disampaikan pada : seminar menyambut Peringatan Hari Koperasi Dunia dengan thema " Agenda Politik Kesejahteraan dan Penguatan Kemandirian Koperasi" yang dilaksanakan oleh kerjasama : BAE Cooperative Consulting, DEKOPIN Pusat, LSP2I, Kopkun dan Kopindo,08 Nopember 2011
Materi ini juga diterbitkan dalam jurnal MAKSIPRENEUR UNIVERSITAS PETROLIUM
Materi ini juga diterbitkan dalam jurnal MAKSIPRENEUR UNIVERSITAS PETROLIUM
A. Prolog
Tak elok mencari siapa yang keliru. Tak pantas pula mengamini pemaknaan bahwa ke-belum-majuan mayoritas koperasi adalah kesengajaan atau menuding semua ini sebagai skenario yang salah dari platfoam pembangunan koperasi di negeri ini. Terpenting sekarang adalah mencari core problem dan kemudian menyusun strategi dan taktik yang applicable dan efektif bagi pemberdayaan (baca: empowering) masyarakat dengan mengusung semangat kemandirian berkarya berbasis kolektivitas.
Satu hal yang menjadi catatan, meng-operasionalisasi-kan konsepsi koperasi cenderung tidak digandrungi, mengingat fase ini memerlukan energi besar dan waktu yang tidak sebentar. Akibatnya, terjadi pembiaran. Banyaknya pembiaran pada fase ini mengakibatkan sedikitnya ”contoh” yang mampu menyemangati dan layak ditauladani. Kalimat ini bukan bermaksud mengkritik pada peng-khotbah koperasi, tetapi minimnya SDM yang expert di fase operasionalisasi konsepsi merupakan persoalan menahun yang memerlukan solusi komprehensif. Jika tidak, maka berharap lahirnya koperasi yang memiliki roh koperasi menjadi tidak pantas.
B. Survey Kecil Yang Menginspirasi
Ada sebuah survei menggelitik yang dihelat Koperasi Kampus Unsoed (Kopkun) Purwokerto, awal 2010 lalu. Dalam survei itu Kopkun mengajukan satu pertanyaan ” apakah koperasi kumpulan orang atau modal” pada 250 orang mahasiswa. Hasilnya, 69% (prosen) menjawab, koperasi adalah kumpulan modal dan 31% (prosen) mahasiswa menjawab koperasi sebagai kumpulan orang. Wah!
Survei ini menjelaskan, betapa lemahnya pemahaman mengenai koperasi. Padahal survei digelar di lingkungan kampus yang notabene dihuni para intelektual dan generasi muda calon penerus bangsa. Tak terbayangkan seandainya survey diperluas ke luar kampus. Kira-kira apa jawaban mayoritasnya? Yang pasti, jika perluasan survei menghasilkan jawaban sama, bisa disimpulkan: banyak koperasi dijalankan berdasarkan pemahaman yang kurang tepat. (Saya sungguh berharap hal itu tidak benar).
Di sisi lain, fakta lapangan mengungkap, praktik sebagian besar koperasi memang sesuai jawaban survei. Sebagian besar koperasi bahkan tidak berbeda dengan non koperasi. Selain terjebak pada per-buruan laba, sebagian besar koperasi dengan sadar melakukan eksploitasi anggotanya sendiri. SHU hanya istilah pembeda saja dari kepentingan material. Anggota di tempatkan sebagai konsumen murni dan melupakan status mereka sebagai pemilik sah sang koperasi.
Kepentingan material itu membuat demokratisasi dalam pengelolaan koperasi sungguh masih jauh dari harapan. Semangat kolektivitas tidak tampak mulai dari tahapan perumusan cita-cita apalagi sesi perwujudannya. Partisipasi? Partisipasi segenap unsur organisasi juga masih berupa mimpi, padahal beberapa hal ini adalah syarat dalam mendorong akselerasi perkembangan sebuah koperasi.
Seluruh kenyataan getir itu diyakini akibat kurangnya pemahaman ”apa” itu koperasi dan ”bagaimana” seharusnya berkoperasi. Ironisnya, ke-belum fahaman ini tidak hanya terjadi pada mayoritas populasi (anggota), tetapi tak jarang juga para elite organisasi (pengurus dan pengawas) yang jelas-jelas punya pengaruh besar menentukan arah organisasi.
C. Mengurai Masalah Menakar Asa
Hakekat Koperasi adalah kumpulan orang. Maka, jika fakta menyatakan koperasi belum berkembang, sudah pasti permasalahan utamanya terletak pada ”orang-orang yang ada di dalamnya”. ”Hidup bersama” sebagaimana koperasi mengajarkan memang bukan perkara gampang. Bayangkan, beragam individu dari berbagai latar belakang harus menyatukan kepentingan dan sekaligus melakukan distribusi peran proporsional di dalam pencapaiannya.
”Collective trust” yang ditandai kepercayaan individu pada individu lainnya secara penuh menjadi syarat mutlak yang harus terbangun dan terus dijaga. Jika tidak, akumulasi ”tanya yang tak pernah mengemuka”, atau ”ragam tanya yang tak kunjung menemukan jawabnya” lambat laun menjadi faktor penggerus kualitas kolektivitas. Kalau ini terus dibiarkan berlangsung maka ”kematian perlahan” adalah kondisi yang hampir pasti bakal datang menghampiri.
Sebagai bahan kontemplasi atas kelesuan yang banyak menimpa koperasi, setidaknya ada 7 (tujuh) masalah dasar yang berkaitan dengan individu (stake holder) sebagai faktor determinan dalam koperasi, yaitu :
1. Pemahaman yang kurang terhadap konsepsi koperasi.
Fakta menunjukkan, banyak orang berkoperasi didorong keinginan memperoleh manfaat dan jarang sekali yang didasari kesadaran untuk mengambil tanggungjawab untuk ikut membesarkan koperasinya secara bersama-sama. Hal ini merupakan akibat nyata dari kebelum-fahaman atas konsepsi koperasi. Ironisnya, hal ini tidak hanya terjadi pada tingkatan anggota (sebagai populasi mayoritas), tetapi juga terjadi pada elite organisasi (pengurus dan pengawas). Akibatnya, koperasi difahami semata-mata usaha, dan bukan sebagai gerakan bersama (society movement) untuk menciptakan kehidupan yang lebih berpengharapan dan bermartabat.
2. Tujuan yang tidak dirumuskan secara kolektif.
Arah sebuah koperasi sering hanya ditentukan para elite organisasi saja tanpa melibatkan anggota. Ironisnya, tak ada pula sosialisasi dan edukasi yang masif. Akibatnya, indikator keberhasilan koperasi menjadi liar (sesuai persepsi masing-masing). Kondisi ini pula yang sering menjadi pemicu ”ruwetnya suasana” RAT (Rapat Anggota Tahunan). Mayoritas anggota menilai pencapaian dari sudut pandangnya masing-masing. Dampaknya, RAT sering menjadi sebentuk ajang pengadilan bagi pengurus dan pengawas. Padahal, seharusnya RAT dijadikan sebagai media evaluasi berjama’ah segenap unsur organisasi. Ketercapaian (ragam makna ataupun setumpuk keluh kesah) selayaknya dibaca sebagai ”hasil bersama”.
3. Distribusi peran efektif dalam pencapaian tujuan.
Dalam mencapai tujuannya, koperasi selalu mengedepankan kolektivitas dimana lekat dengan pemberdayaan (empowering) segenap unsur organisasi. Semua unsur harus ikhlas mengambil ”tanggungjawab dan partisipasi proporsional” dalam setiap tahapan pencapaian mimpi bersama.
4. Distribusi hasil yang berkeadilan dan memotivasi.
Berbagi bukan perkara mudah karena ini menyangkut tentang pola pembagian yang adil dan ikhlas menerima bagian. Dalam hal ini, koperasi tidak hanya harus berkemampuan membuat formula yang berkeadilan tetapi juga harus mampu memotivasi partisipasi optimal dari seluruh unsur organisasinya.
5. Kepemimpinan.
Koperasi adalah kumpulan orang yang berasal dari latar belakang dan sejarah hidup yang berbeda-beda. Karenanya, untuk membangun dan mengembangkan serta menjaga spirit korsa, diperlukan kehadiran seorang pemimpin yang berkemampuan memberi ketauladanan dan sekaligus pengaruh-pengaruh positif. Pemimpin koperasi harus mampu menyatukan perbedaan dan sekaligus memobilisasinya menjadi sumber kekuatan mengembangkan makna dan manfaat berkoperasi.
6. Jiwa Kewirausahaan Yang Lemah.
Koperasi bukanlah semata-mata urusan usaha atau bisnis. Untuk menopang eksistensi organisasinya, koperasi selayaknya mengembangkan usaha yang berorientasi pada pelayanan, khususnya kebutuhan anggota. Untuk itu, diperlukan ”jiwa kewirausahaan” yang jeli dalam mendeteksi peluang dan sekaligus berani mengambil keputusan di saat yang tepat.
7. ”Management Skill” yang rendah.
Kalau sebuah keputusan sudah di ambil, selanjutnya diperlukan adanya sentuhan manajemen yang berorientasi pada intrepretasi ide menjadi karya nyata ke dalam pola yang teratur serta terukur, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai koperasi sebagai referensi setiap strategi dan taktis.
Kenapa masalah ”modal” tidak menjadi salahsatu dari tujuh masalah ini? Bukankah para pegiat koperasi sering mendengungkan hal ini. Karena kebelum-cukupan modal sesungguhnya hanya imbas rasional dari terjadinya 7 (tujuh) masalah pokok tersebut. Demikian pula dengan lemahnya pemasaran, kualitas pelayanan yang buruk, rendahnya kualitas produksi, teknologi yang masih jauh dari modern, sempitnya networking dan lain sebagainya, kesemuanya itu adalah imbas dari 7 (tujuh) masalah tersebut.
Tulisan ini juga tidak menempatkan ”regulasi pemerintah” menjadi faktor penghambat, sebab tulisan ini mencoba menegaskan bahwa perjuangan koperasi menitikberatkan pada ”kemandirian berkarya” lewat kekuatan kolektivitas dari segenap stake holder koperasi. Kalaupun kemudian pemerintah mengambil inisiatif memerankan diri sebagai fasilitator dan atau semacam pemberi stimulan, seharusnya itu tak perlu menjadi hal utama yang mendorong ketertarikan berkoperasi. Pasalnya, ketertarikan dari sisi ini bakal segera menciptakan ketergantungan serta menjauhkan koperasi dari kemandirian.
Koperasi harus tetap berjalan diatas spirit kolektivitas dan semangat kemandirian. Koperasi seharusnya tidak boleh tergantung pada ketersediaan fasilitas dan ragam stimulan. Koperasi harus terus menggali keunggulannya lewat penyatuan ragam potensi untuk mendukung perwujudan cita-cita bersama.
Kalau pun pemerintah atau pihak lainnya memberikan semacam bantuan atau aneka stimulan, seharusnya itu dipahami sebagai bantuan ”berjangka” dan tidak akan berlangsung selamanya. Koperasi harus tetap fokus membangun trust, baik secara internal (sebagai sarana mendorong peningkatan kualitas dan kapasitas kelembagaannya) maupun eksternal (sebagai cara untuk mengembangkan mutual networking).
Koperasi harus terus mengembangkan keunggulannya lewat penyatuan kepentingan yang tertata lewat proses yang demokratis. Satu hal yang harus disadari, kemajuan dan keberhasilan tidak datang tiba-tiba, tetapi harus melalui tahapan-tahapan yang efektif dan spirit yang konsisten. Kualitas komunikasi yang terbangun diantara unsur organisasi menjadi penentu luasnya keterciptaan capaian-capaian dan makna-makna berkoperasi.
D. ”Edukasi” sebagai solusi dengan 2 (dua) Alternatif Metode
Dalam kajian logika, koperasi sangat rasional untuk dikembangkan. Kalau kemudian koperasi belum pada titik idealnya, sesungguhnya hal tersebut dikarenakan belum ditemukannya ”cara efektif” dalam meng-operasional-kannya.
Koperasi adalah kumpulan orang, maka ”masing-masing kumpulan” pasti memiliki karakter sendiri-sendiri. Butuh gaya yang pas dalam edukasi, berkampanye dan mendorong kesadaran bersama agar nilai-nilai kebaikan yang ada dalam koperasi menjadi kesadaran dalam setiap tindakannya.
Pergeseran paradigma koperasi sebagai ”usaha atau kumpulan modal” menjadi koperasi sebagai ”kumpulan orang” harus di-arus-utamakan. Sebab, pemahaman ini membawa implikasi luar biasa pada dataran operasional dan orientasi perjuangan sebuah koperasi. Pada pemahaman koperasi sebagai usaha, koperasi sering terjebak pada perolehan profit dengan mengeksploitasi segala peluang dan tak jarang mengeksploitasi anggotanya sendiri. Sementara, pada pemahaman koperasi sebagai kumpulan orang, koperasi akan concern pada penyatuan potensi untuk memobilisisasi segenap harapan bersama yang tidak terbatas pada urusan ekonomi, tetapi juga pada urusan-urusan sosial dan budaya. Pada titik inilah, koperasi berpotensi menjelma menjadi gerakan mandiri dan mampu membangun sebuah peradabannya sendiri.
Menuju kesana diperlukan langkah-langkah pembangunan kapasitas organisasi melalui ”edukasi” yang tidak terbatas pada ”konsepsi” saja, tetapi juga pada ranah ”implementasi berbasis nilai”. Jadi, harapan ”keterlahiran koperasi yang benar” semakin berpeluang.
Ini bukan pekerjaan mudah, khususnya pada koperasi-koperasi yang sudah eksis secara kelembagaan dan juga usaha. Tetapi dalam bahasa semangat, di ”ketidakmudahan” itulah letak perjuangan sesungguhnya.
Sebagai sebuah gagasan awal, ada 2 (dua) metode yang bisa ditempuh untuk membangun koperasi benar yang ditandai dengan kondisi mengakar dan besar, yaitu (i) metode evolusi dan atau; (ii) metode revolusi.
Pada metode evolusi, edukasi dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan yang dimulai dari elite organisasi. Selanjutnya, para elite organisasi mengambil tanggungjawab untuk menjadi agen yang mengedukasi para anggota. Anggota yang telah di didik harus didorong mengambil tanggungjawab mengedukasi anggota lainnya. Lewat proses getok tular semacam ini akan terjadi perubahan pemahaman dan lamban laun akan membentuk tindakan-tindakan yang mendukung akselerasi pertumbuhan dan perkembangan koperasinya masing-masing.
Sementara itu, pada metode revolusi, koperasi menghadirkan para profesional yang memahami konsepsi koperasi, mempunyai keahlian dalam mengimplementasikannya dan mempunyai ”talenta mendidik” yang tinggi. Dalam perspektif ini sang profesional akan men-drive koperasi dari segala aspek secara bertahap dengan kesabaran dan kebijakan pandangan yang terjaga. Masalah utama metode ini adalah ”terbatasnya jumlah profesional dibidang koperasi”.
Keterbatasan profesional khususnya golongan pemuda (baca: usia produktif) adalah akibat pembacaan kaum muda sendiri yang keliru sehingga tidak memiliki keyakinan yang cukup bahwa koperasi adalah armada masa depan yang tangguh. Di sisi lain para stake holder juga sering tak meyakini masa depan koperasi itu sendiri. Akhirnya, koperasi tidak mampu membangun ruang apresiasi terhadap persoalan SDM khususnya kaum muda ini.
E. Penutup

Posting Komentar
.