I. Berfikir Nakal
Kedigdayaan dunia ini sesungguhnya berkat adanya orang-orang gila yang berani bermimpi dan berhasrat untuk mewujudkannya. Andai bill-Gate tidak ada, mungkin mesin tik akan terus menjadi model yang membanggakan dengan hentakknya yang melahirkan melodi khas. Andai Alfa Edison tak menemukan listrik, mungkin malam akan tetap sepi dan lebih memilih bercengkrama di kamar tidur dan mengurangi tingkat keberhasilan program KB yang didengungkan pemerintah. Juga tidak akan ada TV sehingga tidak perlu berdebat tentang aksi Inul Daratista, Perkawinan sirih Roma irama dan Gelga juga tidak akan kesohor sampai pelosok negeri. Betapa besar jasa sang penemu yang telah mampu merubah warna dunia. Andai mereka tak punya keberanian untuk bermimpi, yak punya gairah untuk mewujudkannya, setidaknya dengan berandai, mengingatkan kita pada 2 (hal) yaitu; (a) mengingatkan kita betapa besar makna dari kegilaan sekaligus bentuk penghormatan kita atas karya spektakuler mereka dan (b) memilih untuk “gila” seperti mereka berpotensi untuk menciptakan sejarah perubahan peradaban dunia (sekecil apapun).
Alinie diatas setidaknya memberi semangat pada kita untuk bermimpi dan membangun gairah mewujudkannya. Mungkin “berfikir gila” tentang koperasi adalah cara yang tepat untuk membuktikan kegilaan koperasi itu sendiri. Kita harus melakukan langkah-langkah berbeda untuk mendapatkan hasil yang berbeda. Kita mulai dari berani bermimpi dan keunikannya adalah dalam proses pencapaiannya. Koperasi harus membangun mimpi dan keyakinan untuk bisa memiliki supermarket dan atau bahkan memiliki perusahaan-perusahaan besar yang sekarang sudah dimiliki orang lain. Mungkinkah bisa diwujudkan atau mimpi itu utopis ???. Jawabnya satu; apa yang tidak mungkin. Satu hal yang tetap selalu menjadi pegangan kita bahwa koperasi adalah kumpulan orang yang berarti kumpulan potensi.
Ketika sebagian kecil dari kumpulan anggota dinilai sebagai potensi subyek/pencipta usaha/pelaku ekonomi sektor perdagangan, jasa maupun maufaktur, maka koperasi bisa memfasilitasinya dengan memanfaatkan pangsa pasar terorganisir yang juga dimilki koperasi itu sendiri. Sehingga, untuk menumbuhkembangkan usahanya tidak perlu repot-repot mencari pasar/konsumen. Ketika kumpulan anggota dinilai sebagai obyek/calon konsumen, maka kumpulan orang yang terorganisir tersebut merupakan pangsa pasar yang menarik untuk dibidik oleh pelaku ekonomi non koperasi.
Keyakinan kewirausahaan saya mengatakan bahwa hidupnya perusahaan sangat tergantung pada tingkat respon calon konsumen. Artinya, konsumen adalah titik kunci untuk bisa mempertahankan dan mengembangkan perusahaan. Apalagi dizaman modern ini dimana tingkat persaingan begitu ketat sehingga posisi konsumen menjadi raja. Konsep “customer satisfied/kepuasan konsumen” sebagai label pemasaran telah memaksa para manager pemasaran untuk terus mengadaptasi strategi pemasarannya dengan dinamika kehidupan konsumen yang begitu cepat. Andai mereka (para manager pemasaran) boleh membuat permohonan yang pasti dikabulkan Tuhan, maka pasti doa mereka adalah “konsumen membuat pernyataan/sumpah akan loyal selamanya”, tapi mungkinkah hal tersebut terjadi. Tetapi mungkinkah dikoperasi mendapatkan komitmen tersebut ???. Jawabnya sangat mungkin ketika koperasi berjalan diatas rel jati dirinya.
Ketika komitmen/sumpah ini terbentuk diatas kesadaran kolektive anggota koperasi, maka adalah hal mudah untuk melakukan mapping (pemetaan) potensi ekonomisnya. Kalau hal ini sudah dilakukan, maka potensi bermain gila bisa dimulai. Ada 2 (dua) alternatif yang bisa dipilih; (a) diniati dengan segala resiko yang mungkin muncul untuk membangun usaha berskala besar (misalnya supermarket) dan (b) “menjual sementara” potensi ini.
Ketika pilihannya adalah mendirikan sendiri, keraguan mendasar adalah koperasi tidak punya pengalaman. Namun hal ini bisa terselesaikan dengan membuka rekruitmen manager profesional dengan salary yang lebih baik dari supermarket yang ada disekitarnya. Kalau pilihannya adalah “menjual sementara” ???.
1. Memastikan bahwa semua unsur organisasi solid dan nilai potensi ekonomis transaksi anggota telah terpetakan secara jelas.
2. Menawarkan kemitraan kepada salah satu supermarket dimana koperasi mendapatkan prosentase dari omzet yang bersumber dari anggota koperasi. Ketika sudah berjalan satu atau dua tahun selanjutnya
3. Mencari informasi tentang kontribusi anggota terhadap total perolehan omzetnya. Ketika angkanya menunjukkan minimal 51% (lima puluh satu prosen), maka saatnya untuk melakukan
4. Bargainning (tawar menawar). Sang pemilik supermarket ditawarkan 2 (dua) pilihan yaitu menawarkan split of ownership (membagi proporsi kepemilikan saham) dan atau membiarkan koperasi mendirikan supermarket sendiri.
Andai anda menjadi pemilik supermarket dan dihadapkan pada langkah ke-4 yang dilakukan koperasi, pilihan mana yang anda ambil ?. Apakah anda ikhlas kehilangan omzet 51% yang juga berpotensi menurunkan keuntungan 51% prosen dan juga memunculkan pesaing baru, ataukah berbagi kepemilikan tetapi masa depan perusahaan tak pernah berkesudahan ???.
Kalau analog tersebut kemudian diaplikasikan pada jenis usaha lain, siapa bilang koperasi tidak mungkin memiliki usaha besar dan atau bahkan mengambil alih lewat kepemilikan saham mayoritas pada usaha-usaha yang sebelumnya dimiliki hanya beberapa gelintir orang. Siapa bilang koperasi tidak bisa maju dan exist ???. Kematian koperasi hanya terjadi bila kita sepakat untuk membubarkan koperasi dan itu tidak akan kita biarkan terjadi.
II. Kontemplasi
Apa sulitnya membangun supermarket, cukup siapkan modal dan kemudian membajak manager sebuah supermarket terkenal. Dengan cara ini hampir dapat dipastikan sang manajer akan mewujudkan performance yang sama dengan supermarket dimana manajer tersebut bekerja sebelumnya. Apa sulitnya untuk mendirikan toko roti dengan rasa sama dengan toko roti yang paling digemari di kota anda ??. Intai jam pulang karyawan/juru buat roti, ikuti sampai rtumahnya dan tawarkan kesejahteraan yang lebih baik. Hampir dipastikan dia akan memproduksi roti yang sama dengan toko tempat dia bekerja sebelumnya.
Alinie diatas membawa kita pada satu kesimpulan, berfikir sedikit nakal, ternyata koperasi punya peluang untuk memiliki usaha apapun yang dimauin. Pertanyaan yang menggelikkan kemudian adalah apakah anggota koperasi akan belanja di toko/mini market dan atau toko roti milik koperasi ????. Bukankah realitas semacam ini yang dialami usaha-usaha koperasi dan bahkan anggotanya bertransaksi di tempat lain.
Dalam cara baca saya, kesolidan organisasi adalah kunci utama keberhasilan sebuah koperasi. Bagaimana semua unsur organisasi secara terbuka berkomunikasi dan mencari alternatif solusi bijak serta diikuti distribusi peran efektif bagi terselesaikannya masalah atau harapan yang ada. Sempat tergoda untuk me-nol kan semua usaha koperasi dan selanjutnya melakukan rekondisi organisasi. Tapi itu terlalu frontal, namun setidaknya hal ini membangunan kesadaran penuh bahwa sesungguhnya kekuatan organisasi adalah kunci keberhasilan untuk berkoperasi. Sementara itu, sesungguhnya usaha/investasi apapun yang akan dikelola koperasi tanpa didukung adanya organisasi yang solid (baca:kesadaran kolektif semua unsur organisasi), maka usaha/investasi tersebut rentan terhadap kebangkrutan. Dengan kata lain…sesungguhnya kekuatan koperasi adalah pada “cinta” yang tumbuh dan bersemai disemua unsur organisasi.
KREATIVITAS MODAL KERJA
dan KECERDASAN PENGELOLAAN PERUSAHAAN
I. Prolog
Pada pertemuan kali ini, saya mencoba mengajak seluruh peserta pada alur fikir yang tergolong sedikit liar. Namun, keliaran ini juga dilengkapi dengan dogma-dogma normatif yang selama ini berlaku dan kita yakini semua. Dengan demikian, keliaran alur fikir ini akan menjadi tambahan wacana yang mewarnai pergulatan pemikiran anda dalam proses pengambilan keputusan.
Sampai saat ini saya selalu terinspirasi untuk melakukan hal-hal aneh/diluar kebiasaan banyak orang. Semua mengalir begitu saja dan ada saja yang mengarahkan dan memotibvasi untuk terus menggali keanehan dan keliaran itu sendiri. Satu hal yang saya harapkan, keanehan ini akan menjadi makna dan bukan pembawa bencana bagi diri saya sendiri dan juga bagi banyak orang.
Untuk itu, saya sarankan untuk tidak menelan mentah-mentah keliaran fikiran ini. Anda perlu melakukan analisa rasionalitas sebelum anda yakin dan mengambil ketetapan untuk menjalankannya. Andai keliaran cara fikir itu benar dan mampu mempercepat laju pertumbuhan usaha yang anda kelola, tolong sampaikan pada orang lain. Namun ketika hal ini benar-benar tidak rasional, maka saya memohon anda untuk membantu saya menyempurnakannya sehingga akan menjadi fikiran yang konstruktif dan bermakna.
Saya memahami dan menyadari sepenuhnya bahwa segala sesuatu pasti mengandung resiko, namun “kepenasaran” tidak akan pernah terjawab sepanjang anda tidak pernah mencobanya. Jadi, tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa permasalahan “perubahan” adalah mutlak masalah “keberanian” untuk mencoba hal-hal baru. Untuk lebih amannya, maka sebelum anda memulai hal-hal yang berbau perubahan, “meluruskan niat dan minta petunjuk Sang Pencipta” adalah hal pertama yang harus anda lakukan. Kalau pun anda terjebak dalam resiko yang terburuk sekalipun, setidaknya anda menderita untuk suatu alasan dan keyakinan yang mulia. Beranikah Anda ?
II. “Modal” Tema Usang Tak Kunjung Usai
Thema modal adalah masalah yang paling menarik bagi semua pengelola usaha termasuk para pengurus/manajemen koperasi untuk dibicarakan dan sekaligus dicarikan solusinya. Namun, telah terjadi proses terbalik dalam masalah permodalan dimana pencarian/pemenuhan modal dijadikan sebagai langkah pertama dan ketika sudah memperolehnya, manajemen baru menentukan langkah-langkah pemanfaatannya.
Kondisi ini merupakan cerminan betapa manja dan tidak kreative-nya para pengelola/manajemen koperasi. Alur fikir semacam ini pula yang memotivasi manajemen untuk menjadikan “keterbatasan/ketidaktersediaan dana” sebagai faktor pembenar untuk tidak melakukan aktivitas atau inovasi apapun. Padahal masalah sesungguhnya adalah pada rendahnya tingkat kreativitas dan keberanian yang melekat pada para pengelola. Mengapa wacana ini disampaikan ??
Saya ingin mengajak semua untuk mengembangkan keyakinan dan visi/mimpi berkoperasi. Selanjutnya kita mencoba merasionalkan mimpi itu pada tahapan-tahapan konstruktif. Saatnya keyakinan kita diperkuat atau kita tinggalkan saja koperasi ini. Kita harus mengembangkan semangat hidup dan moralitas sehingga kita tidak akan menggantungkan hidup pada koperasi tanpa punya kemampuan memberikan sesuatu yang mampu membesarkan koperasi.
Kita harus membangun cara baca tentang kebijakan penambahan karyawan adalah identik dengan kebijakan investasi yang mengharuskan adanya titik balik yang lebih besar dari biaya gaji yang di bayarkan oleh koperasi. Dengan demikian, penambahan karyawan/manajemen bukanlah identik dengan penambahan biaya yang berakibat turunnya SHU,akan tetapi identik dengan penambahan SHU koperasi.
Pertegasan terhadap kualitas manajemen ini sangat diperlukan ketika kita mengangkat tema manajemen modal kerja.
III. Modal Kerja
Menurut cara baca saya, modal kerja merupakan sarana memobilisasi potensi menjadi putaran bola salju laba. Kalau bola salju laba merupakan sebuah impian maka selayaknya anda terlebih dahulu membuat konsep sistematis sehingga tahapan aksi pencapaian impian mampu memberikan harapan akan terwujudnya impian.
Dalam perspektif theori modal kerja biasanya diwujudkan dalam bentuk kas, piutang dan persediaan. Logika wacana yang berkembang dikalangan para pengambilan keputusan/manajemen akan sangat mempengaruhi distribusi sumber modal terhadap item-item modal kerja.
IV. Besar- nya Kebutuhan Modal Kerja
Besarnya kebutuhan modal kerja merupakan gambaran tingkat kebutuhan modal yang diperlukan atas sebuah tujuan. Disamping cerminan tingkat kreativitas manajemen dalam menggali ide-ide pengembangan, besarnya jumlah modal kerja yang dibutuhkan juga merupakan indikator tingkat keyakinan manajemen tentang masa depan perusahaan. Dengan kata lain adalah salah keberadaan manajemen/pengelola ketika mereka tidak mampu melakukan langkah-langkah inovasi. Termasuk yang manakah anda ???.
V. Sumber-sumber permodalan
Saya mencoba mengkasifikasikan sumber-sumber permodalan menjadi 2 (dua) yaitu ; (a) tidak langsung/non fisik dan (b) langsung/fisik. Sebenarnya, pengkalisfikasikan semacam ini tergolong tidak lazim. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan tambahan wacana bagi para pengelola usaha, walau sejujurnya perlu keseriusan tersendiri dalam mencernanya.
V.1. Sumber Permodalan Tidak Langsung/Non Fisik
Ketidak laziman pengklasifikasian ini terletak pada sumber Permodalan Tidak Langsung/Non Fisik. Jenis ini mencoba memandang SDM sebagai orang yang sangat potensial mengisi lumbung-lumbung uang perusahaan yang kosong dan sangat perlu segera mengisinya. Saya pun menyadari bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang sederhana, tetapi setidaknya hal ini membongkar cara baca kita yang terkungkung pada sumber-sumber langsung.
SDM yang dimaksud adalah SDM yang punya pengetahuan, karakter, daya dobrak dan keberanian berivovasi serta kepribadian yang bisa dipercaya/amanah. Kreativitas dan inovasinya mampu membangkitkan harapan-harapan baru dan selanjutnya memotivasi orang untuk memberi daya dukung kuat termasuk pelibatan hartanya dalam proses perwujudan gagasan cerdas tersebut. Kreativitas dan inovasinya nya tidak terbatas pada tingkat konsepsi, tetapi juga mampu mengimplementasikan sampai ke dataran teknis dengan hasil akhir yang memuaskan. Saya sepakat bahwa tidak gampang mendapatkan SDM yang demikian, namun ketika perusahaan/koperasi menemukan karakter SDM yang demikian, maka harapan dan peluang untuk berkembang terbuka lebar.
Semua perusahaan tentu menginginkan kehadiran orang semacam ini, namun dipastikan Tuhan menitipkan keahlian yang demikian pada sedikit orang sehingga mendapatkannya perlu upaya-upaya brilian. Meningat bahwa perolehan modal jenis ini didominasi oleh kecerdasan SDM, lebih tepat mengistilahkan hal ini dengan Intlectual Capital. Andakah orangnya ????. Maukah anda mencari orangnya ???.
V.2. Sumber Permodalan Langsung/ Fisik
Jenis klasifikasi ini sebenarnya bersifat normatif yang terdiri dari modal yang bersumber internal dan eksternal.
V.2.1. Internal
Dalam konteks koperasi, modal yang bersumber dari internal terdiri dari :
(a) ketetapan organisasi.
Perolehan modal dari jenis ini merupakan hasil kesepakatan bersama lewat forum tertinggi RAT. Bentuk-bentuknya natara lain : Simpanan pokok (pertama kali anggota masuk), simpanan wajib (dibayarkan secara periodik selama menjadi anggota) dan simpanan wajib kredit (merupakan tabungan hasil pemotongan pinjaman anggota. Biasanya, Jenis-jenis modal ini hanya bisa pada saat anggota tersebut keluar dari koperasi.
(b) Kepercayaan anggota terhadap koperasi.
Biasanya jenis ini diistilahkan dengan simpanan sukara rela yang kemudian dalam dataran teknis divariasi sebutannya untuk lebih menarik anggota untuk menabung. Keberadaan dana ini biasanya berjangka layaknya DEPOSITO pada lembaga perbankan. Ada tidaknya/besar kecilnya modal dari jenis ini sangat dipengaruhi tingkat kepercayaan/trust anggota terhadap koperasi maupun para pengelolanya dan tingkat harapan ekonomis yang ditawarkan koperasi . Hal ini tidak lepas dari 2 (dua) pertimbangan pokok yang lazim dilakukan oleh mereka yang ingin menabung dan atau investasi yaitu; keamanan tabungan/investasi dan kenyamanan investasi berupa keuntungan/reward.
V.2.2. Eksternal
Kalau internal menegaskan sumber permodalan dari sang pemilik perusahaan (anggota), modal eksternal bersumber dari pihak luar/ekstern yang dalam hukum perikatan perolehannya bervariasi antara lain :
(a) Pinjaman
Umunya pinjaman bisa diperoleh dari pihak perbankan dengan tingkat bunga yang berlaku normal . Disamping itu, ada pinjaman yang diperoleh karena suatu program dari lembaga tertentu. Biasanya pinjaman ini diwujudkan dalam bentuk program dan lebih memasyarakat dengan istilah “Pinjaman Lunak” dengan tingkat bunga relatif rendah.
(b) Bagi Hasil
Ketika Koperasi memerlukan modal kerja untuk satu peluang usaha, akan tetapi sumber internal tidak memungkinkan, “Bagi hasil” merupakan salah satu bentuk yang bisa ditawarkan kepada pihak eksternal. Implementasi Bagi hasil ini bisa dihitung dari prosentase omzet dan atau dari prosentase laba. Biasanya, pola ini berlaku sementara dan pada jenis-jenis peluang yang temporal/tidak permanen.
(c) Distribusi kepemilikan
Kalau bagi hasil menekankan pada periodik tertentu, maka model distribusi kepemilikan biasanya dilakukan dalam jangka waktu lama dan cenderung bersifat permenen. Dalam konteks ini, “peluang/potensi” diyakini bersama dan dimobilisasi bersama dengan perangkat-perangkat pendukung yang dimiliki bersama dalam proporsionalitas yang disepakati bersama sebelumnya. Kerjasama ini pun berakhir atas kesepakatan bersama. Koperasi juga bisa melakukan hal ini,khususnya penggarapan unit-unit usaha tertentu dan bukan seluruh usahanya.
(d) Suplier sebagai sumber permodalan.
Hubungan baik dengan Suplier berpotensi sebagai permodalan, minimal memperkecil modal kerja yang kita butuhkan. Dengan sistem pembayaran berjangka (semakin panjang semakin baik), disamping manajemen akan terbantu dalam hal modal kerja juga dimungkinkan untuk memanfaatkan tagihan yang belum jatuh tempo untuk mendapat keuntungan dari sektor yang lain.
VI. Model Pengelolaan
Kreativitas manajemen dalam mengelola modal sangat menentukan hasil akhir yang akan dicapai. Saya mengkategorikan 2 (dua) model pengelolaan modal kerja yaitu ; (a) pengelolaan berbasis normatif dan (b) pengelolaan berbasis neraca kewirausahaan.
VI.1. Pengelolaan Berbasis Normatif
Pada model pengelolaan ini, manajemen mengelola usaha dengan kaidah-kaidah yang lazim dalam ilmu ekonomi, seperti likuiditas dan rentabilitas (rentabilitas ekonomi dan atau rentabilitas modal sendiri). Pemanfaatan setiap satuan modal betul-betul memperhatikan prinsip kehati-hatian dan cenderung takut mengambil resiko. Tidak ada yang salah dalam model pengelolaan ini dan memang terkesan lebih aman walau terkadang berpotensi membawa manajemen pada titik lamaban dan atau bahkan stagnan,
VI.2. Pengelolaan Berbasis Neraca Kewirausahaan.
Sebenarnya istilah ini tidak ada dalam theory tetapi saya mencoba mengakomodir dan menghargai kreativitas gila yang dilakukan para wirausahawan/wirakoperasi. Mereka menjalankan perusahaan dengan mengedepankan kegilaan ide dan berbagai akses yang mengikutinya. Tidak sedikit yang berhasil menjalani model ini, terutama pada wirakoperasi/wirausaha yang bermodalkan pada semangat yang tinggi dan kecerdasan intlektualnya. Saya pun menyadari bahwa langkah–langkah yang mereka ambil jauh dari norma-norma yang berlaku umum dan penuh dengan resiko tinggi, Namun demikian, ketika kegilaan mereka jatuh pada yang benar, keberhasilan mereka pun memang jauh diatas kebanyak manajemen yang normatif. Sebaliknya pun demikian, ketika kegilaan jatuh pada langkah yang salah, kegagalan mereka pun betul-betul mengenaskan. Oleh karena itulah saya mengkategorikan mereka dengan istilah “ Neraca Kewirausahaan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
.