tuhan memiki kemampuan memperpendek penantian ini ketika kita bersungguh2 dalam menjalaninya. Ku sadar tak mungkin memaksamu untuk meyakini atau bahkan menjalaninya. Tetapi keyakinanku begitu kuat bahwa Tuhan tak kan berdusta  atas setiap kalam Nya.

Kau ungkapkan kekecewaanmu terhadapku, bergegas tuk berpamitan dan meninggalkanku sendiri diruang ini. Emosimu menandaskan kemungkinan akan memilih jalan yang berbeda. Di kepergianmu, air mataku kembali mengalir dalam lingkar tasbih yang tetap mengalun. Maafkan aku Tuhan.....bimbinglah kekaksih hatiku untuk berkeyakinan sama denganku...kuatkan aku untuk menjalani penantian yang penuh liku ini. Do’a2 itu mengumandang dikebathinanku, menemani  air mata  yang  tak kunjung menemukan titik penghabisannya.
Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved